Khazanah
Beranda » Berita » Pemetaan Geografis Para Perawi dalam Taqrīb al-Tahdhīb: Dari Madinah ke Kufah

Pemetaan Geografis Para Perawi dalam Taqrīb al-Tahdhīb: Dari Madinah ke Kufah

ilustrasi ulama meneliti peta dunia Islam kuno di ruang belajar dengan kitab hadis terbuka di hadapannya.
Ilustrasi perjalanan keilmuan Islam klasik: seorang alim menelusuri peta dan nama-nama perawi dalam Taqrīb al-Tahdhīb.

Surau.co. Membahas pemetaan geografis para perawi dalam Taqrīb al-Tahdhīb berarti memasuki ruang sejarah yang tak sekadar mencatat nama dan sanad, melainkan juga pergerakan intelektual Islam dari satu kota ke kota lain. Dalam karya agungnya, Taqrīb al-Tahdhīb, al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī bukan hanya menyusun daftar perawi, tetapi juga memperlihatkan bagaimana jaringan ilmu hadis terbentuk lintas wilayah—dari Madinah, Kufah, Basrah, Syam, hingga Mesir.

Frasa kunci pemetaan geografis para perawi dalam Taqrīb al-Tahdhīb mengajak kita untuk melihat hadis bukan sekadar teks, tetapi juga gerak: gerak manusia, pengetahuan, dan spiritualitas. Setiap nama perawi yang tercatat oleh Ibn Ḥajar adalah potret perjalanan ilmu dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Jejak Intelektual dari Kota ke Kota

Dalam kehidupan modern, perpindahan ilmu sering kita bayangkan melalui universitas, internet, atau seminar. Namun pada masa klasik, ilmu berpindah melalui langkah kaki para ulama. Ibn Ḥajar mencatat ratusan nama yang lahir, belajar, dan meriwayatkan hadis di berbagai pusat keilmuan. Dari kota Madinah yang menjadi sumber awal hadis, ilmu ini mengalir ke Kufah dan Basrah, dua kota yang dikenal dengan kedalaman analisis sanad dan fiqihnya.

Salah satu keunggulan Taqrīb al-Tahdhīb adalah bagaimana Ibn Ḥajar menuliskan identitas geografis para perawi secara ringkas namun bermakna. Dalam salah satu entri, ia menulis:

«مُحَمَّدُ بْنُ سِيرِينَ، الْبَصْرِيُّ، ثِقَةٌ حَافِظٌ»
“Muhammad ibn Sīrīn, al-Baṣrī, terpercaya dan hafizh.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Satu kata al-Baṣrī cukup untuk memberi konteks: ia berasal dari Basrah, kota yang terkenal dengan ketajaman kritik sanad. Dengan demikian, setiap nama bukan sekadar individu, tetapi juga representasi dari tradisi ilmiah suatu kota.

Antara Madinah yang Tenang dan Kufah yang Kritis

Secara geografis, dua kota yang paling banyak disebut dalam Taqrīb al-Tahdhīb adalah Madinah dan Kufah. Keduanya memiliki karakter keilmuan yang berbeda, namun saling melengkapi.

Madinah dikenal sebagai pusat hadis yang menekankan riwayah—transmisi yang hati-hati dan berhati-hati. Para ulama di Madinah sangat menjaga kesinambungan sanad. Ibn Ḥajar mencatat banyak perawi Madinah dengan pujian tinggi, misalnya:

«سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ، الْمَدَنِيُّ، ثِقَةٌ فَقِيهٌ»
“Sa‘īd ibn al-Musayyib, al-Madanī, terpercaya dan ahli fiqih.”

Kota ini menjadi simbol ketenangan ilmiah, tempat di mana sanad dijaga seperti warisan keluarga.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Berbeda dengan Madinah, Kufah justru dikenal sebagai kota yang penuh dinamika. Di sana, hadis diuji dengan akal dan logika, melahirkan generasi ulama yang kritis dan rasional. Ibn Ḥajar mencatat sejumlah perawi Kufah dengan variasi penilaian—ada yang thiqah, ada pula yang da‘īf. Misalnya:

«إِسْمَاعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ، الْكُوفِيُّ، ثِقَةٌ»
“Ismā‘īl ibn Abī Khālid, al-Kūfī, terpercaya.”

Namun tidak semua mendapat penilaian serupa; sebagian perawi Kufah dianggap terlalu banyak meriwayatkan tanpa kehati-hatian. Dengan demikian, Taqrīb al-Tahdhīb menunjukkan bahwa kritik tidak berhenti pada individu, tetapi juga mencerminkan warna intelektual geografis di baliknya.

Gerak Ilmu sebagai Gerak Spiritual

Jika ditelusuri lebih dalam, pemetaan geografis para perawi dalam Taqrīb al-Tahdhīb tidak hanya memotret arah penyebaran hadis, tetapi juga menunjukkan perjalanan spiritual para pencari ilmu. Banyak dari mereka menempuh ribuan kilometer demi satu hadis. Dalam pengantar kitabnya, Ibn Ḥajar menulis:

«حَصَرْتُ لِي الْكَلَامَ عَلَى أَحْوَالِهِمْ فِي اثْنَتَيْ عَشْرَةَ مَرْتَبَةً»
“Aku membatasi pembicaraan tentang keadaan mereka dalam dua belas tingkatan.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kalimat ini menunjukkan upaya Ibn Ḥajar untuk mengklasifikasikan ribuan manusia dengan ketelitian luar biasa. Setiap tingkatan bukan hanya tentang kualitas periwayatan, tapi juga refleksi atas tingkat pengorbanan dan ketulusan dalam menuntut ilmu.

Fenomena ini mirip dengan semangat penuntut ilmu masa kini—mahasiswa yang meninggalkan kampung halaman untuk menimba ilmu ke kota lain, atau seorang pencari hikmah yang berpindah dari satu guru ke guru lain. Perjalanan geografis, dalam arti yang lebih dalam, adalah perjalanan batin menuju kebenaran.

Membaca Hadis dengan Peta dan Hati

Menariknya, dengan membaca Taqrīb al-Tahdhīb, kita bisa membayangkan “peta intelektual” Islam klasik. Kota-kota seperti Madinah, Mekah, Kufah, Basrah, Syam, dan Mesir menjadi titik-titik cahaya yang dihubungkan oleh sanad ilmu. Dari sana, tampak jelas bagaimana peradaban Islam tumbuh bukan karena sentralisasi kekuasaan, melainkan karena desentralisasi pengetahuan.

Dalam konteks modern, hal ini mengajarkan kita pentingnya kolaborasi lintas daerah dan disiplin. Ilmu tidak boleh berhenti pada satu titik, tetapi harus terus bergerak. Allah Swt. berfirman:

﴿قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ﴾
“Katakanlah: berjalanlah di muka bumi, maka perhatikanlah bagaimana Allah memulai penciptaan.”
(QS. al-‘Ankabūt [29]: 20)

Ayat ini tidak hanya mendorong perjalanan fisik, tapi juga perjalanan intelektual dan spiritual—sebuah konsep yang tercermin dalam tradisi hadis.

Refleksi: Menjaga Tradisi Ilmu dalam Ruang dan Waktu

Dari Madinah yang tenang hingga Kufah yang kritis, dari Basrah yang analitis hingga Mesir yang filosofis—Taqrīb al-Tahdhīb memperlihatkan bahwa ilmu hadis tumbuh dalam dinamika geografis yang kaya. Ibn Ḥajar, melalui karyanya, bukan hanya menyusun data, tetapi juga merawat memori tentang bagaimana ilmu menjadi jaringan peradaban.

Kini, ketika batas geografis menjadi kabur karena digitalisasi, semangat para perawi itu tetap hidup: menempuh jalan ilmu dengan adab, berpindah tempat demi mencari kebenaran, dan menjaga sanad pengetahuan agar tetap bersambung hingga akhir zaman.

Karena pada akhirnya, ilmu tidak sekadar berpindah dari kota ke kota, melainkan dari hati ke hati.

 

* Sugianto al-jawi
Budayawan kontempoprer Tulungagung


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement