Khazanah
Beranda » Berita » Dari Guru ke Murid: Warisan Ilmiah al-Juwaynī kepada al-Ghazālī Melalui Al-Waraqāt

Dari Guru ke Murid: Warisan Ilmiah al-Juwaynī kepada al-Ghazālī Melalui Al-Waraqāt

Imam al-Juwaynī mengajar al-Ghazālī muda di Madrasah Naisabur sebagai simbol warisan ilmu Islam.
Lukisan menggambarkan momen pembelajaran antara Imam al-Juwaynī dan muridnya al-Ghazālī di Madrasah Naisabur, simbol warisan ilmu yang hidup dari generasi ke generasi.

Surau.co. Dalam kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, kita menemukan bukan hanya kerangka hukum Islam, tetapi juga warisan intelektual dan spiritual yang kelak membentuk sosok besar seperti Imām al-Ghazālī. Frasa kunci kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt tidak hanya mengacu pada karya ilmiah yang kecil dalam ukuran, tetapi besar dalam pengaruhnya — ia adalah fondasi pendidikan hukum Islam di berbagai belahan dunia selama lebih dari sembilan abad.

Melalui karya ini, kita bisa menelusuri bagaimana al-Juwaynī membangun generasi murid yang tak hanya cerdas secara akal, tapi juga halus dalam spiritualitas. Di antara murid-muridnya, yang paling masyhur tentu adalah al-Ghazālī, yang kelak menjadi salah satu pemikir paling berpengaruh dalam sejarah Islam.

Ketika Ilmu Menjadi Cahaya Antara Guru dan Murid

Setiap hubungan guru dan murid yang sejati selalu melampaui batas ruang kelas. Di Madrasah Naisabur, Imam al-Juwaynī tak sekadar mengajar hukum dan logika; ia menanamkan cara berpikir dan cara hidup ilmiah. Dalam Al-Waraqāt, al-Juwaynī menulis:

« العلم ما يوجب سكون النفس، ولا يكون ذلك إلا بدليل »
“Ilmu adalah sesuatu yang menenangkan jiwa, dan hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan dalil.”

Kalimat ini mungkin sederhana, namun bagi al-Ghazālī muda, ia menjadi pondasi cara pandang terhadap ilmu: bahwa pengetahuan sejati bukanlah kumpulan informasi, tetapi sesuatu yang membawa ketenangan batin.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Fenomena ini sangat relevan dalam kehidupan modern. Banyak orang kini haus belajar, tapi kehilangan makna. Ilmu dikejar untuk status, bukan untuk kebijaksanaan. Al-Juwaynī mengajarkan bahwa ilmu sejati adalah cahaya — dan hanya hati yang bersih yang mampu menampungnya.

Dari Rasionalitas ke Spiritualitas: Akar Pemikiran al-Ghazālī

Imam al-Juwaynī dikenal sebagai ulama rasionalis dari mazhab Syafi‘i dan teolog besar dari tradisi Asy‘ariyyah. Ia menulis Al-Waraqāt dengan tujuan melatih nalar para penuntut ilmu agar teratur dan sistematis. Dalam kitabnya, beliau menjelaskan:

« الدليل ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري »
“Dalil adalah sesuatu yang dengan penalaran yang benar dapat mengantarkan pada pengetahuan tentang suatu kebenaran.”

Definisi ini menunjukkan betapa al-Juwaynī sangat menekankan peran akal dalam memahami wahyu. Bagi beliau, hukum Islam harus didasarkan pada metode berpikir yang benar, bukan hanya hafalan teks.

Ketika al-Ghazālī menimba ilmu darinya, ia menyerap semangat metodologis ini. Namun, setelah perjalanan intelektual panjang, al-Ghazālī menambahkan satu dimensi baru: spiritualitas. Ia menggabungkan metode rasional sang guru dengan kehalusan batin seorang sufi.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa al-Ghazālī adalah “buah matang” dari benih intelektual yang ditanamkan al-Juwaynī melalui Al-Waraqāt.

Ilmu yang Hidup Melalui Adab dan Kesungguhan

Salah satu pelajaran paling mendasar dari kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt adalah pentingnya adab ilmiah. Imam al-Juwaynī tidak mengajarkan muridnya untuk menjadi “ahli debat”, tetapi menjadi pencari kebenaran yang rendah hati.

Dalam Al-Waraqāt, beliau menulis:

« من لم يعرف وجوه الخطاب، فقد جهل مواضع الاستدلال »
“Barang siapa tidak memahami ragam cara bahasa berbicara, maka ia telah kehilangan arah dalam berdalil.”

Ungkapan ini lebih dari sekadar pelajaran bahasa; ia adalah peringatan moral. Bahwa dalam memahami agama, seseorang harus berhati-hati terhadap makna, tidak tergesa menyimpulkan, dan tidak sombong dengan pengetahuan yang sedikit.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Al-Ghazālī kelak melanjutkan semangat ini. Dalam Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, ia menulis bahwa ilmu tanpa adab adalah kehancuran, dan guru tanpa keikhlasan adalah kegelapan. Jelas bahwa nilai-nilai tersebut adalah refleksi dari pendidikan yang ia dapatkan dari al-Juwaynī.

Fenomena Hari Ini: Ketika Ilmu Terputus dari Hikmah

Jika kita melihat ke dunia modern, fenomena “terpisahnya ilmu dari hikmah” menjadi nyata. Banyak lembaga pendidikan yang melahirkan ahli pikir, tapi tidak melahirkan orang bijak.

Padahal, dalam kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt, Imam al-Juwaynī sudah mengajarkan bahwa ilmu dan hikmah harus berjalan bersama. Ia menulis:

« النظر هو الفكر الذي يطلب به علم أو غلبة ظن »
“Nazar (penalaran) adalah aktivitas berpikir yang dengannya seseorang mencari ilmu atau dugaan kuat.”

Namun, nazar bukan sekadar berpikir rasional. Ia adalah upaya mencari kebenaran dengan keikhlasan, dengan kesadaran bahwa setiap pengetahuan adalah amanah.

Kita bisa belajar dari hubungan al-Juwaynī dan al-Ghazālī bahwa ilmu sejati harus menyentuh hati, bukan hanya akal. Jika tidak, ilmu akan kehilangan ruhnya.

Dari Al-Juwaynī ke Al-Ghazālī: Sebuah Estafet Keilmuan

Hubungan antara al-Juwaynī dan al-Ghazālī adalah contoh indah tentang bagaimana ilmu diwariskan — bukan hanya dalam bentuk teks, tetapi juga dalam bentuk tradisi berpikir dan adab.

Al-Juwaynī memberi kerangka berpikir; al-Ghazālī memberi jiwa dan rasa. Keduanya menciptakan tradisi yang menghidupkan Islam dari dua sisi: hukum dan spiritualitas, rasionalitas dan kesadaran ilahi.

Warisan ini masih terasa hingga kini. Di banyak pesantren di Indonesia, kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt masih diajarkan. Tidak hanya sebagai pelajaran teori, tetapi sebagai latihan berpikir logis dan bertanggung jawab.

Dalam konteks pendidikan modern, Al-Waraqāt dapat dianggap sebagai “blueprint” intelektual — mengajarkan bagaimana menghubungkan pengetahuan dengan nilai, logika dengan moral, dan akal dengan iman.

Penutup: Dari Madrasah Naisabur ke Dunia Modern

Warisan keilmuan Imam al-Juwaynī melalui kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt tidak berhenti di Madrasah Naisabur. Ia hidup di hati para pencari ilmu di seluruh dunia. Melalui murid seperti al-Ghazālī, pesan-pesan sang guru terus menyebar: bahwa ilmu sejati adalah yang menumbuhkan kedekatan dengan Tuhan.

Dari guru ke murid, dari teks ke tindakan, dari logika ke cinta — itulah perjalanan ilmu yang abadi. Dan mungkin, inilah alasan mengapa Al-Waraqāt tetap diajarkan hingga hari ini: karena ia tidak hanya mendidik pikiran, tetapi juga membentuk jiwa.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement