Surau.co. Dalam kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, ilmu ushul fikih digambarkan bukan sekadar perangkat hukum, melainkan jalan menuju kearifan dalam memahami kehendak Allah. Frasa kunci kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt menjadi pusat pembahasan penting tentang bagaimana akal dan hati dapat bersinergi untuk menggali hukum syar‘i tanpa kehilangan ruh spiritualitas.
Di zaman serba cepat ini, banyak orang ingin memahami agama secara instan. Padahal, Imam al-Juwaynī mengajarkan bahwa hukum tidak lahir dari tafsir singkat, melainkan dari proses berpikir yang disiplin, sabar, dan jujur. Al-Waraqāt adalah cermin dari keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan kejernihan hati.
Ketika Akal dan Hati Diperlukan Bersamaan
Manusia modern seringkali memisahkan antara logika dan spiritualitas. Padahal, dalam pandangan Imam al-Juwaynī, dua hal itu justru saling menguatkan. Ia menulis dalam Al-Waraqāt:
« الفقه معرفة الأحكام الشرعية التي طريقها الاجتهاد »
“Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar‘i yang cara mencapainya adalah melalui ijtihad.”
Kalimat ini menggambarkan bahwa fikih bukan hanya sekadar hafalan hukum, tetapi sebuah proses pencarian makna melalui ijtihad — usaha intelektual yang jujur untuk memahami kehendak Ilahi.
Namun, ijtihad tanpa hati bisa menjadi kering. Sebaliknya, hati tanpa ilmu bisa tersesat. Karena itu, Al-Waraqāt mengajarkan keseimbangan: memahami hukum syar‘i dengan ilmu, tetapi juga dengan kesadaran bahwa ilmu tersebut berasal dari Allah yang Maha Bijaksana.
Kearifan dalam Menafsirkan Dalil
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dihadapkan pada dilema: bagaimana menafsirkan perintah atau larangan Allah dengan benar. Imam al-Juwaynī menulis:
« والأمر استدعاء الفعل بالقول ممن هو دونه على سبيل الوجوب »
“Perintah adalah permintaan untuk melakukan suatu perbuatan dengan ucapan, dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, dalam bentuk kewajiban.”
Definisi ini tampak teknis, tapi sesungguhnya mengandung hikmah yang mendalam. Perintah Allah bukan sekadar keharusan, melainkan undangan menuju kebaikan. Ia seperti panggilan kasih seorang guru kepada muridnya — tegas namun penuh cinta.
Dalam praktiknya, seseorang yang memahami kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt tidak hanya mencari “apa hukumnya,” tetapi juga “mengapa Allah menghendakinya.” Di sinilah kearifan muncul — bukan sekadar patuh, tetapi juga paham.
Menghadapi Perbedaan dengan Ketenangan
Perbedaan pendapat adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Islam. Imam al-Juwaynī melihatnya bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai rahmat yang menandakan keluasan ilmu. Dalam Al-Waraqāt, beliau menulis:
« والخلاف إما أن يكون في الأحكام أو في الأصول »
“Perbedaan bisa terjadi pada masalah hukum cabang maupun pada masalah pokok.”
Ungkapan ini menegaskan bahwa perbedaan tidak selalu berarti kesalahan. Selama didasari metode ilmiah dan niat tulus, perbedaan menjadi sarana memperkaya pemahaman agama.
Dalam kehidupan sosial, hal ini bisa diterapkan dalam banyak hal. Misalnya, ketika seseorang memilih pendapat fikih yang berbeda dengan kita, bukan berarti ia sesat. Mungkin ia hanya menempuh jalan ilmu yang berbeda. Dari sini, kita belajar untuk tidak tergesa menghakimi, melainkan membuka ruang dialog dan saling menghormati.
Ilmu yang Membawa Keikhlasan
Imam al-Juwaynī menulis dalam Al-Waraqāt:
« العلم ما يوجب سكون النفس، ولا يكون ذلك إلا بدليل »
“Ilmu adalah sesuatu yang menenangkan jiwa, dan hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan dalil.”
Ilmu sejati, menurut beliau, adalah yang menghadirkan ketenangan, bukan kebingungan. Jika pengetahuan membuat seseorang angkuh, berarti yang diperolehnya bukan ilmu, melainkan kesombongan yang terselubung.
Kita sering menyaksikan bagaimana sebagian orang memperdebatkan agama dengan nada tinggi, seolah ingin membuktikan siapa yang lebih benar. Padahal, ilmu yang benar justru menundukkan hati. Ia membuat seseorang semakin rendah hati di hadapan Allah, karena semakin banyak yang diketahui, semakin disadari pula betapa sedikitnya pengetahuan manusia.
Jalan Panjang Pencarian Makna
Membaca kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt seperti menapaki jalan panjang yang menuntut kesabaran. Imam al-Juwaynī tidak mengajarkan hukum secara instan. Ia mengajak pembacanya berpikir bertahap, memadukan nalar dan nurani.
Fenomena modern memperlihatkan betapa banyak orang ingin “menguasai” ilmu agama dalam hitungan hari. Namun, kearifan tak lahir dari kecepatan, melainkan dari proses panjang yang penuh kejujuran. Dalam hal ini, Al-Waraqāt menjadi cermin bagi kita untuk merenung: bahwa memahami agama bukan untuk berdebat, tetapi untuk menemukan ketenangan dan kebijaksanaan.
Sebagaimana firman Allah ﷻ:
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah, apakah sama orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang tidak berilmu? Sesungguhnya yang dapat mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang berakal.” (QS. Az-Zumar [39]: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu bukan tujuan akhir, melainkan sarana untuk mengingat Allah. Maka, ilmu ushul fikih tidak boleh hanya berhenti di kepala, tetapi harus mengakar di hati.
Antara Dalil dan Kebijaksanaan
Dalam Al-Waraqāt, Imam al-Juwaynī juga mengingatkan pentingnya menimbang dalil dengan bijak. Tidak semua teks bisa diambil secara literal tanpa memahami konteksnya. Ia menulis:
« والظاهر ما دل على معنى من غير قرينة، والمؤول ما ترك ظاهره إلى معنى يحتمله لدليل »
“Zahir adalah makna yang tampak tanpa penunjuk tambahan, sedangkan mu’awwal adalah makna yang ditinggalkan dari zahirnya menuju makna lain karena adanya dalil.”
Inilah cermin kedewasaan intelektual seorang ulama. Ia tidak hanya mengajarkan apa yang benar, tetapi juga bagaimana cara berpikir yang benar. Dalam kehidupan kita, ini berarti belajar untuk tidak tergesa menyimpulkan, dan berani menelusuri makna di balik sesuatu.
Menutup dengan Kearifan
Kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imam al-Juwaynī bukan hanya panduan teknis bagi ahli hukum Islam. Ia adalah peta menuju kearifan, yang mengajarkan bahwa berpikir tentang hukum harus dibarengi dengan hati yang bersih.
Di dunia yang penuh kebisingan opini, membaca Al-Waraqāt seperti menemukan ketenangan: mengingatkan kita bahwa ilmu adalah cahaya, bukan senjata; dan ijtihad adalah ibadah, bukan ambisi.
Jika kita mempelajari agama dengan hati dan akal yang seimbang, maka setiap ayat dan hukum bukan lagi sekadar perintah — melainkan panggilan lembut dari Allah untuk hidup dengan bijak dan penuh kasih.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
