Surau.co. Dalam khazanah keilmuan Islam klasik, ada satu disiplin yang luar biasa rinci: ilmu hadis. Ia tidak hanya meneliti apa yang diriwayatkan Nabi ﷺ, tetapi juga siapa yang meriwayatkan, kapan ia hidup, dan bahkan dari mana ia berasal.
Ibn al-Ṣalāḥ dalam karya monumentalnya Muqaddimah fī ʿUlūm al-Ḥadīth memberi perhatian besar pada dimensi geografis para perawi hadis — sesuatu yang sering disebut sebagai geografi sanad. Dalam pandangannya, mengetahui asal-usul tempat hidup dan perjalanan seorang perawi bukan sekadar trivia sejarah, melainkan bagian dari verifikasi kebenaran riwayat.
Peta Perjalanan Ilmu dari Hijaz ke Dunia
Pada masa Nabi ﷺ, ilmu hadis masih hidup di lisan para sahabat. Setelah beliau wafat, para sahabat menyebar ke berbagai wilayah Islam: Madinah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir, dan Yaman. Dari sinilah lahir pusat-pusat transmisi hadis yang menjadi fondasi geografi sanad.
Ibn al-Ṣalāḥ menulis:
“إن علم البلدان والمواطن من تمام معرفة الرجال، إذ به يُعرف اتصال الرواية وانقطاعها.”
“Pengetahuan tentang negeri dan tempat tinggal para perawi termasuk bagian dari kesempurnaan ilmu tentang para perawi, sebab dengannya dapat diketahui apakah sanad itu bersambung atau terputus.”
Pernyataan ini mengandung makna metodologis yang tajam. Bila dua perawi hidup di kota yang berbeda dan tak pernah bertemu, maka riwayat di antara keduanya patut dicurigai.
Artinya, jarak geografis menjadi indikator ilmiah dalam validasi hadis. Seorang ahli hadis bukan hanya penghafal, tapi juga penelusur sejarah, antropolog, bahkan “detektif lintas wilayah”.
Mengapa Tempat Penting? Karena Ilmu Punya Akar
Dalam Muqaddimah-nya, Ibn al-Ṣalāḥ menegaskan pentingnya mengetahui asal daerah perawi karena setiap wilayah memiliki karakteristik ilmiah dan tradisi keilmuan yang berbeda. Ia menulis:
“فأهل الحجاز غالب روايتهم عن الصحابة، وأهل العراق أكثرهم عن التابعين، ولكلٍّ منهما طريقةٌ في النقل والضبط.”
“Penduduk Hijaz kebanyakan meriwayatkan langsung dari sahabat, sedangkan penduduk Irak banyak meriwayatkan dari tabi‘in. Masing-masing memiliki cara dan tradisi tersendiri dalam meriwayatkan.”
Kalimat ini memberi kita gambaran bahwa setiap wilayah memiliki ekosistem ilmu. Para ulama Hijaz dikenal dengan kehati-hatian dan kekuatan hafalan, sementara ulama Irak terkenal dengan analisis kritis dan keluasan pengetahuan.
Dari sini, Ibn al-Ṣalāḥ menegaskan bahwa geografi memengaruhi epistemologi. Cara seseorang memahami dan meriwayatkan hadis tak bisa dilepaskan dari konteks tempat ia hidup dan belajar.
Menelusuri Jejak Manusia di Balik Sanad
Setiap nama dalam sanad bukan hanya titik di rantai riwayat, tetapi manusia dengan perjalanan hidup yang konkret. Mereka berpindah kota, belajar dari guru, mengajar murid, dan meninggalkan jejak ilmu yang dapat ditelusuri.
Ibn al-Ṣalāḥ menulis dengan gaya penuh penghormatan:
“من تمام معرفة الراوي أن يُعرف بلده ومسكنه ورحلته، فإنها من دلائل صدقه وأمانته.”
“Termasuk kesempurnaan dalam mengenal seorang perawi ialah mengetahui negerinya, tempat tinggalnya, dan perjalanannya, karena semua itu menjadi tanda kejujuran dan amanahnya.”
Ulama hadis pada masa itu bahkan membuat peta perjalanan ilmu para perawi. Ada yang menempuh ribuan kilometer hanya untuk mendengar satu hadis dari satu guru. Itulah sebabnya dalam literatur hadis sering muncul istilah riḥlah fī ṭalab al-ḥadīth — “perjalanan mencari hadis.”
Kita mungkin menganggapnya ekstrem, tapi bagi mereka, kebenaran adalah sesuatu yang pantas diperjuangkan dengan langkah dan debu perjalanan.
Fenomena Modern: Informasi yang Tanpa Arah
Jika dahulu para perawi menempuh perjalanan panjang demi satu hadis, kini kita justru menempuh jarak nol untuk menerima ribuan informasi — hanya dari layar ponsel.
Namun, tanpa kesadaran tentang “asal informasi”, kita rentan menyebarkan kabar tanpa sanad. Ibn al-Ṣalāḥ mengajarkan bahwa kebenaran butuh arah — seperti hadis yang butuh rantai.
Al-Qur’an pun memberi peringatan keras:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah kebenarannya.” (QS. Al-Ḥujurāt: 6)
Ayat ini adalah “landasan sanad” dalam segala hal. Ia menegaskan bahwa setiap kabar memiliki tanggung jawab verifikasi.
Maka, jika dulu para ulama memeriksa asal kota dan guru seorang perawi, kini tugas kita adalah memeriksa asal sumber informasi — dari mana, oleh siapa, dan untuk apa.
Geografi Sanad sebagai Cermin Peradaban Ilmu
Yang menarik, perhatian Ibn al-Ṣalāḥ terhadap asal-usul perawi mencerminkan pandangan Islam yang sangat humanistik. Ilmu bukan hanya tentang isi, tapi juga tentang perjalanan manusia yang menyampaikannya.
Dalam satu bagian, beliau menulis:
“الحديث علم الرجال كما هو علم الرواية، فبمعرفة أحوال الناس تُعرف درجات الأخبار.”
“Ilmu hadis adalah ilmu tentang manusia sebagaimana ia ilmu tentang riwayat; dengan mengenali keadaan manusia, kita memahami derajat berita yang mereka bawa.”
Pernyataan ini luar biasa. Ibn al-Ṣalāḥ menempatkan manusia — bukan teks semata — sebagai kunci memahami ilmu. Ia sadar bahwa kebenaran tidak turun begitu saja dari langit; ia dititipkan kepada manusia yang memiliki latar, perjalanan, dan tempat hidup yang nyata.
Refleksi: Kita Semua Memiliki Sanad
Mungkin hari ini kita tidak lagi mencatat nama-nama guru dalam sanad formal, tapi setiap dari kita punya “sanad kehidupan” — siapa yang mengajar, siapa yang memengaruhi, siapa yang kita percayai.
Konsep geografi sanad mengingatkan bahwa ilmu tak pernah lahir di ruang hampa. Ia selalu berpindah dari hati ke hati, dari tempat ke tempat, dari generasi ke generasi.
Ibn al-Ṣalāḥ dengan gaya lembutnya mengingatkan:
“البركة في العلم إنما تكون بالاتصال، ومن انفرد عن أهله ضاعت بركته.”
“Keberkahan ilmu terletak pada keterhubungan; siapa yang memisahkan diri dari lingkaran ilmu, maka hilanglah keberkahannya.”
Kalimat ini terasa relevan bagi kita di era digital — di mana keterhubungan bisa hilang meski jaringan selalu tersambung. Ilmu tidak tumbuh dari algoritma, tapi dari hubungan yang jujur antara manusia.
Penutup: Dari Peta Menuju Jiwa Ilmu
Melalui konsep geografi sanad, Ibn al-Ṣalāḥ menunjukkan bahwa ilmu hadis bukan sekadar sistem penilaian, tetapi juga kisah kemanusiaan. Setiap titik di peta sanad adalah kisah seseorang yang berjalan, belajar, dan menjaga amanah.
Ilmu yang lahir dari perjalanan seperti itu bukan hanya sahih, tapi juga berjiwa.
Ia menghubungkan masa lalu dengan masa kini, mengikat murid pada guru, dan menuntun kita memahami bahwa kebenaran selalu punya arah — dan arah itu menuju kejujuran.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
