Khazanah
Beranda » Berita » Hukum Lima: Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, Haram Menurut Imam al-Juwaynī

Hukum Lima: Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, Haram Menurut Imam al-Juwaynī

Ulama klasik menulis tentang lima hukum syar‘i dalam kitab Al-Waraqāt karya Imam al-Juwaynī.
Seorang ulama klasik sedang menelaah kitab, dikelilingi naskah bertuliskan lima hukum syar‘i, menggambarkan keseimbangan etika dan spiritual dalam ajaran Islam.

Surau.co. Dalam kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, konsep al-aḥkām al-khamsah— lima hukum syar‘i yang meliputi wājib, mandūb (sunnah), mubāḥ, makrūh, dan ḥarām — tidak sekadar berfungsi sebagai klasifikasi hukum. Lebih dari itu, ia menjadi kerangka etika kehidupan. Melalui frasa kuncinya, Imam al-Juwaynī mengingatkan bahwa setiap tindakan manusia, sekecil apa pun, selalu berada di bawah bimbingan hukum Allah.

Di tengah dunia modern yang semakin relatif, konsep lima hukum ini menegaskan kembali arah hidup manusia. Hidup bukanlah ruang kosong tanpa batas, melainkan arena ujian yang menuntut kebijaksanaan dalam memilih. Karena itu, Imam al-Juwaynī menawarkan panduan agar setiap keputusan kita terukur, baik secara moral maupun spiritual.

Hidup di Antara Wajib dan Haram

Setiap hari, manusia berhadapan dengan pilihan: melakukan atau meninggalkan sesuatu. Dari hal sederhana seperti berkata jujur hingga keputusan besar terkait harta, semuanya memiliki nilai di mata syariat. Imam al-Juwaynī menjelaskan dengan tegas:

« الحكم خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالاقتضاء أو التخيير أو الوضع »
“Hukum adalah khitab (perintah atau larangan) Allah Ta‘ala yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, berupa tuntutan, pilihan, atau penetapan.”

Penjelasan tersebut menegaskan bahwa hukum berasal dari wahyu, bukan dari keinginan manusia. Karena itu, keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab harus terus dijaga.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dalam praktik sehari-hari, seseorang sering bertanya, “Apakah saya harus melakukannya?” atau “Bolehkah saya meninggalkannya?” Lima kategori hukum syar‘i memberikan jawaban yang jelas — bukan hanya untuk diketahui, tetapi juga untuk dihidupi.

1. Wājib: Kewajiban Sebagai Jalan Kedewasaan

Imam al-Juwaynī mendefinisikan:

« الواجب ما يذم تاركه شرعا بغير عذر »
“Wajib adalah sesuatu yang apabila ditinggalkan tanpa uzur, pelakunya tercela secara syar‘i.”

Kewajiban bukan sekadar aturan formal, melainkan latihan spiritual yang menumbuhkan kedewasaan. Shalat lima waktu, misalnya, bukan hanya ibadah ritual, tetapi juga latihan disiplin moral. Melalui pelaksanaan kewajiban, seseorang belajar konsisten, jujur, dan bertanggung jawab.

Selain itu, di era modern, konsep wajib dapat diterapkan pada banyak hal: bekerja dengan jujur, menepati janji, serta menunaikan hak orang lain. Semua ini merefleksikan amr (perintah) Allah yang menjaga keseimbangan sosial.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

2. Mandūb (Sunnah): Kebaikan yang Melapangkan Hati

Tidak semua perintah bersifat mengikat. Ada pula yang bersifat anjuran agar manusia terdorong menuju kesempurnaan. Imam al-Juwaynī menulis:

« والمندوب ما يثاب على فعله ولا يعاقب على تركه »
“Mandūb (sunnah) adalah perbuatan yang diberi pahala jika dilakukan, dan tidak berdosa jika ditinggalkan.”

Sunnah membuka ruang keikhlasan. Ia mengajarkan manusia untuk melangkah lebih jauh dari sekadar patuh, menuju ihsan — berbuat baik dengan kesadaran hati. Tersenyum, menolong tanpa pamrih, atau mendoakan sesama merupakan wujud nyata dari sunnah yang menumbuhkan kedamaian batin.

Dengan demikian, sunnah menjadikan ajaran Islam terasa lembut dan manusiawi. Ia bukan paksaan, melainkan undangan penuh kasih menuju kebaikan.

3. Mubāḥ: Ruang Kebebasan Manusia

Islam tidak meniadakan kebebasan. Justru, ia memberikan ruang netral bernama mubāḥ, di mana manusia bebas memilih selama tidak melanggar syariat. Imam al-Juwaynī menjelaskan:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

« والمباح ما لا يتعلق به أمر ولا نهي »
“Mubāḥ adalah sesuatu yang tidak berkaitan dengan perintah maupun larangan.”

Dengan prinsip ini, manusia dapat mengekspresikan kreativitasnya tanpa kehilangan arah spiritual. Makan, berpakaian, memilih pekerjaan, atau menikmati teknologi baru tergolong mubah selama tidak membawa mudarat.

Oleh karena itu, mubāḥ berfungsi sebagai ruang kebebasan yang tetap berpijak pada nilai ilahiah. Ia mengajarkan bahwa Islam tidak mengekang, tetapi menuntun agar setiap kebebasan membawa manfaat.

4. Makrūh: Menghindari yang Tidak Indah

Makruh adalah tindakan yang sebaiknya dihindari meski tidak berdosa jika dilakukan. Imam al-Juwaynī menjelaskan:

« والمكروه ما يثاب على تركه ولا يعاقب على فعله »
“Makrūh adalah perbuatan yang diberi pahala jika ditinggalkan, namun tidak berdosa jika dilakukan.”

Kategori ini menumbuhkan kesadaran moral yang halus. Misalnya, berbicara sia-sia, makan berlebihan, atau tidur pada waktu produktif. Semua itu tidak terlarang keras, tetapi menjauh darinya membantu menjaga keindahan akhlak.

Dengan kata lain, makruh mengajarkan pendidikan jiwa yang lembut — tanpa paksaan, tetapi penuh nasihat.

5. Ḥarām: Larangan yang Melindungi Kehidupan

Akhirnya, kategori ḥarām menjadi benteng perlindungan bagi manusia. Imam al-Juwaynī menegaskan:

« والحرام ما يذم فاعله شرعا »
“Haram adalah perbuatan yang pelakunya dicela secara syar‘i.”

Larangan dalam Islam tidak bermaksud mengekang, melainkan menjaga. Misalnya, larangan mencuri, berzina, atau meminum khamr — semuanya hadir untuk melindungi akal, kehormatan, dan jiwa manusia.

Allah ﷻ berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (QS. Al-An‘ām [6]: 151)

Dengan demikian, setiap larangan menjadi bukti kasih sayang Tuhan yang mencegah manusia dari kehancuran diri.

Keseimbangan di Tengah Lima Hukum

Lima hukum syar‘i bukan alat untuk menakut-nakuti, melainkan peta jalan yang menjaga keseimbangan antara kewajiban dan kebebasan, antara larangan dan keindahan. Imam al-Juwaynī menegaskan bahwa hukum Islam bersifat hidup, elastis, dan penuh hikmah.

Bahkan, tindakan sederhana seperti makan atau bekerja dapat berubah menjadi ibadah ketika disertai niat yang benar. Karena itu, kehidupan sehari-hari sebenarnya merupakan ruang ibadah yang terus terbuka.

Penutup: Etika Hidup Berlandaskan Hukum Allah

Imam al-Juwaynī mengajarkan bahwa memahami lima hukum syar‘i adalah tugas setiap muslim, bukan hanya ulama. Melalui pemahaman itu, seseorang dapat mengatur hidupnya dengan lebih bijak dan tenang.

Wajib menumbuhkan rasa tanggung jawab, sunnah menumbuhkan keindahan, mubah menumbuhkan kebebasan, makruh menumbuhkan kesadaran, dan haram menumbuhkan kehati-hatian.

Ketika kelima hukum ini dijalani secara seimbang, manusia tidak sekadar hidup, tetapi juga menemukan makna. Sebab hidup sesuai syariat bukan berarti terikat, melainkan terbimbing oleh cahaya Ilahi yang menuntun menuju kebahagiaan sejati.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement