Khazanah
Beranda » Berita » Ilmu Hadis Bukan Cuma Tentang Sanad: Spirit Keilmuan dari Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ

Ilmu Hadis Bukan Cuma Tentang Sanad: Spirit Keilmuan dari Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ

ulama klasik menulis kitab hadis di bawah cahaya lampu minyak sebagai simbol kejujuran dan spirit ilmu hadis
ulama klasik menulis dengan tenang di ruang sederhana, simbol kesungguhan dan keikhlasan dalam menuntut ilmu hadis menurut Ibn al-Ṣalāḥ.

Surau.co. Banyak orang mengira ilmu hadis hanya membahas soal sanad—siapa meriwayatkan dari siapa, dan apakah rantainya tersambung atau tidak. Padahal, dalam pandangan Ibn al-Ṣalāḥ, ilmu hadis jauh lebih luas dan mendalam. Ia bukan sekadar sistem teknis pelacakan periwayatan, tetapi sebuah etos intelektual dan spiritual yang membentuk karakter keilmuan Islam.

Karya agungnya, Muqaddimah fī ʿUlūm al-Ḥadīth, telah menjadi fondasi utama bagi hampir semua kajian hadis setelahnya. Namun yang membuatnya istimewa bukan hanya klasifikasi ilmiahnya, melainkan jiwa ilmu yang dihidupkan Ibn al-Ṣalāḥ di balik setiap istilah dan definisi.

Ilmu Hadis sebagai Jalan Menuju Kebenaran

Ibn al-Ṣalāḥ membuka karyanya dengan menjelaskan hakikat ilmu hadis:

“هو معرفة القواعد التي يُعرف بها حال السند والمتن من حيث القبول والرد.”
“Ilmu hadis adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari segi diterima atau ditolaknya.”

Definisi ini memang teknis, tapi maknanya dalam. Ibn al-Ṣalāḥ ingin menegaskan bahwa ilmu hadis adalah instrumen untuk menjaga kebenaran. Ia bukan hanya kumpulan data, melainkan sistem moral yang memisahkan kejujuran dari kepalsuan, keaslian dari penambahan, dan amanah dari kelalaian.

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

Di era digital hari ini, definisi itu terasa relevan. Bukankah kita juga hidup di zaman ketika kebenaran sering kabur oleh banyaknya sumber? Ibn al-Ṣalāḥ seolah berpesan: sebelum menerima informasi, pelajari dulu sanadnya — siapa yang menyampaikan, dari mana asalnya, dan apakah ia bisa dipercaya.

Spirit Ilmu: Ketelitian yang Lahir dari Keikhlasan

Yang menarik, Ibn al-Ṣalāḥ menekankan bahwa ilmu hadis tidak akan bermanfaat tanpa niat yang ikhlas. Ia menulis:

“ينبغي لطالب الحديث أن يخلص النية لله تعالى، فإن العلم عبادةٌ وقربة.”
“Seorang penuntut ilmu hadis hendaknya memurnikan niatnya untuk Allah, karena ilmu adalah ibadah dan bentuk pendekatan diri kepada-Nya.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Ibn al-Ṣalāḥ, keilmuan tidak terpisah dari spiritualitas. Sanad yang tersambung tidak akan berarti jika hati yang memegangnya terputus dari kejujuran.

Fenomena yang sama sering kita lihat hari ini. Banyak yang mengejar gelar akademik, publikasi, dan pengakuan, tapi kehilangan ruh ilmu. Ibn al-Ṣalāḥ mengingatkan: “Ilmu adalah ibadah,” bukan semata prestasi intelektual.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Lebih dari Hafalan: Ilmu yang Menghidupkan Hati

Di zaman klasik, banyak ulama yang dikenal karena hafalan hadisnya yang luar biasa. Namun Ibn al-Ṣalāḥ menolak menjadikan hafalan sebagai satu-satunya ukuran keilmuan. Ia menulis:

“الحفظ بلا فهمٍ لا يغني، والعلم بلا عملٍ لا ينفع.”
“Hafalan tanpa pemahaman tidak bermanfaat, dan ilmu tanpa amal tidak berguna.”

Kalimat itu menjadi kritik abadi terhadap ilmu yang kering dari kesadaran. Ia ingin agar para pelajar hadis bukan hanya pandai mengutip, tetapi juga menyerap makna moral di balik teks.

Ilmu hadis, dalam makna ini, adalah ilmu yang memanusiakan. Ia melatih hati untuk berhati-hati, melatih lisan untuk jujur, dan melatih pikiran untuk adil dalam menilai.

Dalam kehidupan modern, pesan ini terasa hidup: informasi yang benar belum tentu bermanfaat jika tidak diiringi niat baik dan pemahaman mendalam.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Dari Sanad ke Adab: Etika dalam Menuntut Ilmu

Salah satu kekuatan Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ adalah panduannya tentang adab penuntut ilmu. Ia tidak hanya berbicara tentang teknis periwayatan, tapi juga karakter seorang muhaddits.

Ia menulis dengan nada yang hangat:

“على المحدّث أن يتأدّب بأدب العلماء، ويتوقّر في مجلسه، ولا يتكلم إلا بما فيه نفع.”
“Seorang ahli hadis harus beradab dengan adab para ulama, bersikap hormat di majelisnya, dan tidak berbicara kecuali dengan hal yang bermanfaat.”

Etika ini tampak sederhana, tapi sangat mendasar. Ibn al-Ṣalāḥ tahu bahwa ilmu tidak akan berbuah jika tidak disertai adab. Ilmu yang tinggi tanpa kerendahan hati hanya akan melahirkan keangkuhan.

Dalam dunia akademik masa kini, etika ilmiah — kejujuran, menghormati guru, dan tidak memanipulasi data — sejatinya adalah turunan langsung dari adab ulama hadis yang diajarkan oleh Ibn al-Ṣalāḥ.

Ilmu Hadis sebagai Warisan Peradaban

Bagi Ibn al-Ṣalāḥ, ilmu hadis bukan hanya disiplin akademik, tetapi penjaga peradaban Islam. Dengan ilmu ini, umat menjaga orisinalitas pesan Nabi ﷺ dari distorsi. Ia menulis dengan nada penuh kebanggaan:

“إن الله حفظ هذا الدين برجالٍ حملوا السنة وصانوها من التحريف.”
“Sesungguhnya Allah menjaga agama ini melalui orang-orang yang memikul sunnah dan melindunginya dari penyimpangan.”

Ungkapan ini menggambarkan bahwa setiap ulama hadis adalah bagian dari rantai penjaga wahyu. Mereka bekerja bukan untuk popularitas, tapi untuk tanggung jawab sejarah.

Kita mungkin tidak lagi menjadi perawi hadis, tapi prinsip yang sama berlaku: setiap orang beriman adalah penjaga kebenaran — dalam profesinya, ucapannya, dan tulisannya.

Konteks Modern: Menghidupkan Kembali Spirit Ibn al-Ṣalāḥ

Jika Ibn al-Ṣalāḥ hidup di era media sosial, barangkali ia akan menjadi pengingat keras terhadap budaya “asal share tanpa periksa.” Ia akan berkata: “Setiap postingan punya sanad.”

Spirit ilmu hadis mengajarkan bahwa kebenaran tidak boleh dipisahkan dari proses. Dan proses itu — verifikasi, klarifikasi, dan tanggung jawab — adalah bentuk ibadah.

Allah telah berfirman:

وَقُل رَّبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Ṭāhā: 114)

Ayat ini menegaskan bahwa ilmu sejati tidak berhenti pada pengetahuan, tetapi tumbuh dalam keinginan untuk terus belajar — dengan hati yang tunduk dan jiwa yang terbuka.

Penutup: Ilmu Hadis, Cermin Kejujuran Zaman

Dari Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, kita belajar bahwa ilmu hadis bukan cuma tentang sanad, tapi tentang amanah, adab, dan cinta kebenaran. Ia bukan hanya mengajarkan cara menghafal hadis, tapi juga cara menjadi manusia yang jujur dan bertanggung jawab terhadap kebenaran yang ia bawa.

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh informasi palsu, semangat Ibn al-Ṣalāḥ terasa seperti oase — mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, menelusuri asal setiap kata, dan memastikan bahwa yang kita sampaikan benar-benar membawa cahaya, bukan kebingungan.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement