Khazanah
Beranda » Berita » Mengapa Al-Waraqāt Tetap Diajarkan Hingga Kini? Menelusuri Keabadian Sebuah Kitab Ushul

Mengapa Al-Waraqāt Tetap Diajarkan Hingga Kini? Menelusuri Keabadian Sebuah Kitab Ushul

Ulama mengajar murid tentang kitab Al-Waraqāt di madrasah klasik.
Ilustrasi suasana belajar klasik di madrasah, menggambarkan kehangatan dan keberlanjutan tradisi ilmu Islam.

Surau.co. Dalam dunia keilmuan Islam, kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī adalah karya kecil yang memiliki pengaruh luar biasa besar. Frasa kunci kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt kerap muncul di berbagai madrasah, pesantren, dan universitas Islam di seluruh dunia, bahkan lebih dari seribu tahun setelah penulisnya wafat. Kitab ini bukan sekadar teks akademik, melainkan jantung dari tradisi berpikir hukum Islam yang menuntun generasi demi generasi untuk berpikir tertib, logis, dan beradab.

Fenomena menarik pun terjadi: di era serba digital ini, Al-Waraqāt masih menjadi kitab wajib dalam pelajaran ushul fikih pemula. Pertanyaannya: apa rahasia keabadiannya?

Sebuah Kitab Kecil dengan Pengaruh Besar

Imam al-Juwaynī menulis Al-Waraqāt sebagai pengantar bagi pelajar pemula dalam memahami dasar-dasar ushul fikih. Dengan struktur yang ringkas, jelas, dan metodologis, kitab ini menjadi fondasi yang kuat untuk memahami cara ulama menafsirkan Al-Qur’an, hadis, ijma‘, dan qiyas.

Dalam pembuka kitabnya, beliau menulis:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

« اعلم أن أصول الفقه طرقه على أربعة أركان: الأدلة، والأحكام، والقياس، والمجتهد »
“Ketahuilah bahwa ushul fikih terdiri dari empat pilar utama: dalil-dalil hukum, hukum-hukum itu sendiri, qiyas, dan mujtahid.”

Kalimat singkat ini menggambarkan kejeniusan Imam al-Juwaynī. Ia tidak hanya mendefinisikan ushul fikih secara struktural, tetapi juga memberikan peta pemikiran tentang bagaimana hukum Islam dibangun. Dalam kalimat itu, seluruh dinamika hukum Islam terkandung: sumber, metode, dan pelaku ijtihad.

Banyak ulama setelahnya — termasuk al-Ghazālī, Fakhr al-Dīn al-Rāzī, hingga Imam al-Subkī — menganggap Al-Waraqāt sebagai gerbang pertama bagi siapa pun yang ingin menjadi faqih sejati.

Dari Pesantren ke Universitas: Mengapa Ia Masih Relevan?

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan bahwa sesuatu yang sederhana justru bertahan lama. Begitu pula Al-Waraqāt — karya yang pendek, tapi tetap hidup dalam tradisi belajar Islam global. Di Indonesia sendiri, kitab ini menjadi materi pokok di berbagai pesantren klasik hingga program S1 hukum Islam.

Relevansinya bertahan karena beberapa alasan mendasar:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Struktur logika yang universal. Imam al-Juwaynī tidak hanya menulis hukum, tetapi juga menulis cara berpikir tentang hukum.

Bahasa yang padat dan jernih. Meski ringkas, setiap kalimat mengandung lapisan makna.

Fleksibilitas zaman. Metode berpikir yang ditawarkan dapat diterapkan untuk membaca realitas modern.

Imam al-Juwaynī menulis dalam Al-Waraqāt:

« والدليل ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري »
“Dalil adalah sesuatu yang melalui penalaran yang benar dengannya dapat diperoleh pengetahuan tentang suatu kebenaran.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Definisi ini luar biasa. Ia tidak membatasi “dalil” pada teks saja, tetapi membuka ruang bagi rasionalitas manusia. Dengan kata lain, Al-Waraqāt mengajarkan umat Islam untuk berpikir ilmiah tanpa meninggalkan iman.

Keseimbangan Antara Akal dan Wahyu

Salah satu daya hidup kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt adalah caranya menyeimbangkan peran akal dan wahyu. Imam al-Juwaynī hidup pada masa ketika perdebatan antara kaum rasionalis (Mu‘tazilah) dan tradisionalis (Ahl al-Hadīth) sedang memuncak. Ia tampil di tengah-tengah, mengambil posisi moderat yang penuh hikmah.

Dalam Al-Waraqāt, ia menulis:

« العلم ما يوجب سكون النفس، ولا يكون ذلك إلا بدليل »
“Ilmu adalah sesuatu yang menenangkan jiwa, dan hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan dalil.”

Definisi ini menggambarkan visi intelektual Islam yang luhur: ilmu sejati adalah yang menghadirkan ketenangan batin, bukan kebingungan. Maka, setiap penalaran logis harus berujung pada penguatan iman, bukan pelemahan.

Fenomena hari ini menunjukkan betapa banyak orang belajar agama dengan cara tergesa — ingin cepat, tapi dangkal. Al-Waraqāt menuntun sebaliknya: berpikir pelan, tapi dalam; berdiskusi dengan adab, bukan amarah.

Mengapa Kitab Ini Tetap Diajarkan di Pesantren?

Mereka yang pernah mondok pasti akrab dengan kitab ini. Santri-santri memegang naskah tipis berbahasa Arab gundul, membacanya perlahan, sambil mendengarkan penjelasan guru. Di sinilah Al-Waraqāt tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga melatih karakter ilmiah dan spiritual.

Imam al-Juwaynī menulis dengan sistematis, tetapi juga dengan hati. Ia tidak hanya menjelaskan istilah hukum, melainkan juga menanamkan nilai moral di baliknya.

« من لم يعرف وجوه الخطاب فقد جهل مواضع الاستدلال »
“Barang siapa tidak memahami ragam cara bahasa berbicara, maka ia telah kehilangan arah dalam berdalil.”

Kalimat ini sederhana namun relevan untuk era media sosial hari ini. Banyak perdebatan terjadi karena orang hanya membaca teks tanpa memahami konteks. Al-Waraqāt mengingatkan bahwa memahami hukum adalah memahami bahasa — dan bahasa menuntut akal sehat, etika, serta rasa hormat terhadap makna.

Dari Ruang Kelas ke Dunia Digital: Membaca Ulang Al-Waraqāt

Kini, ketika dunia pendidikan Islam berpindah ke ruang digital, Al-Waraqāt menemukan kehidupan barunya. Banyak dosen dan ustaz mengajarkannya lewat video daring, e-book, hingga kursus daring. Hal ini membuktikan bahwa isi kitab klasik bisa melampaui bentuk dan zaman.

Relevansinya bahkan semakin terasa ketika dunia modern dilanda krisis makna. Al-Waraqāt tidak hanya mengajarkan cara berijtihad, tetapi juga cara berpikir jernih di tengah kekacauan informasi.

Sebagaimana firman Allah ﷻ:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: apakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya yang dapat mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang berakal.” (QS. Az-Zumar [39]: 9)

Ayat ini menjadi ruh bagi seluruh pesan Al-Waraqāt: ilmu bukan hanya alat memahami hukum, tetapi juga sarana mengenal Tuhan.

Keabadian yang Lahir dari Keikhlasan

Barangkali alasan paling dalam mengapa kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt tetap diajarkan hingga kini adalah karena ia ditulis dengan niat yang bersih. Imam al-Juwaynī tidak menulis untuk ketenaran, melainkan untuk keberlanjutan ilmu. Itulah sebabnya karya ringkasnya menembus zaman, sementara ribuan kitab tebal lain hilang ditelan sejarah.

Dalam setiap baitnya, Al-Waraqāt mengajarkan kesungguhan, adab, dan kejujuran intelektual. Ia menjadi pengingat bahwa kemajuan Islam tidak hanya bergantung pada kecerdasan, tetapi juga pada ketulusan hati para pencari ilmu.

Penutup: Dari Lembaran Kertas ke Cahaya Zaman

Kitab kecil bernama Al-Waraqāt mungkin hanya selembar-dua lembar kertas, tetapi di baliknya terkandung kebijaksanaan besar yang menuntun umat selama berabad-abad. Dari Madrasah Naisabur hingga pesantren di Jawa, dari ruang diskusi ulama klasik hingga ruang virtual abad ke-21, pesan Imam al-Juwaynī tetap sama: ilmu harus membawa manusia pada kebenaran dan kedamaian.

Selama masih ada hati yang mencari makna, Al-Waraqāt akan terus hidup — bukan hanya sebagai teks, tetapi sebagai cahaya yang menuntun akal dan jiwa menuju kearifan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement