Surau.co. Membaca Taqrīb al-Tahdhīb karya al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī bukan sekadar menelusuri daftar nama perawi hadis. Ia adalah perjalanan intelektual menembus lapisan sejarah, karakter, dan kredibilitas manusia yang menjadi penjaga sabda Nabi ﷺ. Frasa kunci membedah entri perawi dalam Taqrīb al-Tahdhīb menjadi penting karena kitab ini tidak hanya mendata, tetapi juga menyaring kualitas sanad yang menjadi fondasi keabsahan hadis.
Bagi peneliti hadis, pelajar, atau santri yang baru mengenal ilmu al-jarḥ wa al-ta‘dīl, memahami cara membaca entri perawi dalam Taqrīb al-Tahdhīb merupakan keterampilan dasar. Setiap kata yang ditulis Ibn Ḥajar adalah hasil penelitian mendalam terhadap ratusan sumber klasik sebelumnya—ringkas, padat, namun penuh makna.
Menemukan Nilai di Balik Nama-Nama
Fenomena menarik saat pertama kali membuka Taqrīb al-Tahdhīb adalah bagaimana Ibn Ḥajar menulis ribuan biografi perawi dengan struktur yang sangat efisien. Tidak ada kalimat bertele-tele. Dalam satu atau dua baris, ia bisa menggambarkan reputasi seorang perawi dengan akurat.
Sebagai contoh, dalam entri mengenai perawi Sufyān al-Thawrī, Ibn Ḥajar menulis:
«سفيان بن سعيد الثوري، ثقة حافظ فقيه عابد، ربما دلّس»
“Sufyān ibn Sa‘īd al-Thawrī, terpercaya, penghafal hadis, ahli fikih, ahli ibadah, namun terkadang melakukan tadlīs (penyamaran sanad).”
Kalimat singkat ini memuat dimensi moral, ilmiah, dan teknis. Ibn Ḥajar menegaskan keagungan ilmunya, tapi tetap jujur menyebut kekurangannya. Inilah seni objektivitas ilmiah dalam ilmu hadis: menghormati tokoh tanpa menutup-nutupi catatan kelemahan.
Membaca Struktur Entri: Kunci Pemahaman yang Akurat
Agar tidak tersesat dalam lautan nama, pembaca perlu memahami format dasar entri perawi dalam Taqrīb al-Tahdhīb. Setiap entri biasanya berisi:
- Nama lengkap perawi (sering kali disertai nisbah dan kunyah).
-
Penilaian kredibilitas (ta‘dīl atau jarḥ).
-
Keterangan tambahan seperti daerah asal, murid, guru, atau catatan kecil dari ulama sebelumnya.
Misalnya, entri berikut menggambarkan seorang perawi wanita:
«كريمة بنت أحمد المروزية، صدوقة، لها سماع من الأئمة»
“Karīmah bint Aḥmad al-Marwaziyyah, jujur dan terpercaya, memiliki riwayat langsung dari para imam hadis.”
Melalui pola ini, Ibn Ḥajar menampilkan keseimbangan antara data biografis dan evaluatif. Ia tidak menghakimi, melainkan menginformasikan secara netral sehingga pembaca dapat menilai sendiri tingkat kredibilitas perawi berdasarkan kriteria ilmu hadis.
Kejujuran Intelektual dalam Kritik Hadis
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menilai seseorang berdasarkan persepsi pribadi, bukan bukti objektif. Namun, Taqrīb al-Tahdhīb justru mengajarkan kebalikan: kejujuran ilmiah di atas loyalitas pribadi.
Lihatlah entri Ibn Ḥajar tentang Mu‘āwiyah ibn Ṣāliḥ:
«معاوية بن صالح الحضرمي، صدوق له أوهام»
“Mu‘āwiyah ibn Ṣāliḥ al-Ḥaḍramī, jujur namun memiliki beberapa kesalahan.”
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Ibn Ḥajar tidak menilai berdasarkan reputasi besar, tetapi berdasarkan data riwayat dan perbandingan sanad. Di sinilah makna mendalam dari taqwā ilmiah—menjaga amanah ilmu tanpa kepentingan duniawi.
Nilai ini selaras dengan pesan Al-Qur’an:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penegak keadilan karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri.” (QS. An-Nisā’ [4]: 135)
Ayat ini menjadi fondasi moral bagi para muhaddis, termasuk Ibn Ḥajar, untuk menulis dengan kejujuran dan tanggung jawab.
Menerjemahkan Kritik Menjadi Pelajaran Hidup
Kalimat-kalimat dalam Taqrīb al-Tahdhīb sering kali terasa dingin dan akademik, namun di baliknya tersimpan hikmah kehidupan. Saat Ibn Ḥajar menulis,
«محمد بن إسحاق بن يسار، صدوق يدلس»
“Muḥammad ibn Isḥāq ibn Yasār, jujur namun terkadang menyamarkan sanad,”
ia sesungguhnya sedang berbicara tentang manusia: makhluk yang berilmu, jujur, tetapi tak luput dari kekhilafan.
Fenomena ini relevan dengan kehidupan kita hari ini. Dalam dunia digital yang penuh informasi palsu, taqwā sanad menjadi cermin bagi setiap penulis, jurnalis, dan pengguna media sosial: verifikasi sebelum menyebarkan. Seperti para ulama dahulu, kita pun dituntut menjaga integritas informasi.
Menghidupkan Warisan Ilmu di Masa Kini
Di tengah arus modernisasi, membaca Taqrīb al-Tahdhīb terasa seperti menelusuri museum moral intelektual Islam. Setiap entri bukan sekadar data sejarah, tetapi napas dari semangat keilmuan yang bersih dari pamrih.
Ibn Ḥajar menghabiskan hidupnya meneliti ribuan sanad dan biografi. Ia menulis bukan untuk ketenaran, melainkan untuk menjaga kemurnian hadis Nabi ﷺ. Dengan demikian, mempelajari kitab ini bukan hanya latihan ilmiah, tetapi juga spiritual: belajar amanah, teliti, dan rendah hati.
Hadis Nabi ﷺ pun menegaskan nilai tersebut:
«يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله، ينفون عنه تحريف الغالين وانتحال المبطلين وتأويل الجاهلين»
“Ilmu ini akan dibawa oleh orang-orang adil dari setiap generasi. Mereka akan menolak penyelewengan orang ekstrem, kebohongan orang yang batil, dan tafsir orang bodoh.” (HR. al-Bayhaqī)
Maka, memahami Taqrīb al-Tahdhīb berarti meneruskan rantai keilmuan yang menegakkan kebenaran. Ia mengajarkan kita bahwa pengetahuan harus dijaga dengan hati yang jujur.
Kesimpulan: Dari Sanad ke Spiritualitas
Membedah entri perawi dalam Taqrīb al-Tahdhīb bukan sekadar kegiatan akademik. Ia adalah latihan moral dan spiritual. Setiap nama, dari yang paling terkenal hingga yang terlupakan, adalah bagian dari mozaik sejarah Islam.
Dalam dunia modern yang haus validasi, Ibn Ḥajar mengajarkan validitas sejati: bukan pada jumlah pengikut, melainkan pada keandalan dan kejujuran. Membaca kitab ini membuat kita memahami bahwa di balik setiap sanad ada manusia—dan di balik setiap manusia ada ujian keikhlasan.
* Sugianto al-jawi
Budayawan kontemporer Tulungagung
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
