Khazanah
Beranda » Berita » Ridha ala Risalatul Mu‘awanah: Bahagia Tanpa Harus Selalu Sesuai Keinginan

Ridha ala Risalatul Mu‘awanah: Bahagia Tanpa Harus Selalu Sesuai Keinginan

ilustrasi ridha ala Risalatul Mu‘awanah, ketenangan menerima takdir
Seorang manusia duduk di tepi laut senja, menatap langit dengan cahaya lembut menyinari wajahnya.

Surau.co. Kita hidup di era yang menuntut semua serba sempurna. Media sosial menggoda kita dengan standar kebahagiaan yang palsu: karier cemerlang, wajah rupawan, pasangan ideal, dan liburan mahal. Akibatnya, banyak orang merasa gagal hanya karena hidupnya tidak semewah orang lain. Padahal, kebahagiaan sejati bukan soal memiliki semua yang diinginkan, tapi menerima dengan lapang apa pun yang Allah takdirkan.

Inilah yang disebut ridha — sebuah keadaan hati yang tenang dalam menerima ketentuan Allah, baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan. Dan di antara ulama yang menjelaskan konsep ini dengan sangat indah adalah Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam karya monumentalnya, Risālatul Mu‘āwanah.

Beliau menulis bukan untuk orang sufi di gunung, tetapi untuk kita — orang yang bekerja, berumah tangga, dan bergelut dengan dunia. Habib al-Haddad mengajarkan bahwa ridha bukan berarti berhenti berharap, melainkan belajar bahagia tanpa harus semua berjalan sesuai rencana.

Makna Ridha: Ketika Hati Sepakat dengan Takdir Allah

Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib al-Haddad menyebut ridha sebagai tanda kedewasaan spiritual seseorang. Beliau berkata:

“اِرْضَ بِمَا قَسَمَ اللَّهُ لَكَ تَكُنْ أَغْنَى النَّاسِ.”
“Ridhalah terhadap apa yang telah Allah tetapkan untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Kekayaan yang dimaksud bukanlah jumlah harta, melainkan kelapangan hati. Orang yang ridha bisa tidur nyenyak meski dunia belum sesuai harapan, sebab ia yakin Allah lebih tahu apa yang ia butuhkan.

Al-Qur’an pun menegaskan makna ini dalam firman Allah:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِنۢ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa kecuali dengan izin Allah. Dan siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya.”
(QS. At-Taghabun [64]: 11)

Ayat ini menunjukkan bahwa keimanan sejati akan melahirkan ketenangan batin. Hati yang ridha bukan karena tak punya masalah, tetapi karena tahu bahwa setiap masalah sudah diukur dengan cinta-Nya.

Ridha Bukan Pasrah Buta, Tapi Penerimaan yang Cerdas

Banyak orang salah paham terhadap ridha. Mereka mengira ridha sama dengan menyerah. Padahal, ridha bukan berarti berhenti berusaha, melainkan berdamai dengan hasil setelah berusaha.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Habib al-Haddad menulis dengan sangat lembut:

“الرِّضَا يُوجِبُ سُكُونَ الْقَلْبِ بَعْدَ الْقَضَاءِ، كَمَا أَنَّ التَّوَكُّلَ يُوجِبُ سُكُونَهُ قَبْلَهُ.”
“Ridha menenangkan hati setelah takdir terjadi, sebagaimana tawakal menenangkan hati sebelum takdir datang.”

Kalau tawakal adalah kelegaan sebelum hasil keluar, maka ridha adalah kedamaian setelah hasil diterima. Dua-duanya adalah tanda kedewasaan iman. Sedangkan ridha adalah bukti bahwa kita percaya Allah tidak pernah salah mengatur. Sebab, jika semua harus sesuai kehendak kita, lalu di mana letak ketuhanan-Nya?

Ketika Harapan Tak Terpenuhi: Ujian Keikhlasan yang Hakiki

Hidup memang tak selalu sesuai rencana. Ada cita-cita yang gagal, cinta yang kandas, dan doa yang belum dikabulkan. Tapi, bukankah semua itu adalah cara Allah mendidik hati kita?

Habib al-Haddad menjelaskan bahwa ujian adalah jalan menuju kematangan rohani:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“إِذَا عَلِمْتَ أَنَّ الْمُبْتَلِيَ هُوَ الرَّحِيمُ، اسْتَرَحْتَ عِنْدَ الْبَلَاءِ.”
“Jika engkau sadar bahwa yang mengujimu adalah Dzat Yang Maha Penyayang, niscaya engkau akan tenang saat diuji.”

Ujian hidup hanya terasa berat bagi mereka yang lupa bahwa Allah Maha Penyayang. Orang yang ridha tidak menolak rasa sedih, tapi ia tahu bahwa air mata bukan tanda kelemahan, melainkan bukti cinta kepada Sang Pengatur takdir.

Kiat-Kiat Menumbuhkan Ridha Menurut Risalatul Mu‘awanah

Habib al-Haddad tidak hanya mengajarkan konsep spiritual, tapi juga memberikan langkah-langkah praktis agar ridha bisa tumbuh di hati setiap Muslim.

  1. Kenali Diri dan Keterbatasanmu

Ridha berawal dari kesadaran bahwa kita hanyalah hamba. Kita tidak bisa mengatur semua hal. Habib al-Haddad berkata:

“مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ عَرَفَ رَبَّهُ.”
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.”

Ketika seseorang sadar bahwa dirinya terbatas, ia akan berhenti marah ketika realitas tak seindah rencana. Ia tahu tugasnya hanya berusaha, bukan menentukan hasil.

  1. Biasakan Bersyukur di Setiap Keadaan

Syukur dan ridha adalah dua sisi dari satu koin. Tidak mungkin seseorang mencapai ridha jika tidak pandai bersyukur.

Allah berfirman:

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah nikmat kepadamu.”
(QS. Ibrahim [14]: 7)

Habib al-Haddad menganjurkan agar setiap Muslim melatih mata untuk melihat nikmat, bukan hanya kekurangan. Orang yang melihat hidup dari sisi nikmat, akan menemukan bahwa alasan untuk bersyukur selalu lebih banyak daripada alasan untuk mengeluh.

  1. Latih Hati untuk Tidak Terlalu Bergantung pada Dunia

Sumber utama ketidakridhaan adalah keterikatan pada dunia. Habib al-Haddad memperingatkan:

“حُبُّ الدُّنْيَا يُعْمِي الْقُلُوبَ عَنْ مَرَاقِبَةِ اللَّهِ.”
“Cinta dunia membutakan hati dari pengawasan Allah.”

Ridha lahir dari hati yang tidak terikat pada hasil, harta, atau pengakuan manusia. Dunia boleh dicari, tapi jangan sampai dunia yang mengendalikan hati kita.

Ridha di Era Modern: Ketika Sosial Media Mengajarkan Iri

Di zaman ini, sulit sekali untuk merasa cukup. Setiap kali membuka media sosial, kita melihat orang lain lebih sukses, lebih bahagia, lebih “sempurna.” Dari sinilah rasa iri tumbuh, lalu menggerogoti rasa ridha.

Habib al-Haddad mengajarkan agar kita tidak menilai diri dengan takaran dunia. Karena ukuran keberhasilan sejati bukan viralitas atau kekayaan, tapi ketenangan hati.

Ridha di era modern berarti berani offline dari perlombaan semu. Berani berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Dan berani percaya bahwa hidup kita sudah diatur dengan sebaik-baiknya oleh Allah.

Buah dari Ridha: Hati yang Damai dan Hidup yang Lega

Ridha bukan hanya ibadah hati, tapi juga terapi jiwa. Orang yang ridha hidupnya lebih tenang, wajahnya lebih teduh, dan langkahnya lebih ringan. Ia tidak iri pada rezeki orang lain, karena yakin Allah membagi dengan adil.

Habib al-Haddad menulis dengan indah:

“الرِّضَا يُنْبِتُ السُّرُورَ فِي الْقَلْبِ، وَيُذِيبُ غَمَّ الدُّنْيَا.”
“Ridha menumbuhkan kebahagiaan di hati dan melelehkan kesedihan dunia.”

Dan Rasulullah ﷺ bersabda:

ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا
“Telah merasakan manisnya iman orang yang ridha kepada Allah sebagai Tuhannya.”
(HR. Muslim)

Ridha membuat iman terasa manis, bukan pahit. Karena orang yang ridha memandang hidup bukan dengan mata dunia, tetapi dengan mata iman.

Ridha dan Optimisme: Dua Saudara yang Tak Terpisahkan

Ridha bukan berarti berhenti bermimpi. Justru orang yang ridha paling bersemangat menjalani hidup, karena ia percaya setiap langkahnya dijaga oleh Allah.

Habib al-Haddad menyebut:

“مَنْ رَضِيَ بِقَضَاءِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.”
“Barang siapa ridha dengan ketetapan Allah, maka Allah pun ridha kepadanya.”

Inilah hubungan dua arah: ketika kita ridha pada Allah, maka Allah pun ridha pada kita. Dan saat Allah sudah ridha, maka apa pun yang terjadi di dunia tidak lagi bisa mengguncang ketenangan hati.

Penutup: Bahagia Tanpa Syarat

Ridha adalah seni tertinggi dalam beriman. Ia membuat kita tetap tersenyum di tengah kehilangan, tetap tenang saat gagal, dan tetap bersyukur meski hanya diberi sedikit.

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad lewat Risālatul Mu‘āwanah mengajarkan bahwa ridha adalah puncak kedewasaan rohani — ketika seorang hamba tak lagi menuntut dunia tunduk padanya, tapi ia sendiri yang menundukkan hatinya di hadapan kehendak Allah.

Ridha berarti belajar berkata dalam hati:

“Ya Allah, jika ini yang Kau pilih, maka aku pun memilihnya. Jika ini yang Kau tetapkan, maka aku pun menerimanya.”

Sebab, bahagia sejati bukan saat semua berjalan sesuai keinginan kita, tapi ketika hati kita bisa berkata,
“Aku tenang, karena aku tahu Engkau yang memilih jalan ini.”

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement