Khazanah
Beranda » Berita » Tradisi Keilmuan Imam al-Haramayn: Dari Madrasah Naisabur ke Dunia Islam Modern

Tradisi Keilmuan Imam al-Haramayn: Dari Madrasah Naisabur ke Dunia Islam Modern

Ulama klasik mengajar di Madrasah Naisabur sebagai simbol tradisi keilmuan Imam al-Haramayn.
Seorang ulama klasik mengajar di madrasah dengan penuh kebijaksanaan, menggambarkan tradisi ilmu dan adab di era Imam al-Juwaynī.

Surau.co. Ilmu sebagai jalan menuju ketenangan jiwa – Dalam kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, kita menemukan warisan keilmuan yang terus hidup melintasi zaman. Kitab ini bukan sekadar teks klasik dalam disiplin uṣūl al-fiqh, tetapi juga jendela untuk memahami bagaimana tradisi keilmuan Islam tumbuh dari disiplin, adab, dan rasionalitas yang berpadu dengan spiritualitas.

Imam al-Juwaynī, yang dikenal sebagai “Imām al-Ḥaramayn” (Imam Dua Tanah Suci), tidak hanya berperan sebagai ahli fikih, tetapi juga sebagai teladan ulama yang memadukan ilmu dan pengabdian. Dari Madrasah Naisabur di Khurasan, ajarannya menembus sekat waktu dan terus memengaruhi diskursus intelektual hingga masa kini.

Jejak Spiritual dan Intelektual di Madrasah Naisabur

Bayangkan suasana abad ke-11. Lorong-lorong Madrasah Naisabur dipenuhi para penuntut ilmu dari berbagai negeri. Mereka membawa pena dan kertas, duduk bersila di hadapan seorang guru muda dengan kecerdasan luar biasa: Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī. Di usia tiga puluh tahun, ia sudah diangkat menjadi mufti besar Khurasan.

Dalam Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt, beliau menulis:

« العلم ما يوجب سكون النفس، ولا يكون ذلك إلا بدليل »
“Ilmu adalah sesuatu yang menenangkan jiwa, dan hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan dalil.”

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Frasa sukūn al-nafs — ketenangan jiwa — menjadi inti dari seluruh ajaran keilmuannya. Bagi Imam al-Juwaynī, Ilmu sebagai jalan menuju ketenangan jiwa bukan alat untuk berdebat, melainkan jalan menuju kedamaian batin. Karena itu, ia menanamkan tradisi berpikir yang seimbang antara dalil rasional dan kedalaman spiritual.

Di bawah bimbingannya, Madrasah Naisabur melahirkan para pemikir besar yang beradab dan berakal sehat. Salah satu di antaranya adalah Abū Ḥāmid al-Ghazālī, murid yang kemudian meneruskan warisan gurunya melalui karya monumental Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn. Dengan demikian, pengaruh Juwaynī tidak hanya bertahan di ruang akademik, tetapi juga mengakar dalam laku spiritual umat Islam.

Ilmu sebagai Jalan Menuju Iman

Salah satu pelajaran penting dari Imam al-Juwaynī adalah keseimbangan antara akal dan wahyu. Dalam Al-Waraqāt, beliau menjelaskan metode berpikir yang sistematis dan terukur:

« النظر هو الفكر الذي يطلب به علم أو غلبة ظن »
“Nazar (penalaran) adalah aktivitas berpikir yang dengannya seseorang mencari ilmu atau dugaan yang kuat.”

Melalui penjelasan ini, Imam al-Juwaynī menegaskan bahwa Islam tidak menolak akal. Sebaliknya, Islam menuntun akal agar berjalan dalam cahaya wahyu. Oleh sebab itu, tradisi keilmuan Islam klasik selalu menghadirkan harmoni antara rasionalitas dan spiritualitas.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kini, ketika dunia modern sering memperlihatkan jurang antara intelektualisme dan religiositas, pandangan Juwaynī terasa semakin relevan. Ia menunjukkan bahwa ilmu tanpa iman melahirkan kesombongan, sedangkan iman tanpa ilmu kehilangan arah. Maka, keseimbangan antara keduanya menjadi syarat bagi lahirnya kebijaksanaan sejati.

Ketika Dunia Modern Kehilangan Adab Ilmu

Dalam masyarakat modern, ilmu kerap diukur dari gelar, jabatan, atau gengsi akademik. Namun, Imam al-Juwaynī menegaskan bahwa ilmu sejati bersandar pada adab dan niat. Dalam Al-Waraqāt, beliau menulis:

« من لم يعرف وجوه الخطاب، فقد جهل مواضع الاستدلال »
“Barang siapa tidak memahami cara bahasa berbicara, maka ia kehilangan arah dalam berdalil.”

Ungkapan ini sederhana namun sangat dalam. Menurutnya, seorang alim sejati tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga tahu kapan harus diam. Ia berhati-hati dalam menafsirkan dan selalu menjaga etika dalam berpendapat.

Karena itu, fenomena “ustadz viral” yang gemar berdebat tanpa dasar kuat mencerminkan hilangnya adab keilmuan. Imam al-Juwaynī menasihati para penuntut ilmu agar selalu rendah hati di hadapan kebenaran. Tujuan ilmu bukan untuk mengalahkan lawan, melainkan untuk membersihkan jiwa. Dengan demikian, keilmuan menjadi sarana penyucian, bukan ajang kebanggaan.

Kisah Nama Abu Hurairah: Dari Pecinta Kucing Menjadi Penjaga Hadis

Dari Naisabur ke Dunia Modern: Warisan Metodologis

Kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt dikenal luas sebagai teks dasar dalam studi hukum Islam. Namun lebih dari itu, ia menjadi model berpikir metodologis — cara untuk menempuh kebenaran dengan nalar yang sistematis dan ilmiah.

Imam al-Juwaynī membagi pendekatan hukum menjadi dua:

  1. Dalālah al-lafẓ — makna literal atau tekstual, dan

  2. Dalālah al-ma‘nā — makna maknawi atau tujuan syar‘i.

Beliau menulis:

« والدليل ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري »
“Dalil adalah sesuatu yang, melalui penalaran yang benar, dapat mengantarkan pada pengetahuan tentang sesuatu yang diberitakan.”

Dengan demikian, dalil tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga rasional. Pandangan ini membuktikan bahwa Islam mendorong analisis yang logis tanpa meninggalkan wahyu. Karena itulah Al-Waraqāt tetap relevan untuk dijadikan fondasi berpikir di era modern — baik dalam hukum, filsafat, maupun ilmu sosial.

Mewarisi Semangat, Bukan Sekadar Hafalan

Warisan terbesar Imam al-Juwaynī bukan kumpulan definisi, melainkan semangat mencari kebenaran dengan kejujuran ilmiah. Ia selalu menekankan bahwa ilmu harus dilandasi niat yang ikhlas.

Beliau mengingatkan murid-muridnya dengan sabda Nabi ﷺ:

مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ لِيَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ فَهُوَ فِي النَّارِ
“Barang siapa menuntut ilmu untuk menandingi ulama, berdebat dengan orang bodoh, atau mencari perhatian manusia, maka tempatnya di neraka.” (HR. Ibn Mājah)

Pesan ini menegaskan bahwa ilmu tanpa niat yang benar hanya melahirkan kesia-siaan. Karena itu, setiap penuntut ilmu perlu bertanya: apakah aku belajar untuk pencerahan, atau sekadar pengakuan?

Kesimpulan: Cahaya Naisabur untuk Dunia

Tradisi keilmuan Imam al-Ḥaramayn merupakan pelajaran abadi tentang harmoni antara ilmu, adab, dan akal. Dari Madrasah Naisabur yang sederhana, beliau menyalakan pelita keilmuan yang terus menerangi dunia Islam hingga kini.

Oleh karena itu, di tengah zaman yang haus makna, Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt tetap relevan. Kitab ini mengingatkan kita bahwa berpikir harus dengan metode, berilmu harus dengan adab, dan beragama harus dengan cinta.

Melalui sosok Imam al-Juwaynī, kita belajar bahwa seorang ulama sejati bukan hanya pengajar hukum, melainkan penjaga kebijaksanaan. Mungkin, di situlah makna sejati dari gelar Imām al-Ḥaramayn: pemimpin ilmu yang menjaga kesucian hati dan akal dalam satu harmoni.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement