Surau.co. Dalam kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, konsep ijtihād menjadi puncak dari perjalanan intelektual seorang faqih (ahli fikih). Kitab ini tidak hanya menjelaskan hukum-hukum dasar usul fikih, tetapi juga menggambarkan siapa yang berhak melakukan ijtihad dan bagaimana adab seorang mujtahid dalam berfatwa. Frasa kunci kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt mengantar kita memahami bahwa ijtihad bukan sekadar kemampuan berpikir, tetapi jalan spiritual dan moral menuju tanggung jawab besar dalam menetapkan hukum syariat.
Di tengah derasnya arus informasi agama hari ini, siapa pun bisa berpendapat tentang hukum Islam, seolah semua memiliki otoritas untuk “menetapkan hukum”. Namun, Al-Waraqāt memberi penegasan: tidak semua orang dapat menapaki jalan ijtihad tanpa bekal ilmu dan adab yang mendalam.
Ketika Semua Ingin Berbicara atas Nama Hukum
Fenomena hari ini mudah kita jumpai: seseorang mengutip satu ayat atau hadis, lalu segera menimpali dengan kalimat “menurut Islam, hukumnya begini”. Padahal, dalam pandangan Imam al-Juwaynī, ijtihad tidak bisa lahir dari sekadar hafalan teks, melainkan dari pemahaman yang menyeluruh terhadap maqāṣid syarī‘ah (tujuan hukum Islam).
Beliau menulis dalam Al-Waraqāt:
« والاجتهاد بذل المجهود في درك الحكم الشرعي »
“Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai pengetahuan tentang hukum syar‘i.”
Kalimat ini menunjukkan bahwa ijtihad bukan tindakan spontan, melainkan proses yang melelahkan namun mulia, melibatkan seluruh potensi akal, ilmu, dan keikhlasan.
Ilmu: Bekal Utama Seorang Mujtahid
Imam al-Juwaynī menjelaskan bahwa seorang mujtahid harus memiliki penguasaan yang luas atas berbagai cabang ilmu. Ia harus memahami bahasa Arab, qawā‘id fiqhiyyah (kaidah hukum), maqāṣid syarī‘ah, serta nash Al-Qur’an dan Hadis. Dalam Al-Waraqāt, beliau menulis:
« ولا يكون مجتهدا إلا من عرف من الأصول ما يحتاج إليه في اجتهاده »
“Seseorang tidak bisa disebut mujtahid kecuali ia mengetahui bagian dari ilmu usul yang dibutuhkan dalam ijtihadnya.”
Artinya, ijtihad tidak hanya mengandalkan kecerdasan, tetapi juga sistem pengetahuan yang terintegrasi. Dalam konteks modern, hal ini serupa dengan seorang ilmuwan yang tidak boleh mengeluarkan teori tanpa riset matang dan metodologi yang sahih.
Namun, Imam al-Juwaynī tidak berhenti pada aspek teknis. Beliau juga menekankan bahwa ilmu tanpa kejujuran akan kehilangan nilai. Maka, seorang mujtahid tidak hanya dituntut alim, tetapi juga adil — memiliki integritas moral dan keikhlasan dalam setiap fatwanya.
Antara Keberanian dan Kehati-hatian
Salah satu keindahan kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt adalah keseimbangannya antara rasionalitas dan kehati-hatian. Imam al-Juwaynī mengingatkan bahwa mujtahid harus berani mengambil kesimpulan, namun juga harus tahu batas kemampuannya.
« ومن لم يعرف وجوه الاستنباط لم يصح أن يكون من أهل الاجتهاد »
“Barang siapa tidak memahami cara-cara istinbāṭ (penggalian hukum), maka ia tidak layak menjadi seorang mujtahid.”
Kalimat ini menegur siapa pun yang tergesa-gesa berfatwa tanpa metodologi. Di era digital, hal ini menjadi relevan: banyak yang berbicara tentang hukum agama berdasarkan emosi atau logika pribadi, tanpa ilmu yang memadai. Imam al-Juwaynī mengajarkan bahwa keberanian dalam berijtihad harus diimbangi oleh kesadaran intelektual untuk tidak melampaui batas.
Adab Mujtahid: Ilmu yang Dibalut Kerendahan Hati
Ijtihad, menurut Imam al-Juwaynī, bukan sekadar hasil berpikir rasional, tetapi juga bentuk ibadah. Seorang mujtahid yang sejati tidak menganggap dirinya lebih tahu dari yang lain, melainkan sadar bahwa kebenaran mutlak hanyalah milik Allah.
« ولا يجوز أن يقال كل مجتهد مصيب إلا في الظن »
“Tidak boleh dikatakan bahwa setiap mujtahid pasti benar, kecuali dalam hal dugaan yang kuat.”
Ungkapan ini menanamkan adab intelektual: seorang mujtahid tidak mengklaim kebenaran absolut. Ia hanya berusaha mendekati kehendak Allah sejauh kemampuannya. Sikap seperti ini sangat langka di zaman sekarang, di mana perdebatan sering berubah menjadi perebutan kebenaran.
Dalam kehidupan sehari-hari, prinsip ini bisa kita jadikan teladan: belajar untuk berpikir, tapi juga belajar untuk rendah hati. Kebenaran yang sejati tidak lahir dari ego, melainkan dari ketulusan mencari ridha Allah.
Mujtahid dan Tanggung Jawab Sosial
Imam al-Juwaynī memandang mujtahid bukan sekadar pemikir hukum, tetapi juga pelayan umat. Fatwanya tidak boleh memecah belah, melainkan membawa maslahat dan kedamaian.
Sebagaimana firman Allah ﷻ:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Naḥl [16]: 43)
Ayat ini menegaskan bahwa peran mujtahid adalah ahl al-dzikr — penjaga ilmu dan petunjuk bagi umat. Karena itu, seorang mujtahid tidak boleh menggunakan ijtihadnya untuk kepentingan politik, ekonomi, atau ego pribadi. Ia berfatwa demi kebenaran, bukan popularitas.
Dari Al-Juwaynī ke Zaman Kini: Relevansi Ijtihad di Era Modern
Ijtihad yang diajarkan Imam al-Juwaynī tidak berhenti di masa klasik. Ia tetap relevan bagi dunia modern yang dihadapkan pada isu-isu baru: bioetika, teknologi, ekonomi digital, hingga lingkungan hidup. Prinsipnya jelas: selama ada ilmu, metode, dan keikhlasan, pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Namun, Al-Waraqāt mengingatkan agar kita tidak mengaburkan batas antara “ijtihad ilmiah” dan “pendapat pribadi.” Ijtihad sejati lahir dari kedalaman ilmu dan kerendahan hati, bukan dari keinginan untuk terlihat benar di hadapan publik.
Penutup: Ijtihad sebagai Jalan Kesungguhan dan Pengabdian
Imam al-Juwaynī melalui kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt telah mewariskan warisan berharga — bahwa ijtihad bukan hanya simbol kecerdasan, tetapi juga tanda kesungguhan dalam mengabdi kepada Allah.
Dalam dunia yang semakin bising oleh opini, pesan beliau terasa semakin dalam: berpikir boleh, tapi dengan adab; berijtihad boleh, tapi dengan ilmu. Karena jalan ijtihad bukan sekadar pencarian hukum, melainkan perjalanan spiritual menuju kejujuran dan tanggung jawab.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
