Surau.co. Membahas perbandingan penilaian perawi antara Ibn Ḥajar dan Adz-Dzahabī berarti memasuki wilayah paling menarik dalam ilmu hadis—yakni analisis terhadap karakter, kejujuran, dan keandalan para periwayat sabda Nabi ﷺ. Kitab Taqrīb al-Tahdhīb karya al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī dan karya-karya Adz-Dzahabī seperti Mīzān al-I‘tidāl dan Siyar A‘lām an-Nubalā’ menjadi dua rujukan utama dalam tradisi kritik sanad.
Keduanya sama-sama dikenal dengan keluasan ilmu, tetapi pendekatan mereka memiliki nuansa yang berbeda. Jika Adz-Dzahabī dikenal dengan gaya deskriptif dan terkadang ekspresif, maka Ibn Ḥajar tampil lebih sistematis dan terukur. Di sinilah menariknya: dua ulama besar ini saling melengkapi dalam membangun metodologi kritik hadis yang adil dan ilmiah.
Menimbang Keilmuan dan Ketelitian Dua Hafiz Besar
Bayangkan dua ulama abad ke-8 dan 9 Hijriah yang hidup dengan rak buku berdebu, tinta hitam, dan tumpukan manuskrip di hadapan mereka. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam meneliti setiap nama dalam sanad, membandingkan komentar ulama sebelumnya, dan menulis ulang kesimpulan dengan kata-kata hati-hati.
Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (w. 852 H) dalam Taqrīb al-Tahdhīb menulis ringkasan dari karya gurunya, Tahdhīb al-Kamāl karya al-Mizzī, dengan gaya yang padat dan efisien. Sedangkan Adz-Dzahabī (w. 748 H) cenderung memberi ulasan yang lebih panjang dan kadang emosional.
Sebagai contoh, Ibn Ḥajar menulis tentang perawi terkenal Muḥammad ibn Isḥāq:
«مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ يَسَارٍ، صَدُوقٌ يُدَلِّسُ»
“Muḥammad ibn Isḥāq ibn Yasār, jujur namun terkadang melakukan tadlīs (menyamarkan sanad).”
Sementara Adz-Dzahabī menulis dalam Mīzān al-I‘tidāl:
«صَاحِبُ السِّيرَةِ، صَدُوقٌ، وَلَكِنْ لَهُ أَوْهَامٌ وَيُدَلِّسُ»
“Penulis kitab sirah, terpercaya, namun memiliki kekeliruan dan melakukan tadlīs.”
Terlihat bahwa penilaian keduanya serupa, tetapi nada Adz-Dzahabī lebih naratif dan berisi penjelasan tambahan tentang reputasi ilmiah perawi tersebut.
Perbedaan Pendekatan: Objektivitas vs. Deskriptivitas
Dalam Taqrīb al-Tahdhīb, Ibn Ḥajar berusaha menampilkan objektivitas maksimal. Ia jarang menggunakan kata sifat hiperbolik dan lebih memilih istilah teknis seperti “thiqah” (terpercaya), “ṣadūq” (jujur), atau “ḍa‘īf” (lemah). Adz-Dzahabī, di sisi lain, sering menambahkan nuansa emosional atau historis terhadap perawi yang ia bahas.
Sebagai contoh, dalam penilaian terhadap Wahb ibn Jarīr, Ibn Ḥajar menulis:
«وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ، ثِقَةٌ حَافِظٌ»
“Wahb ibn Jarīr, terpercaya dan penghafal hadis.”
Sedangkan Adz-Dzahabī menambahkan dalam Siyar A‘lām an-Nubalā’:
«كَانَ مِنَ الْحُفَّاظِ الْمُجَوِّدِينَ، وَأَبُوهُ مِنْ أَئِمَّةِ الْحَدِيثِ»
“Ia termasuk di antara para penghafal hadis yang teliti, dan ayahnya juga termasuk imam dalam bidang hadis.”
Di sinilah tampak perbedaan rasa: Ibn Ḥajar ringkas dan akademis, sementara Adz-Dzahabī ekspresif dan humanis.
Ketegasan dalam Kritik dan Keadilan dalam Penilaian
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menilai seseorang berdasarkan kesan atau kedekatan. Namun, Ibn Ḥajar dan Adz-Dzahabī mengajarkan prinsip keadilan ilmiah. Mereka tidak segan mengkritik tokoh besar bila terbukti memiliki kelemahan sanad, tetapi juga tidak menzalimi perawi yang salah paham.
Perhatikan penilaian mereka terhadap ‘Abdullāh ibn Lahī‘ah:
Ibn Ḥajar menulis:
«عَبْدُ اللَّهِ بْنُ لَهِيعَةَ، صَدُوقٌ، اخْتَلَطَ بَعْدَ احْتِرَاقِ كُتُبِهِ»
“‘Abdullāh ibn Lahī‘ah, jujur, tetapi hafalannya bercampur setelah kitab-kitabnya terbakar.”
Adz-Dzahabī dalam al-Kāshif menulis lebih panjang:
«كَانَ مِنْ أَفْضَلِ الْقُضَاةِ، وَصَدُوقٌ، إِلَّا أَنَّ كُتُبَهُ احْتَرَقَتْ فَاخْتَلَطَتْ رِوَايَاتُهُ»
“Ia termasuk hakim terbaik dan orang yang jujur, tetapi setelah kitab-kitabnya terbakar, riwayatnya menjadi kacau.”
Keduanya sama dalam kesimpulan, namun Adz-Dzahabī memberikan konteks emosional—ia menyiratkan empati terhadap musibah yang menimpa sang perawi. Ibn Ḥajar, dengan pendekatan filologisnya, menulis secara padat dan fungsional.
Pendekatan semacam ini menggambarkan dua sisi penting dalam ilmu: keilmuan yang jernih (scientific objectivity) dan kebijaksanaan hati (ethical empathy).
Refleksi dari Al-Qur’an: Menimbang dengan Adil
Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan pentingnya keadilan dalam menilai:
﴿وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ﴾
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 8)
Ayat ini menjadi prinsip etik para ulama hadis. Baik Ibn Ḥajar maupun Adz-Dzahabī mempraktikkan ayat ini dengan cara berbeda: yang satu mengekspresikan keadilan melalui struktur bahasa yang presisi, yang lain melalui narasi yang penuh kebijaksanaan.
Kelebihan dan Keterbatasan Keduanya
Tidak ada karya manusia yang sempurna. Taqrīb al-Tahdhīb unggul dalam efisiensi dan sistematika; sangat cocok untuk para peneliti modern yang membutuhkan rujukan cepat. Sementara karya-karya Adz-Dzahabī seperti Siyar A‘lām an-Nubalā’ dan Mīzān al-I‘tidāl memberikan konteks sosial dan spiritual yang memperkaya pemahaman.
Jika diibaratkan, Ibn Ḥajar adalah arsitek yang menggambar dengan garis presisi, sedangkan Adz-Dzahabī adalah pelukis yang menambahkan warna pada setiap figur sejarah. Kedua pendekatan ini penting, karena keilmuan yang kering dari empati akan kehilangan jiwa, sementara empati tanpa ketelitian bisa kehilangan kebenaran.
Kesimpulan: Dua Jalan, Satu Tujuan
Perbandingan penilaian perawi antara Ibn Ḥajar dan Adz-Dzahabī menunjukkan bahwa keduanya berjalan pada jalur yang sama: menjaga otentisitas hadis Nabi ﷺ. Bedanya hanya pada cara mereka menulis, bukan pada prinsip.
Bagi kita, belajar dari keduanya berarti belajar menimbang dengan ilmu dan hati. Di tengah era informasi yang cepat, warisan dua ulama besar ini mengingatkan bahwa kebenaran bukan soal kecepatan, tapi ketepatan dan kejujuran.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
