Khazanah
Beranda » Berita » Etika Guru Hadis: Bagaimana Seorang Muhaddits Menjaga Lisan dan Ilmunya

Etika Guru Hadis: Bagaimana Seorang Muhaddits Menjaga Lisan dan Ilmunya

guru hadis mengajar murid dengan penuh adab dan cahaya ilmu
Seorang guru hadis tengah mengajar dengan penuh kelembutan di majelis ilmu, menggambarkan kehormatan dan ketenangan dalam tradisi keilmuan Islam klasik.

Surau.co. Dalam tradisi keilmuan Islam klasik, guru hadis (muhaddits) bukan hanya sekadar penghafal sanad dan matan, melainkan juga penjaga moral dan kehormatan ilmu. Etika guru hadis menjadi pilar utama dalam menjaga kemurnian transmisi hadis Rasulullah ﷺ. Dalam Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ fī ʿUlūm al-Ḥadīth, Abū ʿAmr ʿUthmān ibn ʿAbd al-Raḥmān al-Shahrazūrī — lebih dikenal sebagai Ibn al-Ṣalāḥ — menulis dengan penuh kehati-hatian tentang bagaimana seorang muhaddits harus memperlakukan ilmu, gurunya, muridnya, bahkan dirinya sendiri.

Etika ini bukan sekadar adab klasik, tapi cermin dari kesadaran intelektual: bahwa ilmu tanpa akhlak hanyalah suara tanpa makna. Di tengah zaman digital yang penuh kebisingan opini, pesan Ibn al-Ṣalāḥ terasa sangat relevan.

Menjaga Lisan: Muhaddits yang Tidak Mudah Berkomentar

Ibn al-Ṣalāḥ mengingatkan bahwa seorang muhaddits tidak boleh tergesa-gesa berbicara, apalagi menghukumi suatu hadis tanpa penelitian matang. Ia menulis:

“من تكلم في الحديث بغير علم فهو على شفا جرف هارٍ”
“Barang siapa berbicara tentang hadis tanpa ilmu, maka ia berada di tepi jurang yang runtuh.”

Makna kalimat ini sederhana tapi menghunjam: lisannya seorang guru hadis harus terjaga seperti tangannya seorang ahli bedah. Sekali salah memotong, bisa merusak seluruh tubuh pengetahuan.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Dalam kehidupan modern, adab ini bisa dimaknai sebagai etika berbicara di ruang publik. Di era media sosial, “berbicara tanpa ilmu” mudah sekali dilakukan. Seorang guru hadis — atau siapa pun yang mengajar agama — perlu menyadari bahwa setiap ucapan yang disampaikan kepada publik memiliki konsekuensi spiritual dan sosial.

Al-Qur’an juga menegaskan hal serupa:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (QS. Al-Isrā’: 36)

Etika lisan ini menunjukkan bahwa ilmu hadis bukan hanya kumpulan teks, tetapi juga seni menahan diri.

Menjaga Ilmu: Tidak Menjual Hadis demi Kepentingan Dunia

Salah satu kutipan paling tajam dalam Muqaddimah Ibn al-Ṣalāḥ berbunyi:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

“لا يطلب بهذا العلم الدنيا، فإن من طلب به الدنيا خسر الآخرة”
“Janganlah mencari dunia dengan ilmu ini, karena siapa yang mencarinya untuk dunia, niscaya ia akan kehilangan akhiratnya.”

Ibn al-Ṣalāḥ menegaskan bahwa niat adalah jantung etika muhaddits. Ilmu hadis harus dijaga dari niat yang rusak: mencari pujian, kedudukan, atau keuntungan materi. Seorang muhaddits yang menjadikan hadis sebagai sarana popularitas telah kehilangan ruh keilmuannya.

Dalam konteks hari ini, prinsip itu menjadi peringatan bagi akademisi, pendakwah, dan influencer Islam. Ilmu yang suci harus dijaga dari kepentingan promosi diri. Ilmu tidak boleh dikapitalisasi, apalagi diperdagangkan untuk popularitas semu.

Menjaga Sanad dan Amanah: Tidak Menyembunyikan Kelemahan Ilmu

Ibn al-Ṣalāḥ juga menulis dengan tegas:

“على المحدّث أن يبين حال الحديث كما سمعه، لا يزيد فيه ولا ينقص”
“Seorang muhaddits wajib menjelaskan keadaan hadis sebagaimana yang ia dengar, tidak menambah dan tidak mengurangi.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kutipan ini menunjukkan betapa pentingnya kejujuran ilmiah. Dalam dunia akademik modern, prinsip ini setara dengan integritas riset. Tidak ada ruang bagi plagiarisme, manipulasi data, atau pemalsuan sumber.

Bagi seorang muhaddits, menambah atau mengurangi riwayat adalah bentuk pengkhianatan terhadap Rasulullah ﷺ. Dalam dunia digital, bentuk pengkhianatan itu bisa berupa memotong konteks ayat atau hadis demi membenarkan opini pribadi.

Ibn al-Ṣalāḥ ingin para ulama selalu bersikap amanah: menyampaikan hadis sebagaimana adanya. Sebab, setiap kata yang dinisbatkan kepada Nabi adalah tanggung jawab besar.

Menjaga Murid dan Majelis: Etika Mengajar Ilmu Hadis

Dalam Muqaddimah-nya, Ibn al-Ṣalāḥ mengutip adab guru dalam majelis ilmu:

“على المحدّث أن يتأدب مع طلابه، وأن لا يحتقر أحدًا منهم”
“Seorang muhaddits hendaklah beradab kepada murid-muridnya dan tidak meremehkan seorang pun di antara mereka.”

Etika ini terasa hangat dan humanis. Ibn al-Ṣalāḥ memandang murid bukan sekadar penerima ilmu, tapi juga sahabat dalam perjalanan spiritual. Ia mengajarkan bahwa ilmu hadis akan hilang jika guru merasa lebih tinggi dari murid.

Fenomena ini terasa di banyak ruang pendidikan hari ini: ada guru yang kehilangan sentuhan kemanusiaan karena terjebak pada formalitas. Padahal, adab mengajar adalah ruh dari transmisi ilmu Islam.

Rasulullah ﷺ sendiri dikenal lembut terhadap para sahabatnya. Beliau bersabda:

“يسروا ولا تعسروا، وبشروا ولا تنفروا”
“Mudahkanlah, jangan persulit. Berilah kabar gembira, jangan membuat orang lari.” (HR. al-Bukhārī dan Muslim)

Menjadi Cermin Ilmu: Muhaddits Sebagai Teladan Hidup

Akhirnya, Ibn al-Ṣalāḥ ingin agar seorang muhaddits tidak hanya pandai berbicara, tapi juga berakhlak seperti ilmunya.
Ilmu hadis adalah cermin perilaku Nabi ﷺ. Maka, siapa pun yang mempelajarinya harus berusaha meneladani kejujuran, kelembutan, dan kesabarannya.

Etika guru hadis bukan hanya panduan akademik, tetapi jalan menuju kebeningan hati. Seorang muhaddits yang menjaga lisannya, niatnya, dan muridnya sesungguhnya sedang menjaga warisan kenabian.
Dan di tengah hiruk pikuk dunia modern, adab Ibn al-Ṣalāḥ tetap bergaung:
Ilmu bukan untuk dibanggakan, tetapi untuk diamalkan dengan rendah hati.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement