Surau.co. Dalam disiplin ilmu hadis, pembahasan tentang netralitas Ibn Ḥajar dalam jarh wa ta‘dīl selalu menjadi tema menarik dan relevan hingga kini. Kitab Taqrīb al-Tahdhīb, karya monumental al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, menjadi bukti betapa halus keseimbangan antara objektivitas ilmiah dan ijtihad pribadi yang ia pertahankan.
Frasa kunci netralitas Ibn Ḥajar dalam jarh wa ta‘dīl penting untuk diingat sejak awal: ia bukan sekadar konsep metodologis, tetapi cermin dari kejujuran intelektual seorang ulama besar dalam menjaga warisan hadis Rasulullah ﷺ.
Di era ketika informasi agama beredar begitu cepat—kadang tanpa verifikasi—belajar dari cara Ibn Ḥajar menilai para perawi memberi kita pelajaran mendalam tentang kejujuran ilmiah. Di satu sisi, ia tegas dalam menilai; di sisi lain, ia lembut dalam mempertimbangkan niat dan konteks.
Objektivitas sebagai Wujud Amanah Ilmiah
Dalam tradisi kritik hadis, jarh wa ta‘dīl adalah seni menimbang kredibilitas perawi. Di sinilah integritas seorang ulama diuji: bagaimana menjaga keseimbangan antara keadilan dan kehati-hatian. Ibn Ḥajar menulis dalam Taqrīb al-Tahdhīb:
«فَجَمَعْتُ فِيهَا أَصَحَّ مَا قِيلَ فِيهِمْ بِإِلْخَاصٍ»
“Aku kumpulkan di dalamnya apa yang paling sahih yang dikatakan tentang mereka secara ringkas.”
Ungkapan ini menegaskan bahwa Ibn Ḥajar tidak menulis dengan hawa nafsu. Ia menyeleksi informasi dengan hati-hati, memilih yang paling otentik di antara sekian pendapat ulama sebelumnya. Dalam dunia akademik modern, pendekatan ini setara dengan metode literature review yang kritis dan berimbang.
Objektivitas Ibn Ḥajar adalah bentuk amanah ilmiah—yakni menyampaikan kebenaran apa adanya, meskipun itu mungkin tidak sejalan dengan persepsi umum. Ia menulis, menimbang, dan menetapkan kategori dengan cermat: thiqah, maqbūl, ḍa‘īf, hingga matrūk, tanpa condong kepada kelompok atau madzhab tertentu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ»
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila melakukan pekerjaan, ia menyempurnakannya.”
(HR. al-Bayhaqī)
Hadis ini seakan menjadi nafas bagi seluruh kerja Ibn Ḥajar. Dalam Taqrīb, ia tidak hanya menulis, tetapi menyempurnakan niat dalam setiap kalimat—antara fakta, keadilan, dan adab ilmiah.
Ijtihad di Balik Ketegasan dan Kelembutan
Meski objektif, Ibn Ḥajar tidak menafikan ruang ijtihad. Ia sadar bahwa manusia tak luput dari sudut pandang pribadi. Dalam pengantarnya ia menulis:
«وَإِنَّ لِلْمُقْبُولِ مَرْتَبَةً لَمْ تُعْلَمْ قَبْلِي»
“Sesungguhnya bagi al-maqbūl (yang diterima) ada tingkatan yang belum diketahui sebelumku.”
Pernyataan ini menggambarkan keberanian ilmiah. Ia tidak hanya mengutip pendapat orang lain, tetapi juga membangun kategori baru dalam kritik perawi. Istilah maqbūl menunjukkan perawi yang tidak sampai derajat thiqah, namun masih dapat diterima bila hadisnya memiliki penguat (mutābi‘).
Dalam konteks akademik modern, hal ini menunjukkan inovasi metodologis. Ibn Ḥajar tetap menghormati ulama sebelumnya, tetapi juga berani melakukan ijtihad untuk memperbaiki sistem klasifikasi yang ada. Di sinilah keindahan keseimbangan itu: antara menjaga tradisi dan membuka ruang pembaruan.
Fenomena Zaman: Ketika Objektivitas Kian Langka
Fenomena menarik hari ini: banyak perdebatan agama di media sosial dilakukan tanpa prinsip jarh wa ta‘dīl. Orang mudah menilai tokoh atau ulama hanya berdasarkan satu potongan video atau kutipan. Padahal, Ibn Ḥajar mengajarkan agar setiap penilaian harus didasarkan pada keadilan dan bukti, bukan emosi.
Dalam Taqrīb, ia menulis:
«حَصَرْتُ لِي الْكَلَامَ عَلَى أَحْوَالِهِمْ فِي اثْنَتَيْ عَشْرَةَ مَرْتَبَةً»
“Aku membatasi pembicaraan tentang keadaan mereka dalam dua belas tingkatan.”
Kalimat ini menandakan adanya metode bertingkat, bukan penilaian tunggal. Artinya, setiap manusia punya ruang untuk ditinjau secara menyeluruh, bukan secara hitam putih.
Al-Qur’an pun mengingatkan kita:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walau terhadap dirimu sendiri.”
(QS. an-Nisā’: 135)
Ayat ini menggaungkan semangat yang sama dengan Ibn Ḥajar: keadilan bukan sekadar metode, tapi komitmen moral. Ia menilai para perawi dengan hati yang jernih dan akal yang tajam.
Seni Menjaga Keadilan dalam Ilmu
Netralitas Ibn Ḥajar dalam jarh wa ta‘dīl tidak berarti tanpa sikap. Ia menilai dengan argumentasi, bukan prasangka. Misalnya, ketika ia menulis entri ringkas seperti:
«عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعْدٍ، ضَعِيفٌ»
“Abdullah ibn Sa‘d, lemah.”
atau
«حَفْصُ بْنُ عُمَرَ، مَقْبُولٌ»
“Hafs ibn ‘Umar, dapat diterima.”
Ia tidak menambah penjelasan berlebih; cukup satu kata, tapi sarat makna. Ketelitian dalam memilih istilah itu menuntut peneliti modern untuk berhati-hati membaca — agar tidak salah menafsirkan makna yang padat di balik singkatnya ungkapan.
Ibn Ḥajar juga menulis:
«فَمَا زِدْتُ تَرْجَمَةَ كُلِّ شَخْصٍ عَلَى سَطْرٍ إِلَّا قَلِيلاً»
“Aku tidak menambah biografi setiap orang lebih dari satu baris kecuali sedikit.”
Ringkasnya bukan karena malas, tetapi karena efisiensi. Ia ingin agar peneliti fokus pada makna, bukan pada ornamen kata.
Refleksi: Netralitas sebagai Akhlak Ilmu
Di antara sekian banyak karya kritik perawi, Taqrīb al-Tahdhīb menonjol bukan karena kelengkapannya semata, melainkan karena keadilannya. Netralitas Ibn Ḥajar lahir dari keikhlasan: ia menulis bukan untuk memenangkan perdebatan, tetapi untuk melayani kebenaran.
Dalam kehidupan akademik dan sosial kita, prinsip itu masih relevan. Sebab, keilmuan tanpa keadilan akan melahirkan kebohongan; sebaliknya, keadilan tanpa ilmu akan melahirkan kekacauan.
Ketika kita meneladani netralitas Ibn Ḥajar dalam jarh wa ta‘dīl, sejatinya kita belajar dua hal: berpikir jernih dan berhati bersih. Karena kejujuran ilmiah hanyalah cabang dari kejujuran hati.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
