SURAU.CO – Di atas meja kayu berukir elegan itu, seorang lelaki beruban halus tengah menulis dengan tenang. Di sekelilingnya bertumpuk buku berjudul Rethinking Ourselves. Tangan kanannya menandatangani satu per satu lembar, mungkin sebagai tanda kasih seorang pemimpin kepada bangsanya—bukan sekadar tanda tangan, tetapi sebuah simbol perjalanan panjang: perjalanan jiwa dan intelektual seorang Anwar Ibrahim.
Anwar bukan sekadar nama besar dalam politik Malaysia; ia adalah fenomena pemikiran dan moralitas di dunia Islam modern. Sosok yang menembus sekat partai, ras, bahkan waktu. Ia telah melewati badai penjara, fitnah, pengkhianatan politik, dan bangkit kembali dengan semangat reformasi yang tak pernah padam.
Dari Kampus ke Pentas Dunia
Anwar Ibrahim lahir dari rahim keluarga sederhana, namun pikirannya sejak muda telah membesar dalam ruang idealisme. Di Universiti Malaya, ia menjadi mahasiswa yang tajam lidahnya, kritis kepada pemerintah, dan peduli pada nasib rakyat tertindas.
Ia memimpin Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), organisasi yang menjadi wadah perjuangan moral Islam pada 1970-an. Di bawah kepemimpinannya, ABIM tak hanya bicara soal dakwah, tetapi juga keadilan sosial, pembebasan umat dari penjajahan ekonomi, dan pembangunan insan secara menyeluruh.
Anwar bukan tipe aktivis yang berhenti pada retorika. Ia menulis, membaca, dan berdebat dengan dunia pemikiran modern. Dari Sayyid Qutb hingga Malik Bennabi, dari Fazlur Rahman hingga Muhammad Iqbal—semua mengisi ruang batin intelektualnya.
Ia menyerap Islam sebagai kekuatan yang memerdekakan akal dan nurani, bukan yang membelenggu.
Antara Kuasa dan Prinsip
Ketika Anwar diajak bergabung dalam pemerintahan oleh Mahathir Mohamad pada awal 1980-an, banyak yang skeptis. “Apakah idealisme ABIM akan layu di taman kekuasaan?” tanya orang. Namun sejarah mencatat, Anwar membawa warna baru dalam birokrasi Malaysia: wajah Islam progresif dan berintegritas.
Sebagai Menteri Pendidikan, ia memperkenalkan dasar Islamisasi ilmu—bukan sekadar menukar simbol atau istilah Arab, melainkan menanamkan nilai tauhid dalam kebijakan pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan harus membentuk manusia yang berakal dan berakhlak, bukan hanya pencari ijazah.
Sebagai Menteri Keuangan, ia dikenang dunia karena keteguhannya menolak dominasi IMF saat krisis Asia 1997. Ketika negara-negara lain terjerat hutang dan kehilangan kedaulatan ekonomi, Anwar memilih jalan berani: reformasi ekonomi yang berpihak pada rakyat.
Namun langkah berani itu pula yang mengantarnya ke ujian paling berat dalam hidupnya—pemecatan, fitnah moral, dan penjara.
Penjara Sebagai Madrasah Jiwa
Dalam sejarah para pejuang, penjara sering menjadi tempat penyucian. Seperti Nabi Yusuf di Mesir, seperti Imam Ahmad bin Hanbal dalam mihnah, seperti Mandela di Robben Island—begitu pula Anwar Ibrahim.
Dalam kesunyian jeruji, ia tidak tenggelam dalam dendam, tetapi justru menulis. Buku-bukunya lahir dari refleksi panjang: tentang kebebasan, keadilan, dan martabat manusia.
Ia menulis dengan tinta sabar, menegaskan bahwa Islam bukan agama kemarahan, melainkan agama akal dan nurani.
Dalam salah satu tulisannya ia menyebut:
“Kita tidak boleh membiarkan kekuasaan merampas kemanusiaan kita. Karena di situlah kezaliman bermula—bukan dari struktur, tapi dari jiwa yang rela tunduk pada ketidakadilan.”
Penjara menjadikan Anwar Ibrahim lebih dari sekadar politisi. Ia menjadi pemikir yang ditempa derita.
Dan inilah yang membedakannya dari banyak tokoh lain: ia tidak hanya berjuang untuk berkuasa, tetapi untuk menyucikan makna kuasa itu sendiri.
Rethinking Ourselves: Seruan untuk Menilai Ulang Diri
Kini, setelah puluhan tahun berjuang, Anwar menulis lagi. Buku Rethinking Ourselves menjadi semacam wasiat intelektual. Ia menyeru masyarakat Malaysia dan umat Islam untuk berhenti sejenak dan menilai ulang diri—bukan hanya secara politik, tetapi juga moral dan spiritual.
Dalam buku itu, Anwar berbicara tentang pentingnya reformasi bukan sekadar perubahan sistem, tetapi perubahan nilai. Ia mengajak manusia kembali kepada maqasid syariah—tujuan-tujuan luhur hukum Islam: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Ia menulis bukan dengan nada guru, tapi dengan nada seorang sahabat bangsa yang ingin membangunkan kesadaran.
Setiap tanda tangan yang ia bubuhkan di buku itu, seperti dalam gambar yang beredar, seolah-olah menyimbolkan kalimat:
“Ini bukan sekadar buku, ini adalah ajakan untuk merenung kembali siapa kita sebenarnya.”
Kepemimpinan Berasaskan Hikmah
Kini, ketika ia memegang tampuk sebagai Perdana Menteri Malaysia, dunia memandangnya sebagai simbol keteguhan prinsip.
Namun Anwar selalu mengingatkan, bahwa kuasa adalah amanah, bukan milik pribadi. Dalam banyak pidatonya, ia mengutip Al-Qur’an dan syair-syair klasik Melayu, menekankan bahwa politik mesti berakar pada hikmah (kebijaksanaan), bukan sekadar strategi.
Ia menolak politik kebencian dan fitnah. Ia memilih jalur dialog dan persaudaraan.
Dalam konteks dunia Islam yang terpecah oleh kepentingan mazhab dan geopolitik, Anwar menyeru persatuan atas dasar keadilan.
Ia berkata dalam satu forum internasional:
“Keadilan tanpa hikmah akan melahirkan kekerasan, dan hikmah tanpa keadilan hanyalah tipu daya kekuasaan.”
Inspirasi bagi Generasi Muda
Anwar Ibrahim menjadi teladan bahwa perjuangan tidak pernah berakhir dengan kekalahan sementara.
Ia mengajarkan kepada generasi muda bahwa integritas lebih berharga daripada jabatan. Bahwa idealisme boleh diuji, tapi tidak boleh dijual.
Dalam dunia digital yang penuh sensasi, ia tetap mengingatkan pentingnya membaca, berpikir, dan berdialog dengan sejarah.
Anwar bukan hanya bicara tentang masa depan Malaysia, tetapi masa depan umat yang beradab, berilmu, dan berjiwa merdeka.
Generasi muda Islam hari ini memerlukan figur seperti Anwar: pemimpin yang bukan hanya fasih di podium, tetapi juga fasih dalam muhasabah diri.
Yang berani menentang arus korupsi moral, namun tetap lembut dalam menyapa lawan politiknya.
Yang melihat Islam bukan sekadar doktrin, tetapi sebagai peradaban cinta dan keadilan.
Jejak Peradaban dan Harapan
Jika sejarah adalah cermin, maka Anwar Ibrahim telah memantulkan wajah Islam yang cerah, rasional, dan berbelas kasih.
Ia menunjukkan bahwa seorang Muslim dapat modern tanpa kehilangan nilai, dapat berpolitik tanpa kehilangan moral, dapat memimpin tanpa kehilangan kesederhanaan.
Bayangan dirinya di balik tumpukan buku itu adalah simbol seorang pemimpin yang tetap belajar—seorang murid sepanjang hayat.
Dan mungkin itulah rahasia kekuatannya: ia tidak berhenti berpikir, meskipun dunia berulang kali mencoba menghentikannya.
Penutup: Cahaya dari Nur Pemikiran
Anwar Ibrahim bukan malaikat—ia manusia, dengan segala keterbatasan dan luka. Tetapi dari luka itu lahir cahaya.
Cahaya yang mengajarkan bahwa politik bisa suci bila dimulai dari niat memperbaiki manusia.
Bahwa kekuasaan bisa menjadi ibadah, bila ditopang oleh keikhlasan dan ilmu.
Kisahnya bukan hanya milik Malaysia, tetapi milik seluruh dunia Islam yang sedang mencari arah baru.
Arah yang meneguhkan kembali makna kepemimpinan: sebagai amanah, bukan dominasi; sebagai pengabdian, bukan ambisi.
Dan ketika kita membaca atau melihat beliau menulis dan menandatangani buku Rethinking Ourselves, kita sesungguhnya sedang diajak untuk menulis bab baru sejarah Islam modern: bab tentang reformasi hati dan akal, bukan sekadar reformasi sistem.
“Perubahan sejati bukan bermula di jalanan, bukan pula di gedung parlemen,
tetapi di dalam hati dan fikiran manusia yang berani berfikir jujur tentang dirinya sendiri.” — Anwar Ibrahim. (Oleh: Tengku Iskandar, M.Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
