Khazanah
Beranda » Berita » Dari Sahabat ke Tabiʿin: Rantai Emas dalam Sanad Menurut Ibn al-Ṣalāḥ

Dari Sahabat ke Tabiʿin: Rantai Emas dalam Sanad Menurut Ibn al-Ṣalāḥ

dua ulama klasik menghubungkan rantai emas di antara kitab terbuka sebagai simbol sanad hadis dan warisan ilmu Rasulullah ﷺ
Dua ulama klasik duduk saling berhadapan, satu memegang kitab dan satu memegang rantai emas bercahaya, melambangkan kesinambungan sanad ilmu dari sahabat hingga tabiʿin.

Surau.co. Dalam sejarah keilmuan Islam, tak ada warisan intelektual yang dijaga seketat sanad hadis. Para ulama klasik menjadikan sanad sebagai “rantai emas” yang menghubungkan umat dengan Rasulullah ﷺ. Melalui rantai inilah, ucapan, tindakan, dan pengakuan Nabi ditransmisikan lintas generasi secara hati-hati dan berlapis-lapis.

Konsep rantai emas dalam sanad ini mendapat tempat penting dalam karya monumental Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ʿUlūm al-Ḥadīth, yang menjadi fondasi hampir semua literatur hadis setelahnya. Ibn al-Ṣalāḥ menjelaskan bahwa kekuatan Islam terletak bukan hanya pada teks, tetapi juga pada kejujuran manusia yang menyampaikannya.

Sanad: Warisan yang Menjaga Kebenaran

Ibn al-Ṣalāḥ mendefinisikan sanad dengan kalimat yang singkat namun bernas:

“الإسناد هو الطريق الموصلة إلى المتن.”
“Sanad adalah jalan yang mengantarkan kepada matan (teks hadis).”

Sanad bukan sekadar daftar nama, tetapi sebuah jalur pengetahuan dan kejujuran. Dalam sanad terkandung biografi, reputasi, dan integritas setiap perawi yang menghubungkan umat dengan Nabi.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ibn al-Ṣalāḥ kemudian menulis, dengan penekanan pada kemuliaannya:

“الإسناد خصيصةٌ لهذه الأمة، ومنقبةٌ عظيمةٌ خصها الله بها دون سائر الأمم.”
“Sanad adalah keistimewaan umat ini, dan kemuliaan besar yang Allah anugerahkan kepada mereka, yang tidak diberikan kepada umat lainnya.”

Kalimat ini mencerminkan betapa ilmiah dan spiritualnya pandangan Ibn al-Ṣalāḥ terhadap sanad. Ia melihatnya bukan hanya sebagai sistem validasi hadis, tapi juga sebagai bentuk rahmat Ilahi — pengikat yang menjaga agar kebenaran tidak hilang ditelan zaman.

Rantai Emas: Dari Sahabat ke Tabiʿin

Dalam literatur hadis, para ulama sering menyebut sanad emas (السلسلة الذهبية), yakni rantai periwayatan yang sangat kuat dan terpercaya. Contohnya, jalur dari Imam Mālik — dari Nāfiʿ — dari Ibn ʿUmar — dari Rasulullah ﷺ. Jalur ini begitu terjaga hingga disebut “rantai emas” karena tiap mata rantainya adalah perawi unggul.

Ibn al-Ṣalāḥ menguraikan dengan cermat:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“أفضل الأسانيد ما اتصل بنقل الثقات الأثبات بعضهم عن بعض إلى رسول الله ﷺ.”
“Sanad terbaik adalah yang bersambung, diriwayatkan oleh para perawi yang terpercaya dan kuat hafalannya, sebagian dari sebagian hingga sampai kepada Rasulullah ﷺ.”

Artinya, keberkahan ilmu hadis terletak pada keterhubungan yang tak terputus — dari generasi sahabat, tabiʿin, tabiʿ al-tabiʿin, hingga para imam hadis.

Bayangkan, ilmu ini tidak berpindah lewat mesin cetak, tapi lewat hati dan lisan yang dijaga dengan cinta dan kehati-hatian. Setiap guru mengajarkan hadis sebagaimana ia mendengarnya dari gurunya, dengan sanad yang hidup dan autentik.

Fenomena Sehari-hari: Kejujuran dalam Mewariskan Cerita

Di dunia modern, kita mengenal istilah “forward pesan” — informasi yang berpindah dari satu orang ke orang lain. Namun, sering kali isi pesan berubah, terdistorsi, atau ditambahi. Inilah yang membedakan “rantai informasi” biasa dengan rantai ilmu hadis.

Para sahabat dan tabiʿin tidak hanya menyampaikan isi pesan, tetapi juga menjaga keasliannya. Mereka tidak berani menambah atau mengurangi satu kata pun dari sabda Nabi ﷺ tanpa bukti kuat.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Ibn al-Ṣalāḥ menulis:

“لا يجوز أن يُروى الحديث بالمعنى إلا لمن أحاط علماً بوجوه الاختلاف في الألفاظ والمعاني.”
“Tidak boleh meriwayatkan hadis dengan makna (bukan lafaz aslinya), kecuali bagi orang yang benar-benar memahami perbedaan makna dan konteks kata.”

Kalimat ini menegaskan bahwa tanggung jawab seorang perawi bukan hanya menyampaikan, tetapi juga memahami substansi. Dalam kehidupan sehari-hari, pesan ini sangat relevan: kita harus berhati-hati sebelum mengutip, menulis, atau membagikan sesuatu — terutama jika menyangkut kebenaran agama.

Menjaga Sanad di Era Tanpa Sanad

Sebagian orang mungkin berpikir, di zaman digital ini sanad tak lagi relevan. Bukankah semua hadis sudah dicetak, diterjemahkan, dan dikaji di berbagai universitas?

Padahal, sanad bukan hanya urusan transmisi teks, tapi transmisi nilai dan adab. Dalam sanad, tersimpan keberkahan guru, ketulusan murid, dan kejujuran niat mencari kebenaran.

Para ulama dahulu memandang sanad sebagai sarana penyucian ilmu. Sebab, siapa pun yang belajar dari guru yang bersanad sejatinya sedang menyambung dirinya dengan Nabi ﷺ.

Nabi sendiri menegaskan pentingnya kesinambungan ilmu ini:

“نضَّر الله امرأً سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها.”
“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sabdaku, lalu menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya.” (HR. al-Tirmiżī)

Hadis ini menjadi fondasi moral bagi seluruh sistem sanad: ilmu yang benar harus disampaikan sebagaimana diterima, bukan sekadar dibagikan, tapi dijaga.

Spiritualitas di Balik Rantai Ilmu

Ibn al-Ṣalāḥ melihat sanad bukan hanya instrumen metodologis, tapi juga cermin spiritual. Ia menulis dengan gaya yang sangat reflektif:

“من رزقه الله شيخاً متصلاً سنده برسول الله ﷺ فقد رُزق بركةً عظيمةً، وإن لم يبلغ درجة الرواية.”
“Siapa yang diberi Allah seorang guru yang sanadnya bersambung hingga Rasulullah ﷺ, maka ia telah memperoleh keberkahan besar, meski ia belum sampai derajat periwayatan.”

Ungkapan ini menggambarkan keindahan hubungan ilmu dan ruhani. Dalam sanad, tidak hanya pengetahuan yang diwariskan, tetapi juga barakah dan cahaya kejujuran.

Begitulah para ulama terdahulu menjaga sanad mereka: bukan karena formalitas, melainkan sebagai bentuk cinta kepada Rasulullah ﷺ.

Rantai Emas yang Tak Pernah Putus

Kini, meski dunia telah berubah, semangat sanad masih bisa dihidupkan — dalam bentuk menghormati sumber ilmu, menjaga adab berguru, dan memastikan kebenaran sebelum menyampaikan sesuatu.

Dalam arti luas, sanad adalah kejujuran yang diwariskan.
Ia hidup dalam setiap guru yang jujur, setiap murid yang amanah, dan setiap umat yang menjaga warisan Rasulullah ﷺ dengan cinta dan tanggung jawab.

Ibn al-Ṣalāḥ menutup dengan semangat yang relevan hingga hari ini:

“السند سياج للعلم، ومن ضيّع الإسناد فقد ضيّع الأمانة.”
“Sanad adalah pagar ilmu; siapa yang menelantarkannya, berarti telah menelantarkan amanah.”

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement