Surau.co. Hidup di era modern berarti hidup di tengah gemuruh. Notifikasi tak henti berdenting, iklan menjerat perhatian, dan hasrat untuk “menjadi lebih” terus menekan batin. Di antara riuh itu, muncul pertanyaan sederhana tapi menohok: bagaimana caranya tetap tenang, sederhana, dan tidak diperbudak dunia?
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, seorang ulama besar dari Hadhramaut yang karya spiritualnya Risālatul Mu‘āwanah menjadi panduan lintas zaman, memberi jawaban dengan satu kata kunci: zuhud.
Zuhud bukan berarti lari dari dunia, tapi bebas dari perbudakan dunia. Ia bukan tentang meninggalkan harta, tapi tentang menata hati. Dalam bahasa sederhana, zuhud adalah kemampuan menikmati dunia tanpa menjadikannya tuhan.
Makna Zuhud: Bukan Menolak Dunia, Tapi Tidak Diperbudak Dunia
Banyak orang salah paham tentang zuhud. Mereka membayangkannya sebagai hidup miskin, berpakaian lusuh, dan menolak segala bentuk kenyamanan. Padahal, dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib al-Haddad menjelaskan bahwa zuhud bukan menolak dunia, tetapi meletakkan dunia di tangan, bukan di hati.
“اِزْهَدْ فِي الدُّنْيَا يَحِبُّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ النَّاسِ يُحِبُّكَ النَّاسُ.”
“Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu; dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, niscaya manusia mencintaimu.”
(HR. Ibnu Majah)
Habib al-Haddad menulis dalam Risālatul Mu‘āwanah:
“وَالزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا لَا يَعْنِي تَرْكَهَا، بَلْ أَنْ لَا تَمْلِكَ قَلْبَكَ.”
“Zuhud terhadap dunia bukan berarti meninggalkannya, melainkan agar dunia tidak menguasai hatimu.”
Jadi, seseorang bisa saja memiliki harta, jabatan, atau teknologi tercanggih — tapi tetap zuhud, selama hatinya tidak terpaut padanya. Ia menggunakan dunia sebagai jembatan menuju akhirat, bukan sebagai istana untuk tinggal selamanya.
Zuhud di Tengah Konsumerisme: Seni Menyaring, Bukan Menolak
Zaman sekarang, kita hidup dalam budaya lebih-lebih-lebih. Lebih kaya, lebih cantik, lebih viral. Semua diukur dengan angka dan penampilan. Di tengah budaya semacam ini, zuhud adalah bentuk keberanian — keberanian untuk berkata cukup.
Habib al-Haddad menulis:
“اِقْتَنِعْ بِالْيَسِيرِ مِنَ الدُّنْيَا تَسْلَمْ، وَاحْذَرِ الطَّمَعَ فَإِنَّهُ يُعْمِي الْقَلْبَ.”
“Cukuplah dengan bagian kecil dari dunia agar engkau selamat, dan jauhilah ketamakan karena ia membutakan hati.”
Zuhud bukan menolak kemajuan teknologi, bukan pula anti kemewahan. Ia adalah kesadaran batin bahwa yang kita miliki hanyalah titipan. Maka, seseorang bisa tetap menggunakan ponsel terbaru, selama ia tak menjadikan ponsel itu ukuran harga dirinya. Zuhud bukan pada apa yang tampak di tangan, tapi pada bagaimana hati memperlakukan dunia.
Zuhud di era modern berarti tahu kapan harus berhenti. Tidak semua yang bisa dibeli perlu dimiliki. Tidak semua yang viral perlu diikuti. Karena ketenangan bukan hasil dari kepemilikan, melainkan dari pembebasan.
Zuhud dan Ketenangan Jiwa
Salah satu buah zuhud yang paling nyata adalah ketenangan. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra‘d [13]: 28)
Orang yang zuhud tidak mengukur hidupnya dari seberapa banyak yang ia kumpulkan, tetapi seberapa damai ia menjalani hari. Ia tak sibuk iri dengan rezeki orang lain, karena hatinya penuh dengan rasa cukup.
Habib al-Haddad menulis:
“الزُّهْدُ مَفْتَاحُ الرَّاحَةِ وَسَبَبُ طُمَأْنِينَةِ الْقَلْبِ.”
“Zuhud adalah kunci ketenangan dan sebab ketenteraman hati.”
Maka, semakin seseorang menata niat dan menyingkirkan ketergantungan pada dunia, semakin luas ruang hatinya untuk menerima kedamaian. Ia tetap bekerja keras, tapi tak lagi terbebani ambisi yang menyesakkan.
Menjadi Zuhud Tanpa Menjadi Anti-Kemajuan
Banyak orang berpikir, kalau zuhud berarti tidak boleh kaya atau sukses. Padahal tidak demikian. Dalam Islam, zuhud tidak bertentangan dengan kemakmuran. Bahkan, para sahabat Nabi ﷺ seperti Abdurrahman bin Auf dan Utsman bin Affan adalah orang-orang kaya yang zuhud.
Rasulullah ﷺ sendiri berdoa:
“اللَّهُمَّ اجْعَلْ رِزْقَ آلِ مُحَمَّدٍ كَفَافًا.”
“Ya Allah, jadikanlah rezeki keluarga Muhammad sekadar yang mencukupi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, beliau tidak meminta kekurangan, tapi juga tidak menginginkan berlebihan. Itulah inti zuhud — keseimbangan antara kerja duniawi dan orientasi ukhrawi.
Habib al-Haddad menjelaskan bahwa zuhud sejati adalah saat dunia berada di tangan yang bekerja, tapi tidak menyelinap ke dalam hati yang berharap. Maka, seorang profesional yang tetap jujur, seorang pebisnis yang adil, atau seorang pejabat yang tidak korup, semuanya bisa menjadi orang zuhud di zaman modern ini.
Tiga Tahapan Zuhud Menurut Habib al-Haddad
Habib al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menyebut bahwa zuhud memiliki tingkatan. Semakin tinggi derajat zuhud seseorang, semakin ringan langkahnya menuju Allah.
- Zuhud dari Hal-Hal Haram
Ini adalah tingkat dasar: menjauh dari apa yang Allah haramkan. Orang yang berada di tahap ini melatih diri untuk tidak tamak, tidak curang, tidak mengambil sesuatu yang bukan haknya. Ia belajar membedakan antara kebutuhan dan nafsu.
- Zuhud dari Hal-Hal Mubah yang Berlebihan
Tahapan ini lebih halus. Ia menahan diri dari hal-hal mubah (boleh) yang berlebihan — seperti berfoya-foya, pamer, atau mencari pengakuan lewat materi. Bukan karena hal itu haram, tapi karena bisa mengotori hati.
“لَا تَمْلَأْ قَلْبَكَ بِالدُّنْيَا فَتَظْلِمَ عَلَيْكَ السَّمَاءُ.”
“Jangan penuhi hatimu dengan dunia, nanti langit (rahmat) tertutup darimu.”
- Zuhud dari Selain Allah
Ini tahap tertinggi. Di sini seseorang tidak hanya melepaskan dunia, tapi juga melepaskan ego. Ia tidak lagi mencari pujian, status, atau bahkan balasan atas amalnya. Hatinya hanya ingin ridha Allah. Inilah zuhud para wali dan kekasih Allah — mereka hidup di dunia, tapi jiwa mereka melayang menuju Tuhan.
Zuhud dan Gaya Hidup Minimalis: Titik Temu Timur dan Barat
Menariknya, konsep zuhud memiliki kemiripan dengan gerakan minimalisme di dunia modern — hidup dengan secukupnya, membebaskan diri dari barang yang tak perlu, dan fokus pada hal-hal bermakna. Namun, perbedaan mendasarnya adalah orientasi spiritual.
Jika minimalisme bertujuan menata hidup agar lebih ringan, maka zuhud menata hati agar lebih dekat dengan Allah. Minimalisme berhenti di ketenangan diri, sementara zuhud melangkah ke ketenangan rohani.
Zuhud bukan sekadar “decluttering” rumah, tapi “decluttering” hati. Bukan hanya membersihkan lemari dari pakaian, tapi membersihkan batin dari ambisi.
Habib al-Haddad menulis:
“زَهِدْ فِي مَا يَفْنَى، وَارْغَبْ فِي مَا يَبْقَى.”
“Berzuhudlah terhadap apa yang fana, dan bersemangatlah terhadap apa yang kekal.”
Maka, orang zuhud tetap bekerja, berkeluarga, dan menikmati hidup — namun tanpa kehilangan arah. Ia menikmati dunia seperlunya, bukan sepenuhnya.
Zuhud Sebagai Bentuk Kecerdasan Spiritual
Zuhud adalah puncak kecerdasan spiritual — kemampuan melihat nilai abadi di tengah hal-hal sementara. Orang yang zuhud tidak anti-kemajuan, tapi tahu bagaimana menempatkan dunia sebagai sarana, bukan tujuan.
Dalam kehidupan modern, kecerdasan ini sangat dibutuhkan. Banyak orang pintar, tapi sedikit yang bijak. Banyak yang sukses, tapi jarang yang tenang. Zuhud melatih manusia agar tidak terjebak dalam kesuksesan yang kosong, dan menemukan makna di balik kesederhanaan.
Penutup: Menjadi Cahaya di Tengah Gemerlap
Zuhud bukan untuk para sufi di gunung, tapi untuk siapa pun yang ingin hidup tenang di tengah gemerlap zaman. Ia adalah seni menata hati di tengah derasnya arus dunia. Habib al-Haddad menulis:
“مَنْ زَهِدَ فِي الدُّنْيَا أَبْصَرَ الْحَقَّ، وَمَنْ أَحَبَّهَا أَعْمَتْهُ.”
“Barang siapa zuhud terhadap dunia, ia akan melihat kebenaran; dan barang siapa mencintainya berlebihan, ia akan buta.”
Zuhud mengajarkan kita untuk tidak memusuhi dunia, tapi juga tidak tunduk padanya. Untuk tetap bekerja, tapi dengan hati yang sadar. Untuk tetap berusaha, tapi tahu kapan harus berhenti.
Sebab, pada akhirnya, dunia hanyalah perahu yang membawa kita melintasi samudra kehidupan. Dan orang zuhud adalah nahkoda yang bijak — ia tahu bahwa tujuan bukan di laut, tapi di seberang: menuju Allah yang Maha Kekal.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
