SURAU.CO-Abu Hurairah ra. adalah seorang sahabat Nabi yang berasal dari suku Dausi. Ada perbedaan pendapat mengenai nama aslinya. Putranya, al-Muharrar ibn Abu Hurairah, mengatakan bahwa nama ayahnya adalah Abdu Amr ibn Abdu Ghanam.
Pada suatu hari Abu Hurairah datang ke sebuah pasar di Madinah dan berkata dengan suara keras,
“Lemah sekali kalian, wahai penduduk Madinah.”
Mereka bertanya, “Kelemahan apa yang engkau lihat dari kami, wahai Abu Hurairah?”
“Warisan Rasulullah sedang dibagi-bagikan sementara kalian sibuk di sini? Kenapa kalian tidak pergi dan mengambil bagian kalian?”
“Benar, wahai Abu Hurairah, tetapi di mana bagian itu?”
Abu Hurairah menjawab, “Di masjid Rasulullah.”
Kemudian mereka segera berangkat ke masjid. Orang-orang itu kembali dari masjid dan berkata,
“Hai Abu Hurairah, kami sudah mendatangi masjid, tetapi kami tidak melihat apa pun yang sedang dibagikan. Kami hanya melihat orang yang sedang salat, orang yang sedang membaca Al-Qur’an, dan orang yang sedang berzikir.”
Abu Hurairah berkata, “Celakalah kalian! Itulah warisan Rasulullah.” Ternyata mereka semua telah lalai.
Abu Hurairah tidak pernah puas memandang Rasulullah karena ia sangat mencintainya. Ia memenuhi kedua bola matanya dengan keindahan wajah Rasulullah.
Abu Hurairah mengalami kelaparan karena seluruh waktunya ia curahkan untuk menimba ilmu. Ia tidak pernah ikut berniaga. Nyaris setiap hari ia selalu mengalami kelaparan hingga suatu ketika ia tak dapat berdiri karena sangat lapar.
Konsistensi Ibadah
Kelak, ketika Islam tersebar semakin luas, keadaan Abu Hurairah berubah. Ia menjadi orang yang berharta dan menjadi gubernur di suatu wilayah negeri Islam.
Kendati demikian, perubahan status sosial dan kedudukannya tidak mengubah watak dan keutamaannya. Ia tetap terkenal sebagai seorang alim, ramah, dermawan, bertakwa, warak, berpuasa pada siang hari dan salat pada sepertiga malam. Sebelum mendirikan salat malam, ia akan membangunkan keluarganya sehingga mereka semua beribadah salat malam.
Ia selalu menjaga kebaikan dan kelembutannya. Ia tak mau menyakiti seseorang karena takut akan mendapat kisas kelak pada hari akhir. Terdapat riwayat bahwa ia punya seorang budak perempuan yang berakhlak buruk. Suatu ketika, karena perilaku budak itu yang keterlaluan, Abu Hurairah mengangkat cambuknya. Namun, ia segera ingat kepada Allah, mengucapkan istighfar, lalu berkata,
“Andai saja tidak ada kisas kelak pada hari kiamat, pasti aku akan menyiksamu sebagaimana kau menyiksa kami. Tetapi aku akan menjualmu kepada zat yang telah memenuhi hargamu kepadaku dan aku lebih membutuhkan akhirat. Pergilah, sejak saat ini kau menjadi manusia merdeka karena Allah.”
Pribadi yang rendah hati
Meskipun memiliki kedudukan dunia yang tinggi, Abu Hurairah tetap terkenal sebagai alim yang sangat rendah hati, selalu bertutur kata dengan lembut. Meskipun telah diangkat menjadi gubernur, ia tetap melayani dirinya sendiri dan enggan membebani orang lain. Ketika diangkat menjadi walikota Madinah, ia mencari kayu bakar sendiri dan memikulnya di atas pundaknya. Ketika memasuki jalan-jalan Madinah, ia berseru kepada orang-orang,
“Berikanlah jalan untuk amir kalian dan tumpukan kayu di atas punggungnya.”
Beberapa saat menjelang ajal menjemputnya, ia menangis tersedu-sedu. Ia menjawab, “Aku menangis mengingat betapa jauhnya perjalanan dan betapa sedikitnya perbekalan.”
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar, Abu Hurairah ditugaskan di Bahrain kemudian ia dicopot dari jabatannya. Ketika diminta untuk kembali menduduki jabatannya, Abu Hurairah menolaknya. Abu Hurairah wafat di daerah al-Aqiq dan dimakamkan di Madinah.(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
