Surau.co. Di era modern ini, kata cinta sering kehilangan makna. Ia tergelincir menjadi sekadar notifikasi baru, pesan balasan cepat, atau status hubungan di media sosial. Cinta diukur dari seberapa sering seseorang mengirim emoji hati, bukan seberapa dalam hati mengenal makna kasih. Padahal, ada cinta yang jauh lebih tinggi, lebih murni, dan tak bisa diganti oleh siapa pun — yaitu Cinta Allah.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam karya spiritualnya, Risālatul Mu‘āwanah, mengajarkan bahwa seluruh perjalanan hidup manusia sejatinya adalah perjalanan menuju cinta Allah. Semua ibadah, amal saleh, bahkan kesabaran dan tobat, hanyalah cara untuk menumbuhkan rasa cinta yang suci itu. Cinta kepada Allah bukan teori, tapi rasa yang menenangkan jiwa dan membebaskan hati dari kelekatan pada dunia.
Dalam dunia yang sibuk dengan sinyal dan layar, cinta Allah adalah sinyal abadi yang tak pernah putus — hanya perlu hati yang mau terhubung.
Makna Cinta Allah: Rasa yang Menghidupkan Segala Rasa
Cinta kepada Allah bukan sekadar perasaan religius, melainkan bentuk tertinggi dari kesadaran spiritual. Ia menuntun manusia untuk mencintai segala sesuatu dengan cara yang benar — karena Allah, bukan menggantikan Allah.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Adapun orang-orang yang beriman, mereka amat sangat cintanya kepada Allah.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 165)
Ayat ini menegaskan bahwa cinta sejati adalah cinta yang menempatkan Allah di pusat kehidupan. Bukan cinta yang menuntut, tapi cinta yang menuntun.
Habib al-Haddad menulis dalam Risālatul Mu‘āwanah:
“عَلَامَةُ مَحَبَّةِ اللَّهِ أَنْ تُقَدِّمَ مَرْضَاتَهُ عَلَى هَوَاكَ، وَطَاعَتَهُ عَلَى مَعْصِيَتِهِ.”
“Tanda cinta kepada Allah adalah ketika engkau mendahulukan keridaan-Nya atas hawa nafsumu, dan menaati-Nya di atas kemaksiatan.”
Jadi, cinta kepada Allah bukan sekadar perasaan manis yang dibisikkan di malam sepi. Ia menuntut tindakan nyata: memilih kejujuran ketika bisa berbohong, menahan amarah ketika bisa membalas, dan tetap bersyukur saat diuji.
Cinta yang Tak Tergoyahkan oleh Dunia
Setiap manusia pasti mencintai sesuatu — harta, keluarga, teman, atau reputasi. Tapi cinta duniawi bersifat sementara; ia bisa berganti arah, bahkan bisa melukai. Sedangkan cinta kepada Allah adalah satu-satunya cinta yang tidak mengkhianati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
ثَلاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاوَةَ الإيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا…
“Tiga hal yang jika ada pada seseorang, ia akan merasakan manisnya iman: menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya…”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Habib al-Haddad menegaskan, seseorang yang benar-benar mencintai Allah akan tetap tenang ketika kehilangan dunia. Sebab ia tahu, yang hilang hanyalah bayangan, sementara Sang Kekasih sejati tak pernah pergi.
Cinta kepada Allah menjadikan seseorang kuat tanpa menjadi keras, lembut tanpa menjadi lemah. Ia tidak mudah goyah meski dunia menawarkan banyak pesona. Di tengah derasnya notifikasi, ia tetap menatap dalam keheningan, mengingat bahwa kebahagiaan sejati bukan pada perhatian manusia, tapi pada kedekatan dengan Sang Pencipta.
Cinta Allah dalam Risālatul Mu‘āwanah: Rasa yang Menyucikan Jiwa
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan bahwa cinta Allah adalah buah dari hati yang bersih dan jiwa yang tunduk. Ia tidak lahir dari banyaknya hafalan, tapi dari keikhlasan amal dan kesadaran akan kebesaran-Nya.
“مَنْ أَحَبَّ اللَّهَ حَقًّا أَطَاعَهُ، وَمَنْ أَطَاعَهُ أَصْلَحَ اللَّهُ قَلْبَهُ، وَأَنْعَمَ عَلَيْهِ بِالطُّمَأْنِينَةِ.”
“Barang siapa mencintai Allah dengan sungguh-sungguh, maka ia akan menaati-Nya; dan siapa yang menaati-Nya, Allah akan memperbaiki hatinya serta memberinya ketenangan.”
Cinta kepada Allah, menurut Habib al-Haddad, adalah puncak dari perjalanan iman. Ia tumbuh dari tiga akar: ma‘rifah (mengenal Allah), dzikr (mengingat Allah), dan syukur atas segala nikmat-Nya. Tanpa mengenal, cinta menjadi buta. Tanpa mengingat, cinta menjadi rapuh. Dan tanpa syukur, cinta menjadi hampa.
Karena itu, beliau menekankan pentingnya memperbanyak dzikr, membaca Al-Qur’an dengan tadabbur, serta menjaga adab hati dalam berhubungan dengan sesama — sebab semua itu adalah latihan untuk menjaga cinta agar tetap hidup.
Mengenal Allah untuk Mencintai-Nya
Tak mungkin seseorang mencintai sesuatu yang tidak dikenalnya. Maka, cinta kepada Allah lahir dari pengetahuan tentang siapa Allah. Pengetahuan ini bukan sekadar hafalan sifat-sifat-Nya, tapi kesadaran yang hidup di hati.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.”
(QS. Al-Mā’idah [5]: 54)
Ayat ini menunjukkan hubungan timbal balik — Allah mencintai hamba-Nya, dan hamba yang mengenal-Nya akan membalas cinta itu dengan pengabdian.
Habib al-Haddad menulis:
“مَعْرِفَةُ اللَّهِ تُنْبِتُ مَحَبَّتَهُ فِي الْقَلْبِ، وَمَحَبَّتُهُ تَجْلِبُ لَذَّةَ الْقُرْبِ مِنْهُ.”
“Mengenal Allah akan menumbuhkan cinta kepada-Nya dalam hati, dan cinta itu akan membawa kenikmatan karena merasa dekat dengan-Nya.”
Dengan demikian, jalan untuk mencintai Allah bukanlah dengan meninggalkan dunia, tetapi dengan melihat dunia sebagai tanda kasih-Nya. Setiap matahari terbit, setiap detak jantung, dan setiap napas yang kita hirup adalah surat cinta dari Sang Khalik kepada hamba-Nya.
Tanda-Tanda Orang yang Mencintai Allah
Habib al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menjelaskan beberapa tanda seseorang benar-benar mencintai Allah:
- Ia lebih senang berdzikir daripada berbicara sia-sia.
Hatinya selalu ingin terhubung dengan Allah. Ia menikmati kesendirian bukan karena sepi, tapi karena di sana ia merasa dekat dengan Sang Kekasih. - Ia mendahulukan perintah Allah di atas keinginannya.
Ketika dihadapkan pada pilihan antara kesenangan pribadi dan keridaan Allah, ia memilih yang kedua tanpa ragu. - Ia mencintai makhluk karena Allah.
Cintanya kepada manusia tidak membuatnya lalai, justru memperkuat rasa kasih dan tanggung jawab.
Dalam salah satu bagiannya, Habib al-Haddad menulis:
“مَنْ أَحَبَّ اللَّهَ رَأَى كُلَّ جَمِيلٍ مِنْهُ، وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْهُ رَأَى كُلَّ شَيْءٍ نَقْصًا.”
“Siapa yang mencintai Allah, ia akan melihat segala keindahan datang dari-Nya; dan siapa yang berpaling, ia akan melihat kekurangan dalam segala hal.”
Cinta kepada Allah membuat seseorang tidak mudah kecewa, sebab ia tahu — di balik semua peristiwa, ada kasih yang sedang mendidik.
Menjaga Cinta Allah di Tengah Hiruk Pikuk Dunia
Cinta kepada Allah memang bisa tumbuh di masjid dan majelis dzikir, tapi ujian sejatinya justru muncul di tengah kehidupan sehari-hari: di jalanan, di kantor, di layar ponsel. Di situlah cinta diuji — apakah ia sekadar perasaan, atau benar-benar menjadi kompas hidup.
Untuk menjaga cinta Allah, Habib al-Haddad memberi beberapa kiat penting:
- Perbanyak dzikr dan muhasabah (introspeksi).
Dzikr menjaga hati tetap hangat, sementara muhasabah mencegahnya beku oleh dosa. - Jaga pandangan dan pendengaran.
Karena apa yang masuk lewat mata dan telinga akan mempengaruhi kebersihan hati. - Sertakan niat cinta dalam setiap amal.
Bekerja, menolong, belajar — semua bisa menjadi ibadah jika dilakukan karena cinta kepada Allah.
Zaman boleh berubah, tapi rasa cinta kepada Allah tetap relevan. Ia tidak kalah oleh algoritma atau tren, sebab cinta ini tidak butuh koneksi internet — hanya koneksi batin yang jujur.
Ketika Cinta Allah Mengobati Segala Luka
Setiap manusia pernah kecewa karena cinta yang berbalas luka. Tapi cinta kepada Allah tak pernah melukai; justru ia menyembuhkan. Allah tidak menjanjikan hidup tanpa air mata, tapi Ia menjanjikan hati yang kuat untuk menahan air mata itu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ عَبْدًا ابْتَلَاهُ
“Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan mengujinya.”
(HR. Tirmidzi)
Habib al-Haddad menjelaskan bahwa ujian adalah tanda perhatian Allah. Ia menulis:
“الِابْتِلَاءُ لِلْمُؤْمِنِ مَحَبَّةٌ وَتَزْكِيَةٌ، لِيَرْقَى فِي دَرَجَاتِ الْمَحَبَّةِ.”
“Ujian bagi orang beriman adalah tanda cinta dan penyucian, agar ia naik ke derajat cinta yang lebih tinggi.”
Jadi, setiap kesedihan, kehilangan, dan kegelisahan bukan bentuk penolakan Allah, tapi cara-Nya menarik kita lebih dekat.
Penutup: Cinta yang Tak Bisa Diganti Notifikasi Siapa Pun
Cinta Allah adalah rasa yang tak bisa diganti oleh notifikasi siapa pun. Ia tidak bergantung pada kehadiran orang lain, tidak menuntut balasan, dan tidak pernah padam.
Ketika manusia mengejar cinta yang fana, cinta Allah tetap menunggu di pintu hati. Ia tidak mengetuk keras, tapi berbisik lembut dalam setiap dzikr, dalam setiap sujud, dalam setiap napas yang disadari.
Habib al-Haddad menulis dengan indah:
“مَنْ ذَاقَ مَحَبَّةَ اللَّهِ نَسِيَ كُلَّ مَحَبَّةٍ سِوَاهَا.”
“Barang siapa telah merasakan cinta Allah, ia akan lupa pada semua cinta selain-Nya.”
Dan pada akhirnya, hanya cinta itu yang benar-benar membuat hidup bernilai — cinta yang tidak bergantung pada sinyal, tapi pada kesadaran bahwa Allah selalu dekat, lebih dekat dari urat leher kita.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
