Surau.co. Dalam kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, pembahasan tentang al-amr (perintah) dan an-nahy (larangan) tidak sekadar soal teori hukum, tetapi juga refleksi mendalam tentang bagaimana manusia berinteraksi dengan kehendak Tuhan dalam keseharian. Frasa kunci ini, kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt, menjadi jembatan antara dunia hukum Islam klasik dan kehidupan modern yang serba cepat.
Sering kali kita lupa, bahwa setiap tindakan sehari-hari — dari menyapa tetangga hingga menepati janji — memiliki makna etis dan spiritual. Imam al-Juwaynī menuntun kita untuk memahami bahwa “perintah” dan “larangan” bukan sekadar peraturan, melainkan sarana mendidik jiwa agar hidup lebih bermakna dan selaras dengan tujuan syariat.
Ketika Hidup Penuh Perintah dan Larangan
Dalam keseharian, kita tak pernah lepas dari perintah dan larangan: orang tua memerintah anak, atasan memberi tugas, bahkan hati kecil kita sering memperingatkan, “jangan lakukan itu.” Fenomena ini sejatinya mencerminkan pola dasar hubungan antara Tuhan dan manusia dalam Islam: ada hal yang diperintahkan karena membawa kebaikan, dan ada yang dilarang karena melahirkan kerusakan.
Imam al-Juwaynī dalam kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt menjelaskan dengan lugas:
« والأمر استدعاء الفعل بالقول ممن هو دونه على سبيل الوجوب »
“Perintah adalah permintaan untuk melakukan suatu perbuatan dengan ucapan, dari yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah, dengan cara yang mengharuskan.”
Definisi ini tampak sederhana, tapi sangat kaya makna. Ia menunjukkan bahwa setiap amr (perintah) bukan sekadar ajakan, melainkan tanggung jawab moral yang lahir dari otoritas Ilahi.
Dalam konteks modern, ini bisa diterjemahkan menjadi: setiap perintah Tuhan bukan beban, tetapi bimbingan. Seperti rambu lalu lintas yang dibuat bukan untuk mengekang, melainkan untuk menyelamatkan.
Makna di Balik Ketaatan
Ketaatan sering kali disalahpahami sebagai bentuk kepasrahan buta. Padahal, dalam pandangan Imam al-Juwaynī, ketaatan adalah proses sadar — melibatkan nalar, hati, dan keinginan untuk mendekat kepada Allah.
Beliau menulis:
« والأمر إذا ورد مجردا عن القرائن اقتضى الوجوب »
“Perintah yang datang tanpa disertai penjelasan tambahan menunjukkan kewajiban.”
Artinya, ketika Allah memerintahkan sesuatu tanpa pengecualian, itu menjadi tanda seriusnya perintah tersebut. Tetapi yang menarik, Imam al-Juwaynī juga mengajarkan bahwa tidak semua perintah berarti wajib secara mutlak — konteks dan niat menjadi kunci.
Misalnya, perintah “makanlah” dalam Al-Qur’an tidak sama dengan “dirikanlah salat.” Ada yang bersifat mubah (boleh), ada yang wajib, ada pula yang sekadar anjuran. Akal dan ilmu berperan besar dalam membedakannya.
Ketika Larangan Menjadi Bentuk Kasih Sayang
Jika perintah menunjukkan cinta aktif Allah, maka larangan menunjukkan kasih sayang-Nya dalam bentuk perlindungan. Imam al-Juwaynī menyebut:
« والنهي استدعاء الكف عن الفعل بالقول ممن هو دونه على سبيل الوجوب »
“Larangan adalah permintaan untuk meninggalkan suatu perbuatan, dengan ucapan, dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, dengan cara yang mengharuskan.”
Dalam kehidupan sehari-hari, banyak larangan Tuhan tampak seperti pembatas kebebasan. Namun sejatinya, larangan itu justru menjaga kemuliaan manusia. Larangan berbohong, menipu, atau berbuat zalim, misalnya, bukan sekadar norma sosial, tapi cara Tuhan menjaga martabat kita.
Larangan juga menjadi cermin kasih sayang. Allah ﷻ berfirman:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 32)
Ayat ini bukan hanya larangan terhadap tindakan, tetapi juga peringatan agar menjauhi segala sebab yang mendekatkannya. Larangan di sini bekerja seperti pagar pelindung — membatasi agar manusia tidak jatuh ke jurang dosa.
Antara Kepatuhan dan Kebebasan
Kehidupan modern sering menekankan kebebasan individu. Namun, kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt mengingatkan bahwa kebebasan sejati justru lahir dari kepatuhan. Dengan menaati aturan Allah, manusia terbebas dari dominasi hawa nafsu.
Imam al-Juwaynī menulis:
« وإذا ورد النهي اقتضى الفساد »
“Apabila suatu larangan datang, maka hal itu menunjukkan adanya keburukan (kerusakan).”
Larangan bukan sekadar bentuk pelarangan moral, tetapi indikator bahwa sesuatu membawa akibat negatif. Dalam konteks kehidupan, ini bisa diartikan bahwa setiap keputusan yang melanggar prinsip kebaikan — seperti kejujuran atau keadilan — pasti berujung pada kerusakan, baik lahir maupun batin.
Dari Teori ke Aksi: Menghidupkan Etika dalam Keseharian
Pemahaman tentang perintah dan larangan tidak berhenti di ruang kelas atau kitab kuning. Ia hidup dalam tindakan kita sehari-hari. Saat seorang pedagang menolak menipu pelanggan, ia sedang mempraktikkan larangan dari Allah. Ketika seorang murid menghormati gurunya, itu wujud menaati perintah untuk berbuat baik.
Inilah esensi ajaran Imam al-Juwaynī: hukum Islam tidak hanya mengatur ibadah, tapi juga membentuk karakter. Perintah dan larangan bukan beban hukum, tetapi latihan spiritual menuju kesempurnaan moral.
Menemukan Kehidupan yang Lebih Tertata
Di dunia yang serba kompleks, perintah dan larangan ilahi memberi arah di tengah kebingungan. Kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt mengajarkan bahwa memahami hukum bukan untuk menjadi kaku, melainkan agar kita bisa hidup lebih tertib, bermakna, dan selaras dengan fitrah manusia.
Perintah mengajarkan tindakan, larangan mengajarkan kendali — keduanya menuntun kepada hikmah hidup yang utuh.
Penutup: Disiplin Spiritual ala Imam al-Juwaynī
Imam al-Juwaynī menulis karya ini lebih dari seribu tahun lalu, namun pesannya tetap hidup: bahwa manusia tidak bisa lepas dari aturan, dan aturan tidak bermakna tanpa pemahaman. Dalam setiap amr dan nahy, terdapat pendidikan jiwa untuk lebih bijaksana, sabar, dan sadar diri.
Menaati perintah bukan sekadar menjalankan kewajiban, tetapi bentuk kasih sayang terhadap diri sendiri. Menjauhi larangan bukan sekadar takut dosa, melainkan upaya menjaga hati tetap bersih.
Al-Waraqāt mengajarkan, hidup yang tertata dalam bingkai syariat bukan hidup yang sempit — melainkan hidup yang penuh arah dan makna.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
