Surau.co. Dalam ilmu hadis, ada satu cabang kajian yang terdengar sederhana, tetapi justru menuntut ketelitian luar biasa: ilmu tentang perawi yang memiliki banyak nama atau julukan berbeda. Dalam terminologi para ulama, hal ini disebut “Ma‘rifat al-Muttafiq wa al-Muftariq” — bagian penting dalam kajian Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ʿUlūm al-Ḥadīth.
Fenomena ini muncul karena banyaknya perawi yang dikenal dengan nama, kunyah, atau julukan berbeda, tergantung siapa yang meriwayatkan dari mereka dan di mana mereka tinggal. Misalnya, seseorang bisa dikenal sebagai “Abū ʿAbdillāh” di Kufah, tetapi disebut “ʿAbd al-Raḥmān ibn Muḥammad” di Madinah.
Masalahnya, jika peneliti tidak menyadari bahwa semua nama itu menunjuk pada satu orang, maka ia bisa salah menilai hadis — mengira ada dua perawi padahal hanya satu, atau sebaliknya.
Ketelitian dalam Mengenali Nama: Pelajaran dari Ibn al-Ṣalāḥ
Ibn al-Ṣalāḥ menjelaskan dengan indah tentang pentingnya mengenali para perawi yang memiliki nama atau julukan ganda. Ia menulis:
“قد يتفق في الراوي الواحد أسماء متعددة أو كنى وألقاب مختلفة، فيُظنّ أنهم أشخاص شتى وهم واحد.”
“Kadang satu perawi memiliki beberapa nama, kunyah, atau julukan yang berbeda, hingga disangka mereka adalah beberapa orang padahal hanya satu.”
Pernyataan ini menyoroti pentingnya kecermatan ilmiah dan kerendahan hati intelektual. Seorang peneliti hadis tidak boleh tergesa-gesa dalam menilai sanad sebelum memastikan identitas perawinya secara lengkap.
Dalam konteks modern, ini mirip dengan riset akademik: ketika kita menelusuri literatur, satu penulis bisa muncul dengan nama berbeda — kadang ditulis penuh, kadang disingkat. Dalam hal ini, Ibn al-Ṣalāḥ memberi kita pelajaran: di balik data dan nama, ada manusia yang sama — dan kebenaran butuh kesabaran.
Nama Panjang, Julukan Banyak: Tradisi yang Manusiawi
Fenomena banyak nama bukan hal aneh di dunia Arab klasik. Seorang ulama sering dikenal dari nasab, profesi, tempat tinggal, atau sifat pribadinya.
Misalnya, Imam al-Bukhārī memiliki nama lengkap Muḥammad ibn Ismāʿīl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah al-Juʿfī al-Bukhārī, tetapi ia juga dikenal dengan sebutan Abū ʿAbdillāh. Dalam sanad hadis, kadang disebut hanya “Muḥammad ibn Ismāʿīl”, kadang “Abū ʿAbdillāh”, kadang “al-Bukhārī”.
Ibn al-Ṣalāḥ menulis lagi:
“ينبغي لطالب الحديث أن يعرف ما اتفق من الأسماء واختلف من الكنى، حتى لا يلتبس عليه الأمر.”
“Seorang penuntut ilmu hadis harus mengetahui nama-nama yang sama dan kunyah yang berbeda, agar tidak tertukar dalam memahami sanad.”
Dalam kehidupan sehari-hari, fenomena ini pun masih kita jumpai. Ada orang yang dikenal berbeda nama di lingkaran berbeda: di kampung dipanggil “Pak Ali”, di kampus “Dr. Ahmad”, di rumah “Abah”. Semua nama itu benar, hanya konteksnya berbeda.
Ibn al-Ṣalāḥ mengingatkan bahwa kebenaran bisa punya banyak nama, tapi tetap satu makna.
Dari Nama Menuju Integritas Ilmu
Menariknya, bagi para ulama hadis, mengenali “nama ganda” bukan sekadar perkara administratif, tetapi bagian dari amanah ilmiah. Kesalahan dalam identifikasi nama bisa berdampak besar pada kesahihan hadis.
Ibn al-Ṣalāḥ menulis dengan tegas:
“الخلط بين الأسماء يوجب اضطرابًا في الإسناد، وهو من أسباب ضعف الحديث.”
“Kekeliruan dalam mengenali nama menyebabkan kekacauan dalam sanad, dan itu menjadi salah satu penyebab lemahnya hadis.”
Pernyataan ini memperlihatkan betapa rinci dan metodologisnya tradisi keilmuan Islam. Setiap nama diperiksa, setiap jalur riwayat diuji, bahkan perubahan satu huruf pun bisa memengaruhi status hadis.
Namun di balik ketelitian itu, ada nilai kemanusiaan yang lembut: para ulama tahu bahwa manusia bisa dikenal dengan banyak sebutan — dan semua itu bagian dari sejarah hidupnya.
Fenomena Serupa di Zaman Digital
Di era media sosial, kita sebenarnya menghadapi fenomena serupa. Satu orang bisa memiliki banyak akun, nama pena, atau identitas digital berbeda.
Seorang akademisi bisa menulis dengan nama lengkap di jurnal ilmiah, tetapi memakai nama samaran di blog pribadi. Jika kita tidak hati-hati, kita bisa salah menilai otoritas seseorang hanya karena tampilan nama.
Ilmu hadis mengajarkan kita untuk tidak menilai sesuatu hanya dari nama, tetapi dari integritas dan konsistensinya. Seorang perawi dinilai bukan dari sebutannya, tapi dari ketulusan dan akurasi riwayatnya.
Ketulusan di Balik Banyak Nama
Dalam Muqaddimah-nya, Ibn al-Ṣalāḥ menutup bab ini dengan kalimat yang sarat makna moral:
“المقصود من معرفة الأسماء والكنى صون العلم عن الغلط، وحفظًا لأمانة النقل.”
“Tujuan mengenali nama dan kunyah adalah untuk menjaga ilmu dari kesalahan, dan untuk memelihara amanah dalam penyampaian.”
Di sini kita belajar bahwa mengetahui nama bukan hanya perkara data, tapi soal tanggung jawab moral. Karena di balik setiap nama, ada amanah untuk menjaga keaslian ilmu.
Jika ulama dahulu berhati-hati dalam mengenali satu perawi, maka di zaman ini kita pun harus berhati-hati dalam menyebarkan satu informasi.
Pelajaran Kehidupan dari Nama-Nama yang Berbeda
Bab tentang perawi yang punya banyak nama mungkin terdengar sangat teknis. Tapi sejatinya, ia mengandung pesan kemanusiaan yang dalam.
Bahwa setiap orang bisa dikenal dengan banyak nama, namun yang penting bukan sebutannya — melainkan kejujuran di baliknya.
Bahwa di balik variasi identitas, yang paling abadi adalah niat tulus dalam menebar ilmu dan kebaikan.
Maka, ilmu hadis bukan sekadar tentang sanad, tapi juga tentang sikap: hati-hati, adil, dan menghormati manusia dalam segala namanya.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
