Khazanah
Beranda » Berita » Kapan Perawi Tergelincir? Tentang Ulama yang Salah di Akhir Umurnya (Ikhtilāṭ)

Kapan Perawi Tergelincir? Tentang Ulama yang Salah di Akhir Umurnya (Ikhtilāṭ)

ulama tua membaca kitab hadis di bawah cahaya lampu minyak, simbol ikhtilāṭ dalam ilmu hadis
Seorang ulama tua memegang kitab kuno di ruang sunyi dengan cahaya hangat yang menerangi wajahnya, menggambarkan fase akhir kehidupan ilmuwan yang tetap menjaga kejujuran ilmu meski daya ingat mulai menurun.

Surau.co. Dalam perjalanan panjang ilmu hadis, para ulama bukan hanya meneliti apa yang diriwayatkan, tetapi juga siapa yang meriwayatkan. Salah satu pembahasan yang sangat manusiawi namun ilmiah dalam Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ʿUlūm al-Ḥadīth adalah konsep “Ikhtilāṭ” — yaitu kondisi ketika seorang perawi mengalami penurunan kemampuan hafalan di akhir umurnya.

Fenomena ini menarik, karena ia menunjukkan bahwa keilmuan Islam klasik sangat menghargai sisi manusiawi para ulama. Bahkan seorang ahli hadis besar bisa saja tergelincir di akhir hidupnya, bukan karena niat buruk, tetapi karena usia dan kelemahan ingatan. Di sinilah tampak keseimbangan antara objektivitas ilmiah dan empati spiritual dalam tradisi hadis.

Ketika Hafalan Mulai Renta, dan Ilmu Diuji oleh Waktu

Ibn al-Ṣalāḥ menjelaskan dengan jelas apa yang dimaksud dengan “Ikhtilāṭ”:

“الاختلاط هو تغير الحفظ وسوء الضبط بعد أن كان الراوي متقناً، إما لكبر أو ذهاب بصر أو عارضٍ آخر.”
“Ikhtilāṭ adalah perubahan hafalan dan buruknya ketelitian setelah sebelumnya perawi dikenal kuat hafalannya, baik karena usia, kehilangan penglihatan, atau sebab lainnya.”

Kutipan ini terasa menyentuh. Betapa pun agungnya seorang ulama, mereka tetap manusia. Usia, kelelahan, dan ujian hidup bisa memengaruhi daya ingat.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Namun menariknya, para ahli hadis tidak langsung menolak riwayat dari perawi yang mengalami ikhtilāṭ. Mereka meneliti dengan hati-hati: kapan sang perawi mulai mengalami penurunan? Hadis mana yang diriwayatkan sebelum masa ikhtilāṭ, dan mana yang sesudahnya?

Prinsip ini menampilkan betapa dalamnya integritas keilmuan Islam. Dalam dunia modern, pendekatan ini mirip dengan critical period analysis dalam penelitian ilmiah — mengevaluasi validitas berdasarkan konteks waktu dan kondisi.

Ilmu yang Disertai Rahmah: Kritik dengan Empati

Salah satu keindahan Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ adalah caranya menyeimbangkan jarh (kritik) dengan rahmah (kasih sayang). Ia menulis:

“من اختلط في آخر عمره يُقبل حديثه القديم دون ما حدث به بعد الاختلاط.”
“Orang yang mengalami ikhtilāṭ di akhir umurnya, hadis-hadis yang diriwayatkan sebelum masa itu diterima, sedangkan yang sesudahnya ditolak.”

Aturan ini bukan sekadar teknis, tapi etis. Ibn al-Ṣalāḥ tidak menghapus seluruh jasa seorang ulama hanya karena masa tuanya. Ia tetap menghargai dedikasi dan kontribusi ilmiah mereka.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun sering menghadapi hal serupa. Orang yang dulu luar biasa bisa saja melemah seiring usia. Tapi nilai kebaikannya tak boleh dihapus oleh kesalahan kecil di masa senja. Di sinilah ikhtilāṭ bukan hanya konsep ilmiah, melainkan juga pelajaran empati.

Belajar dari Para Perawi yang Pernah Tergelincir

Banyak perawi besar yang tercatat mengalami ikhtilāṭ, dan para ulama menelitinya dengan sangat detail. Misalnya, perawi terkenal ʿAṭāʾ ibn al-Sāʾib — seorang tabi‘in terpercaya yang di masa tuanya mengalami penurunan daya ingat.

Ibn al-Ṣalāḥ menjelaskan bagaimana para ahli hadis mengklasifikasikan periwayatannya:

“كان عطاء بن السائب صدوقاً في القديم، فلما كبر اختلط، فمن سمع منه قبل الاختلاط فحديثه صحيح، ومن سمع بعده ففيه ضعف.”
“ʿAṭāʾ ibn al-Sāʾib adalah perawi yang jujur di masa awalnya, namun ketika telah tua, ia mengalami ikhtilāṭ. Maka hadis yang didengar sebelum masa itu sahih, sedangkan yang sesudahnya lemah.”

Begitulah keadilan ulama hadis. Mereka tidak menuduh, tidak juga menyanjung secara buta. Mereka memisahkan fakta dengan waktu, menimbang dengan ilmu dan rasa hormat.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Fenomena ini juga menjadi pengingat bagi kita bahwa setiap manusia punya masa produktif dan masa rapuh. Menilai seseorang harus mempertimbangkan konteks, bukan hanya hasil akhir.

Keterbatasan Manusia, Kebijaksanaan Ilahi

Dalam Islam, bahkan proses menua dan melemah tidak pernah dipandang sebagai aib. Ia adalah bagian dari sunnatullah. Allah berfirman:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً
“Allah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian menjadikan (masa) kuat setelah lemah itu, lalu menjadikan (masa) lemah dan beruban setelah kuat.” (QS. Ar-Rūm: 54)

Ayat ini menjadi dasar spiritual bagi konsep ikhtilāṭ. Bahwa perubahan dalam daya ingat dan kemampuan adalah bagian dari siklus kehidupan yang penuh hikmah.

Ilmu hadis tidak menolak kelemahan manusia; justru ia mengelolanya dengan hikmah dan kejujuran. Inilah salah satu bukti keagungan sistem ilmiah Islam: ia ilmiah, tetapi tetap lembut.

Pelajaran Zaman Modern dari Ilmu Ikhtilāṭ dalam Hadis

Jika kita melihat dunia hari ini, konsep “ikhtilāṭ” terasa sangat relevan. Banyak tokoh publik, akademisi, bahkan pemimpin spiritual yang mengalami perubahan di masa tua — sebagian tergelincir dalam ucapan atau pandangan.

Sayangnya, masyarakat sering menghapus seluruh jasanya karena satu kesalahan di penghujung hidup. Padahal, Ibn al-Ṣalāḥ sudah mencontohkan cara yang lebih adil: bedakan antara masa kuat dan masa lemah seseorang.

Dalam dunia akademik modern, prinsip ini serupa dengan historical contextualization: menilai karya seseorang sesuai dengan fase hidupnya, bukan dengan satu peristiwa tunggal.

Kejujuran Ilmiah yang Abadi

Ibn al-Ṣalāḥ tidak hanya menulis tentang hadis, tapi juga tentang moralitas keilmuan. Ia menegaskan:

“العدل في النقد واجب، فمن جرح بغير إنصاف فقد خان العلم وأهله.”
“Keadilan dalam kritik adalah kewajiban. Siapa yang mencela tanpa keadilan, maka ia telah mengkhianati ilmu dan para ahlinya.”

Kutipan ini terasa seperti cermin bagi dunia modern. Di tengah banjir informasi, sering kali kritik dilakukan tanpa riset, dan penghargaan diberikan tanpa pemahaman. Padahal, keadilan adalah syarat utama bagi kebenaran.

Penutup: Menghargai Ilmu, Memanusiakan Ulama

Konsep ikhtilāṭ dalam hadis mengajarkan bahwa menjaga ilmu tidak berarti menafikan manusia. Para ulama mengajarkan kita cara menilai dengan adil, tanpa menghapus jasa seseorang hanya karena kelemahannya di ujung usia.

Dari Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ, kita belajar bahwa ilmu dan empati bisa berjalan berdampingan. Bahwa dalam setiap penurunan daya ingat, masih tersimpan kebijaksanaan yang bisa menyinari generasi berikutnya.

Dan di dunia yang sering cepat menghakimi, mungkin kita perlu belajar menjadi seperti para ahli hadis — teliti dalam menilai, lembut dalam memahami.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement