Surau.co Dalam perjalanan panjang ilmu hadis, para ulama kerap berhadapan dengan fenomena menarik: dua hadis sahih yang tampak saling bertentangan. Fenomena ini disebut Hadis Mutaʿāriḍ — hadis-hadis yang berlawanan dari segi makna atau hukum.
Bagi sebagian orang awam, hal itu menimbulkan tanda tanya: bagaimana mungkin dua sabda Nabi ﷺ tampak berbeda arah, padahal keduanya bersumber dari Rasul yang sama? Pertanyaan seperti ini wajar muncul, apalagi di tengah keinginan untuk memahami Islam secara utuh.
Menariknya, Ibn al-Ṣalāḥ — ulama besar abad ke-7 H — menjawab persoalan tersebut dengan pendekatan ilmiah sekaligus menenteramkan hati dalam karyanya Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ʿUlūm al-Ḥadīth.
Ketika Dua Sabda Nabi Terlihat Tidak Sejalan
Ibn al-Ṣalāḥ menjelaskan bahwa perbedaan dalam hadis bukanlah kontradiksi sejati, melainkan perbedaan konteks. Ia menulis:
“التعارض بين الحديثين إنما يكون في الظاهر، وأما في الحقيقة فبينهما الجمع أو النسخ أو الترجيح.”
“Pertentangan antara dua hadis itu hanya tampak secara lahiriah; pada hakikatnya, di antara keduanya terdapat kemungkinan kompromi, nasakh, atau tarjih (penguatan).”
Dengan kata lain, jika dua hadis tampak berbeda, tugas ahli hadis ialah mencari jalan tawfīq (kompromi) di antara keduanya, bukan terburu-buru menolak salah satunya.
Fenomena ini sesungguhnya tidak asing dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang bisa saja berkata berbeda pada dua situasi karena latar konteksnya berubah. Begitu pula sabda Nabi ﷺ — beliau berbicara sesuai kebutuhan umatnya pada waktu tertentu. Oleh karena itu, memahami konteks menjadi kunci utama agar makna hadis tetap utuh.
Langkah Para Muhaddits: Dari Kompromi hingga Tarjih
Menurut Ibn al-Ṣalāḥ, ada tiga langkah penting yang harus ditempuh ketika dua hadis tampak bertentangan. Pertama, menggabungkan makna (al-jam‘u). Kedua, menelusuri kemungkinan nasakh, yakni penghapusan hukum lama dengan hukum baru. Ketiga, melakukan tarjih, yaitu memilih hadis yang lebih kuat dari segi sanad dan matan.
Beliau menjelaskan:
“إذا أمكن الجمع بين الحديثين وجب العمل بهما جميعاً، فإن لم يمكن الجمع نظرنا إلى التاريخ للنسخ، فإن لم يُعلم التاريخ فإلى الترجيح.”
“Jika memungkinkan untuk menggabungkan dua hadis, maka keduanya wajib diamalkan bersama. Jika tidak, lihatlah urutan waktunya untuk menentukan nasakh. Jika waktu tidak diketahui, maka lakukan tarjih.”
Penjelasan itu menunjukkan betapa sistematisnya cara berpikir para ulama klasik. Mereka tidak menolak hadis hanya karena terlihat berbeda, tetapi meneliti sebab dan konteksnya terlebih dahulu. Dengan demikian, ilmu hadis berkembang bukan lewat kecurigaan, melainkan lewat kecermatan.
Bayangkan bila metode ini diterapkan dalam kehidupan modern. Perbedaan pandangan tidak akan lagi memunculkan permusuhan, tetapi membuka jalan untuk dialog dan kedewasaan berpikir. Ibn al-Ṣalāḥ seolah ingin menegaskan bahwa perbedaan bukan alasan untuk menolak, melainkan peluang untuk memahami lebih dalam.
Kebijaksanaan dalam Menyikapi Perbedaan
Al-Qur’an pun menegaskan pentingnya kebijaksanaan dalam menghadapi perbedaan. Allah berfirman:
فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ ۚ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا
“Maka Kami telah memberi pemahaman kepada Sulaiman, dan kepada masing-masing Kami berikan hukum dan ilmu.” (QS. Al-Anbiyā’: 79)
Ayat ini menunjukkan bahwa dua pandangan bisa sama-sama benar, tergantung pada konteks dan kedalaman pemahaman. Semangat itulah yang dihidupkan Ibn al-Ṣalāḥ ketika membahas hadis mutaʿāriḍ.
Lebih jauh, beliau mengingatkan agar penuntut ilmu tidak tergesa-gesa memvonis dua hadis sebagai bertentangan sebelum menelaah sanad dan maknanya secara mendalam. Ia menulis:
“ليس كل من رأى حديثين متعارضين يحق له أن يحكم بالتعارض، حتى يعرف وجوه الجمع والنسخ والترجيح.”
“Tidak setiap orang yang melihat dua hadis tampak bertentangan berhak memutuskan demikian, sebelum memahami cara kompromi, nasakh, dan tarjih.”
Pesan ini terasa sangat relevan. Di era informasi yang serba cepat, banyak orang menilai teks agama tanpa konteks dan tanpa ilmu. Padahal, kebijaksanaan selalu lahir dari kesabaran dalam memahami.
Menghadirkan Keseimbangan antara Ilmu dan Iman
Fenomena hadis mutaʿāriḍ bukanlah kelemahan dalam tradisi Islam. Sebaliknya, ia menunjukkan kekuatan metodologis para ulama. Mereka menjaga agar sabda Nabi ﷺ tetap terpelihara dengan nalar yang jernih dan iman yang dalam.
Ibn al-Ṣalāḥ tidak hanya berbicara tentang teori, tetapi juga menanamkan sikap tawāḍuʿ ilmiyyah — kerendahan hati dalam ilmu. Ia berkata:
“العالم الحق هو من عرف موضع الجهل كما عرف موضع العلم.”
“Orang berilmu sejati adalah yang tahu di mana letak ketidaktahuannya, sebagaimana ia tahu letak ilmunya.”
Kalimat itu terasa menampar kesombongan zaman digital. Kini banyak orang merasa cukup dengan potongan hadis di media sosial. Padahal, ilmu sejati menuntut kerendahan hati untuk terus belajar.
Pelajaran Ibn al-Ṣalāḥ untuk Zaman Kini
Menghadapi dua hadis yang tampak bertentangan sesungguhnya melatih kesabaran berpikir. Ia mengajarkan kita untuk tadabbur, bukan tergesa-gesa mengambil kesimpulan.
Prinsip yang diajarkan Ibn al-Ṣalāḥ sangat berguna dalam kehidupan modern. Saat menghadapi dua berita yang berbeda, dua opini yang saling menuding, atau dua narasi sosial yang bertolak belakang, langkah terbaik adalah meniru metode beliau: periksa konteks, pahami sumber, dan cari keseimbangan.
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“إنما العلم بالتعلم، والحلم بالتحلم.”
“Sesungguhnya ilmu itu diperoleh dengan belajar, dan kesabaran diperoleh dengan berlatih.” (HR. al-Ṭabarānī)
Hadis ini menegaskan bahwa memahami perbedaan tidak cukup dengan akal, tetapi juga membutuhkan latihan hati.
Penutup: Ketenangan dalam Keberagaman Sabda
Pada akhirnya, hadis mutaʿāriḍ bukanlah kontradiksi, melainkan cermin keluasan hikmah Nabi ﷺ. Dua sabda yang tampak berbeda justru menunjukkan fleksibilitas dan kebijaksanaan Rasul dalam menghadapi beragam situasi umatnya.
Ibn al-Ṣalāḥ mengajarkan bahwa memahami perbedaan berarti mencintai ilmu. Sebab, semakin dalam seseorang menggali, semakin ia sadar bahwa sabda Nabi ﷺ tidak pernah saling meniadakan, melainkan saling melengkapi — seperti dua cahaya yang berpadu menerangi jalan kebenaran.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
