Surau.co. Dalam dunia kajian hadis, menggunakan Taqrīb al-Tahdhīb dalam takhrīj hadis merupakan keterampilan yang membedakan antara pembaca teks dan peneliti sanad. Kitab karya al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī ini bukan sekadar daftar nama perawi, melainkan peta intelektual yang menuntun kita pada kejujuran ilmiah dan ketelitian spiritual. Di tengah arus cepat informasi keagamaan, memahami cara menggunakan Taqrīb al-Tahdhīb dalam takhrīj hadis menjadi kebutuhan mendesak agar kebenaran tak tergerus oleh narasi yang terburu-buru.
Bayangkan seseorang yang menemukan hadis menarik di media sosial — lengkap dengan sanad, namun tanpa kejelasan siapa perawinya. Ia ingin memastikan, “Benarkah hadis ini sahih?” Lalu ia membuka Taqrīb al-Tahdhīb, kitab ringkas yang merangkum biografi ribuan perawi hadis. Dari sanalah perjalanan ilmiah yang sesungguhnya dimulai.
Menemukan Ketelitian di Tengah Laju Informasi
Kita hidup di zaman yang serba cepat. Kadang, semangat berbagi kebaikan justru menabrak prinsip kehati-hatian. Di sini, Taqrīb al-Tahdhīb mengingatkan kita agar setiap narasi agama tidak berhenti pada “katanya”, tetapi menembus pada “siapa yang berkata” dan “seberapa dapat dipercaya dia.”
Ibn Ḥajar menulis dengan teliti:
«فَجَمَعْتُ فِيهَا أَصَحَّ مَا قِيلَ فِيهِ بِإِلْخَاصٍ»
“Aku kumpulkan di dalamnya apa yang paling sahih yang dikatakan tentang mereka secara ringkas.”
(Taqrīb al-Tahdhīb, Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī)
Kalimat itu bukan hanya metode akademik, tetapi juga etika. Ia mengajarkan bahwa ketepatan ilmiah adalah bentuk ibadah. Seorang peneliti hadis yang membuka kitab ini sebenarnya sedang menelusuri kejujuran para ulama terdahulu, yang tidak pernah tergesa menilai seseorang tanpa dasar.
Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَن كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ»
“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.”
(HR. al-Bukhārī dan Muslim)
Hadis ini menjadi ruh dari seluruh kerja takhrīj. Ia menegaskan bahwa setiap langkah mencari kebenaran sanad bukan sekadar kajian tekstual, tetapi penjagaan terhadap amanah Rasulullah.
Mengenal Struktur dan Makna di Balik Ringkasnya Kitab
Kitab Taqrīb al-Tahdhīb adalah ringkasan dari karya besar Tahdhīb al-Tahdhīb, di mana Ibn Ḥajar mengelompokkan ribuan perawi dalam dua belas tingkatan. Dalam pengantarnya, ia menulis:
«حَصَرْتُ لِي الْكَلَامَ عَلَى أَحْوَالِهِمْ فِي اثْنَتَيْ عَشْرَةَ مَرْتَبَةً»
“Aku membatasi pembicaraan tentang keadaan mereka dalam dua belas tingkatan.”
Dengan sistem ini, ia memudahkan siapa pun untuk menelusuri posisi dan kredibilitas seorang perawi. Entri setiap nama diatur dengan singkat: nama lengkap, nasab, generasi, dan satu kata kunci yang menentukan kredibilitasnya — ثقة (terpercaya), مقبول (dapat diterima), atau ضعيف (lemah).
Menariknya, Ibn Ḥajar menciptakan istilah baru dalam kritik hadis, yaitu مقبول. Ia berkata:
«وَإِنَّ لِلْمُقْبُولِ مَرْتَبَةً لَمْ تُعْلَمْ قَبْلِي»
“Sesungguhnya bagi al-maqbūl (yang diterima) ada tingkatan yang belum diketahui sebelumku.”
Artinya, Ibn Ḥajar menegaskan bahwa tidak semua yang “lemah” otomatis tertolak, dan tidak semua yang “kuat” pasti tanpa cacat. Ada ruang interpretasi, ada kebijaksanaan. Ini menunjukkan kedalaman intelektual dan kehati-hatian beliau — sifat yang seharusnya diwarisi oleh peneliti hadis modern.
Langkah Praktis: Dari Kitab ke Kehidupan
Menggunakan Taqrīb al-Tahdhīb dalam takhrīj hadis bukan hanya keterampilan teknis. Ia juga latihan spiritual. Seorang peneliti membuka kitab itu dengan basmalah, bukan sekadar mencari data, melainkan berniat menjaga amanah ilmu.
Berikut langkah-langkah yang lazim dilakukan:
- Temukan nama perawi. Gunakan indeks kitab atau aplikasi digital untuk mencari perawi dalam sanad.
- Baca status singkatnya. Misalnya: “Muhammad ibn Ishāq — ثقة” atau “Hafs ibn ‘Umar — مقبول”.
- Maknai kategorinya. Thiqah menunjukkan keandalan, maqbūl butuh penguat, sedangkan da‘īf menuntut kehati-hatian.
- Konfirmasi silang. Cocokkan hasilnya dengan kitab lain seperti Tahdhīb al-Kamāl atau al-Kāshif.
- Refleksikan. Apa makna dari kejujuran ilmiah ini dalam kehidupan spiritual kita?
Ibn Ḥajar mengingatkan pentingnya ringkas dan tepat:
«فَمَا زِدْتُ تَرْجَمَةَ كُلِّ شَخْصٍ عَلَى سَطْرٍ إِلَّا قَلِيلاً»
“Aku tidak menambah terjemahan tiap orang lebih dari satu baris kecuali sedikit.”
Kesederhanaan itu justru menunjukkan kedalaman. Dalam satu baris, beliau menaruh integritas seluruh sejarah perawi.
Belajar Jujur Melalui Kritik Sanad
Fenomena yang menarik di masa kini adalah munculnya banyak “penafsir instan” yang mengutip hadis tanpa menelusuri sanad. Padahal, di balik setiap nama perawi, ada kisah panjang tentang amanah, kesalahan, dan kejujuran. Dengan menggunakan Taqrīb al-Tahdhīb dalam takhrīj hadis, kita belajar menghargai kerja ilmiah para ulama terdahulu, yang menimbang setiap kata dengan adab dan hati.
Al-Qur’an pun mengingatkan:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita, maka telitilah terlebih dahulu.”
(QS. al-Ḥujurāt [49]: 6)
Ayat ini seakan menjadi pedoman abadi bagi semua peneliti hadis. Ketelitian bukanlah beban, tetapi ibadah.
Penutup: Taqrīb dan Jalan Kesederhanaan Ilmu
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, Taqrīb al-Tahdhīb mengajarkan kita untuk memperlambat langkah — tidak terburu menilai, tidak gegabah menyimpulkan. Ia mengajarkan bahwa ilmu bukan sekadar hafalan, tapi cermin kejujuran batin.
Menggunakan Taqrīb al-Tahdhīb dalam takhrīj hadis berarti menapaki jalan sunyi para muhaddits, yang menulis dengan air mata keikhlasan, bukan tinta pujian. Ia bukan hanya kitab biografi perawi, tapi kitab akhlak ilmiah.
Jika kita mampu menelusuri sanad dengan hati yang bersih, maka setiap hadis bukan sekadar teks, melainkan cahaya yang menuntun kita pulang — kepada kebenaran, kepada adab, dan kepada Allah.
* Sugianto al-Jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
