Surau.co. Rindu sering kali dikaitkan dengan seseorang — orang tua di kampung, kekasih yang jauh, atau sahabat lama yang tak lagi bisa ditemui. Namun, ada satu jenis rindu yang lebih dalam, lebih sunyi, dan lebih menenangkan: rindu kepada Allah.
Rindu ini bukan sekadar emosi sesaat, tapi getaran hati yang tumbuh dari kesadaran bahwa kita sebenarnya milik-Nya, dan hanya kepada-Nya kita akan kembali. Rindu kepada Allah bukan berarti menjauh dari dunia, melainkan belajar mencintai dunia dengan cara yang benar — tidak berlebihan, tidak candu, dan tidak lalai.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menggambarkan kerinduan kepada Allah sebagai tanda hidupnya hati. Semakin hati mengenal Tuhannya, semakin ia ingin dekat. Semakin sering ia lalai, semakin besar pula rasa kehilangan itu terasa. Maka, rindu kepada Allah adalah bukti bahwa jiwa kita masih bernapas.
Makna Rindu kepada Allah Menurut Para Arifin
Rindu kepada Allah (syauq ilallah) bukan hanya milik para sufi besar, tapi juga setiap Muslim yang hatinya hidup. Rindu ini muncul bukan karena jarak fisik — sebab Allah tidak jauh — melainkan karena tirai dosa dan kelalaian yang menghalangi pandangan hati.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ ۖ إِنِّي لَكُم مِّنْهُ نَذِيرٌ مُّبِينٌ
“Maka berlarilah kamu kepada Allah. Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan yang jelas dari-Nya.”
(QS. Adz-Dzāriyāt [51]: 50)
Ayat ini mengandung makna cinta dan kerinduan. “Berlari kepada Allah” bukan karena takut semata, tetapi karena rindu kepada kedamaian yang hanya ada di sisi-Nya.
Habib al-Haddad menulis dengan lembut dalam Risālatul Mu‘āwanah:
“مَنْ أَحَبَّ اللَّهَ شَوَّقَهُ إِلَى لِقَائِهِ، وَمَنْ شَوَّقَهُ إِلَيْهِ لَمْ تَسْتَقِرَّ نَفْسُهُ فِي غَيْرِ ذِكْرِهِ.”
“Barang siapa mencintai Allah, maka ia akan rindu untuk bertemu dengan-Nya. Dan siapa yang rindu kepada-Nya, jiwanya tidak akan tenang kecuali dalam mengingat-Nya.”
Inilah hakikat rindu yang tidak menyesakkan dada, tetapi menenteramkan. Ia tidak membuat manusia kehilangan akal, justru menjernihkan akal dari kekaburan dunia.
Rindu yang Menyembuhkan Hati yang Lelah
Setiap manusia memiliki ruang kosong dalam hatinya. Banyak orang berusaha mengisinya dengan harta, pengakuan, atau cinta manusia. Namun, ruang itu tidak pernah penuh. Ia diciptakan khusus untuk satu hal: kerinduan kepada Allah.
Ketika hati tak lagi candu dunia, rindu kepada Allah menjadi obat yang menyembuhkan. Dalam keramaian dunia digital, hati sering kehilangan arah. Tapi ketika seseorang duduk diam dan berzikir, ia merasakan sesuatu yang berbeda — rasa tenang yang tak bisa dijelaskan, seolah hatinya baru pulang dari perjalanan panjang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ
“Barang siapa yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utamanya, maka Allah akan menjadikan kekayaan di hatinya, menyatukan urusannya, dan dunia akan datang kepadanya dalam keadaan tunduk.”
(HR. Tirmidzi)
Hadits ini menegaskan bahwa hati yang rindu kepada Allah tidak akan mudah dikendalikan oleh dunia. Dunia justru menjadi pelayan, bukan tuan. Orang yang seperti ini tak butuh banyak hal untuk bahagia, sebab ia menemukan makna dalam setiap detik hidupnya.
Tanda-Tanda Hati yang Rindu kepada Allah
Habib al-Haddad menyebut bahwa rindu kepada Allah dapat dikenali dari perilaku yang tenang, sederhana, dan penuh dzikir. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menulis:
“مَنْ ذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا أَحَبَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ أَحَبَّهُ اللَّهُ فَتَحَ لَهُ بَابَ الشَّوْقِ إِلَيْهِ.”
“Siapa yang banyak mengingat Allah, maka Allah akan mencintainya. Dan siapa yang dicintai Allah, akan dibukakan baginya pintu kerinduan kepada-Nya.”
Rindu kepada Allah bukan sekadar ucapan “aku rindu Tuhanku,” tapi terwujud dalam cara hidup:
- Suka berzikir meski sunyi.
Ia menikmati keheningan karena di sana ia bisa berbicara dengan Allah tanpa suara. - Tidak bergantung pada pujian manusia.
Ia hanya ingin Allah yang ridha, bukan sorotan dunia. - Hatinya lembut terhadap sesama.
Sebab rindu kepada Allah membuatnya melihat setiap makhluk sebagai bagian dari kasih Tuhan.
Rindu semacam ini membuat seseorang tidak mudah terjebak dalam drama dunia. Ia bekerja, berinteraksi, dan mencintai — tapi semua dilakukan dalam kesadaran bahwa semuanya sementara.
Rindu yang Melahirkan Amal
Rindu kepada Allah tidak berhenti pada perasaan; ia menuntun pada tindakan. Seseorang yang benar-benar rindu kepada Tuhannya akan menunjukkan rindunya dalam amal. Ia rajin beribadah bukan karena kewajiban, tapi karena ingin “bertemu” dengan yang dicintainya dalam setiap sujud.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra‘d [13]: 28)
Rasa rindu itu berubah menjadi ketenangan dalam dzikir, semangat dalam ibadah, dan kesabaran dalam ujian. Rindu yang sejati tidak membuat seseorang malas atau putus asa, tapi justru semakin giat mendekat.
Habib al-Haddad menegaskan:
“لَيْسَ الشَّوْقُ بِالْكَلَامِ وَلَا بِالْدَّمْعِ، وَلَكِنَّهُ بِالْعَمَلِ وَالِاجْتِهَادِ فِي الطَّاعَةِ.”
“Rindu itu bukan sekadar ucapan atau air mata, melainkan dalam amal dan kesungguhan dalam ketaatan.”
Maka, orang yang rindu kepada Allah tidak mencari dalih untuk meninggalkan ibadah, justru ia mencari alasan untuk memperbanyaknya.
Menjinakkan Dunia, Menumbuhkan Rindu
Rindu kepada Allah tidak tumbuh di hati yang terlalu terpaut pada dunia. Karena itu, Habib al-Haddad menyarankan sikap zuhud — bukan berarti meninggalkan dunia, tetapi menempatkannya di tangan, bukan di hati.
“الزُّهْدُ لَيْسَ تَرْكَ الْمَالِ، وَلَكِنْ أَنْ يَكُونَ الْمَالُ فِي يَدِكَ لَا فِي قَلْبِكَ.”
“Zuhud bukan berarti meninggalkan harta, tetapi menjadikannya di tanganmu, bukan di hatimu.”
Ketika dunia tidak lagi mengikat hati, rindu kepada Allah mengalir dengan alami. Dunia tidak lagi menjadi penghalang, melainkan jembatan untuk mengenal kasih Tuhan. Pekerjaan menjadi ibadah, rezeki menjadi berkah, dan waktu menjadi ladang pahala.
Dalam kondisi ini, bahkan kesibukan pun menjadi cara untuk mendekat. Rindu kepada Allah tidak butuh tempat tertentu; ia hidup dalam setiap tindakan yang dilakukan dengan niat yang benar.
Rindu yang Menenangkan Jiwa di Tengah Kegelisahan Modern
Kegelisahan adalah ciri khas zaman ini. Semakin banyak manusia mencari kesenangan, semakin besar rasa kosong yang mereka rasakan. Media sosial menjanjikan koneksi, tapi justru menumbuhkan perbandingan dan iri hati.
Namun, hati yang rindu kepada Allah tidak mudah terguncang. Ia tenang karena tahu arah pulang. Ia tidak mengejar validasi dari manusia, sebab cinta Tuhan sudah cukup sebagai pengakuan.
Rindu kepada Allah adalah seni menenangkan jiwa tanpa perlu pelarian. Ia bukan melarikan diri dari realitas, tetapi menemukan makna sejati di baliknya.
Habib al-Haddad menulis:
“مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ مَحْبُوبًا وَمَقْصُودًا، لَمْ يَحْزَنْ عَلَى فَقْدِ شَيْءٍ مِنَ الدُّنْيَا.”
“Siapa yang ridha menjadikan Allah sebagai kekasih dan tujuan, maka ia tidak akan bersedih atas kehilangan apa pun dari dunia.”
Penutup: Pulang dalam Rindu yang Tak Pernah Padam
Rindu kepada Allah bukan akhir perjalanan, tapi awal dari kehidupan yang sejati. Ia adalah tanda bahwa hati telah sadar akan asalnya.
Dalam setiap sujud, setiap air mata, dan setiap dzikir, rindu itu terus berdenyut. Kadang samar, kadang kuat. Namun, ia tidak pernah mati. Sebab hati manusia diciptakan untuk itu — untuk merindukan Penciptanya.
Habib al-Haddad menutup salah satu nasihatnya dengan kalimat yang indah:
“مَنْ أَحَبَّ اللَّهَ وَرَدَ عَلَيْهِ الشَّوْقُ، وَمَنْ شَوَّقَهُ اللَّهُ لَمْ يَضِلَّ بَعْدَ ذَلِكَ أَبَدًا.”
“Siapa yang mencintai Allah, ia akan diliputi rindu; dan siapa yang Allah tanamkan rindu kepada-Nya, maka ia tak akan tersesat selamanya.”
Dan di situlah kebahagiaan sejati: bukan pada seberapa cepat dunia merespons kita, tapi pada seberapa sering hati kita merespons panggilan Allah — bahkan dalam diam, bahkan tanpa suara.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
