Surau.co. Dalam kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, terdapat pembahasan mendalam tentang konsep al-muḥkam dan al-mutashābih—dua istilah yang sering muncul ketika kita berbicara tentang tafsir dan pemahaman terhadap nash (teks wahyu). Bab ini bukan sekadar teori usul fikih, melainkan refleksi mendalam tentang bagaimana manusia mencari kepastian di tengah ambiguitas wahyu.
Kehidupan kita sehari-hari, sejatinya, tak jauh berbeda. Kita sering dihadapkan pada hal-hal yang tak sepenuhnya jelas, yang menuntut kecerdasan, kesabaran, dan kejujuran hati untuk menafsirkan maknanya. Imam al-Juwaynī menuntun kita memahami bahwa ambiguitas bukanlah kekurangan dalam teks ilahi, tetapi justru ruang bagi akal dan iman untuk berdialog.
Ketika Manusia Mencari Kepastian di Tengah Ketidakpastian
Setiap orang pernah berada dalam situasi ambigu — apakah dalam menentukan pilihan hidup, menafsirkan kata orang, atau memahami pesan ilahi yang berlapis makna. Dalam konteks keilmuan Islam, istilah al-mutashābih menggambarkan hal-hal yang maknanya tidak langsung tampak atau memiliki kemungkinan penafsiran ganda.
Imam al-Juwaynī menulis dalam Al-Waraqāt:
« والمحكم ما لا يحتمل إلا وجها واحدا، والمتشابه ما يحتمل أوجها »
“Al-Muḥkam adalah yang tidak mengandung kecuali satu makna, sedangkan al-Mutashābih adalah yang mengandung beberapa makna.”
Definisi singkat ini tampak sederhana, tetapi dampaknya luar biasa. Di sinilah letak keindahan wahyu: ia tidak menutup ruang bagi manusia untuk berpikir, merenung, dan mencari kedalaman makna.
Namun, Imam al-Juwaynī juga menegaskan bahwa al-mutashābih bukanlah sesuatu yang harus ditafsirkan serampangan. Ia memerlukan ilmu, metodologi, dan kesadaran akan batas diri.
Antara Keyakinan dan Penafsiran
Al-Qur’an sendiri mengakui keberadaan ayat-ayat yang muhkam dan mutashābih:
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ
“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu; di antaranya ada ayat-ayat yang jelas (muḥkamāt) – itulah pokok-pokok Kitab – dan yang lain (mutashābihāt).” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 7)
Ayat ini menggambarkan bahwa ambiguitas adalah bagian dari desain Ilahi. Ia menguji bukan hanya kecerdasan manusia, tetapi juga keikhlasan hatinya. Dalam Al-Waraqāt, Imam al-Juwaynī mengutip kaidah usul yang mempertegas prinsip ini:
« لا يجوز حمل المتشابه على غير ظاهره إلا بدليل »
“Tidak boleh menafsirkan ayat mutashābih di luar makna lahirnya kecuali dengan adanya dalil.”
Kalimat ini menjadi pagar etika dalam berijtihad: akal boleh menafsir, tapi harus tunduk pada dalil. Di sinilah keseimbangan indah antara rasionalitas dan ketundukan, antara tafsir dan iman.
Fenomena Sehari-hari: “Mutashābih” dalam Kehidupan Kita
Coba perhatikan percakapan sehari-hari. Kadang satu kalimat bisa bermakna ganda, tergantung niat dan konteks. “Saya baik-baik saja,” misalnya — bisa berarti sungguh baik, bisa juga menyimpan kesedihan. Demikian pula, banyak perintah dan larangan Tuhan yang tampak sederhana di permukaan, tetapi menyimpan lapisan makna mendalam yang hanya bisa dipahami lewat ilmu dan ketulusan.
Imam al-Juwaynī mengingatkan:
« من لم يعرف وجوه الخطاب، فقد جهل مواضع الاستدلال »
“Barang siapa tidak mengetahui ragam cara teks berbicara, maka ia telah kehilangan arah dalam berdalil.”
Ungkapan ini menegur kebiasaan sebagian orang yang memahami teks agama secara literal tanpa mempertimbangkan konteks, atau sebaliknya—menakwil berlebihan hingga kehilangan pijakan. Dalam pandangan Al-Waraqāt, keseimbangan ini menjadi kunci memahami agama dengan benar.
Antara Takwil dan Tunduk
Perdebatan klasik tentang mutashābihāt melahirkan dua kelompok besar: mereka yang menolak takwil sama sekali, dan mereka yang cenderung menafsirkan setiap kata dengan rasionalitas ekstrem. Imam al-Juwaynī berdiri di tengah — menerima takwil dengan syarat, bukan menolak atau membiarkannya tanpa batas.
Beliau menjelaskan:
« والظاهر ما دلّ على معنى من غير قرينة، والمؤول ما ترك ظاهره إلى معنى يحتمله لدليل »
“Zahir adalah yang menunjukkan makna tanpa penunjuk tambahan, sedangkan mu’awwal (takwilan) adalah yang ditinggalkan dari makna lahirnya menuju makna lain karena adanya dalil.”
Inilah prinsip keseimbangan yang elegan. Takwil tidak dilarang, tapi harus berlandaskan dalil dan keilmuan. Dengan kata lain, akal boleh berlayar, namun kompasnya tetap wahyu.
Belajar Bersabar dalam Ambiguitas
Setiap kali kita menghadapi ayat, hadis, atau bahkan persoalan hidup yang sulit dimengerti, mungkin kita sedang diuji untuk belajar bersabar dalam ketidakpastian. Imam al-Juwaynī, lewat Al-Waraqāt, mengajarkan bahwa memahami hukum Allah adalah perjalanan panjang antara mencari dan berserah, antara akal dan hati.
Sebagaimana dalam kehidupan: tidak semua hal bisa segera dimengerti. Tapi justru di situlah nilai pencarian itu. Kebenaran bukan hadiah yang datang tiba-tiba; ia hasil dari kejujuran menelusuri ambiguitas dengan rendah hati.
Menemukan Cahaya di Balik Kabut
Kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt mengajarkan kita bahwa al-mutashābih bukanlah kesamaran yang menyesatkan, melainkan kabut yang menyembunyikan cahaya — agar manusia mau mencari. Dalam dunia yang serba cepat ini, kita sering ingin jawaban instan, padahal kebenaran butuh perenungan.
Ambiguitas dalam teks suci mengingatkan bahwa memahami kehendak Allah bukan soal kecepatan, tapi keikhlasan. Imam al-Juwaynī mengajak kita berjalan perlahan, dengan ilmu sebagai obor dan hati sebagai kompas.
Penutup: Dari Ambiguitas Menuju Keyakinan
Bab Al-Mutashābih dalam Al-Waraqāt bukan hanya pelajaran usul fikih, tetapi juga renungan spiritual. Ia mengajarkan bahwa kepastian sering lahir dari proses berani menghadapi ketidakpastian. Seperti seorang peziarah yang terus berjalan di kabut, yakin bahwa cahaya akan muncul bagi yang mencari dengan jujur.
Maka, ketika kita menemukan ayat atau perintah yang belum sepenuhnya kita pahami, jangan tergesa menolaknya. Jadikan itu undangan untuk berpikir lebih dalam. Karena sebagaimana Imam al-Juwaynī wariskan: akal bukan untuk menolak wahyu, melainkan untuk memahami keindahan di baliknya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
