SURAU.CO-Zaid bin Haritsah, pelindung Nabi, menempuh perjalanan hidup yang penuh pengorbanan dan cinta tanpa syarat. Zaid bin Haritsah, pelindung Nabi, menunjukkan kesetiaan sejak masa awal Islam ketika ancaman Quraisy semakin keras. Ia tidak hanya berdiri di samping Rasulullah ﷺ dalam dakwah, tetapi juga mengangkat pedang demi mempertahankan risalah. Ia menjalani hidup sebagai sahabat, anak angkat, panglima, serta syahid pertama dari keluarga Rasul.
Sejak kecil, Zaid mengalami penculikan dan perbudakan, namun Nabi ﷺ justru membebaskannya dan mengangkatnya sebagai keluarga. Ketika orang tua Zaid datang menjemput, ia memilih tetap bersama Rasulullah. Keputusan itu bukan karena keterpaksaan, tetapi karena ketenangan iman dan kasih tulus dari Nabi. Sejak saat itu, ia menjadi bagian dari rumah tangga Rasul dan dipercaya dalam berbagai urusan dakwah.
Rasulullah ﷺ memberikan nama kehormatan “Zaid bin Muhammad” sebelum Allah menurunkan ayat tentang pelurusan nasab. Meskipun status itu berubah, kedudukan Zaid di hati Nabi tetap tidak tergantikan. Selain itu, Al-Qur’an mengabadikan namanya dalam Surah Al-Ahzab ayat 37. Tidak ada sahabat lain yang disebut secara langsung seperti ini, sehingga kedudukannya menjadi istimewa.
Kemudian, Zaid tampil dalam hampir seluruh ekspedisi penting umat Islam. Rasulullah selalu memberi kepercayaan besar kepadanya. Ia memimpin pasukan ke Qardah, Wadi al-Qura, dan beberapa misi strategis lainnya. Ia tidak hanya memegang pedang, tetapi juga mengatur strategi dengan tenang dan berani. Karena itulah para sahabat mengakui kapasitasnya sebagai pemimpin sejati.
Jejak Jihad Zaid bin Haritsah sebagai Pelindung Nabi
Ketika Perang Badar dan Uhud meletus, Zaid berada di barisan depan. Ia berdiri menjaga Rasulullah dari serangan musuh. Selanjutnya, pada tahun kedelapan Hijriah, Nabi ﷺ menugaskannya sebagai panglima besar dalam Perang Mu’tah. Pasukan Muslim hanya berjumlah tiga ribu, sementara Kerajaan Romawi menghadirkan puluhan ribu prajurit. Namun, Zaid tetap menerima tugas itu tanpa ragu.
Di medan Mu’tah, ia mengangkat panji Rasulullah dan memimpin pasukan dengan keberanian. Ia terus maju meski anak panah dan tombak bertubi-tubi menghantam pasukan Muslim. Setelah itu, pedangnya tidak berhenti bergerak hingga tubuhnya dipenuhi luka. Ia gugur di tangan musuh, tetapi ia menjaga panji Islam tetap tegak sampai detik terakhir. Ja’far bin Abi Thalib kemudian mengambil panji itu, lalu Abdullah bin Rawahah. Mereka bertiga menjadi gugusan syuhada yang dipilih Allah.
Berita syahidnya Zaid mengguncang Madinah. Rasulullah menangis tersedu dan memeluk putranya, Usamah bin Zaid. Tangisan Nabi bukan hanya karena kehilangan seorang sahabat, tetapi karena kehilangan anak hati yang paling setia. Namun, beliau tetap mengajarkan umat Islam untuk melihat kemuliaan syahid sebagai kemenangan, bukan sekadar duka.
Setelah itu, Usamah bin Zaid melanjutkan jejak ayahnya. Rasulullah bahkan mempercayakan pasukan besar kepadanya untuk berperang melawan Romawi, meski ia masih sangat muda. Keputusan ini menunjukkan betapa besar kepercayaan Nabi kepada keluarga Zaid. Loyalitas Zaid tidak hilang bersama kematiannya, tetapi menurun kepada generasi berikutnya.
Warisan Abadi Zaid: Cinta, Iman, dan Pengorbanan
Zaid mengajarkan bahwa kedudukan dekat dengan Nabi bukan karena darah, tetapi karena iman dan keberanian. Ia bukan Quraisy, bukan bangsawan, tetapi ia dicintai Nabi lebih dari banyak tokoh besar. Selain itu, kisahnya membuktikan bahwa Islam membuka pintu kemuliaan bagi siapa pun yang mau berjuang.
Kini, umat Islam dapat meneladani keberanian Zaid dengan menjaga ajaran Rasulullah, menyebarkan kebaikan, dan membela kebenaran. Menjadi pelindung Nabi di era ini berarti menjaga akhlak, ilmu, dan warisan dakwah beliau dalam kehidupan. Jejak Zaid bin Haritsah tidak berhenti di medan Mu’tah, tetapi terus hidup dalam hati umat yang mencintai Rasulullah. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
