SURAU.CO-Abu Darda adalah seorang sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang berasal dari suku Khazraj. Nama aslinya adalah Uwaimir. Ayahnya bernama Amir ibn Malik dan ibunya bernama Mahabbah bint Qaqid. Ia lebih terkenal dengan panggilan Abu Darda, karena memiliki seorang putri bernama Darda.
Abu Darda termasuk orang yang belakangan masuk Islam, karena baru mengucapkan syahadat setelah Perang Badar—sebuah peristiwa penting dalam sejarah Islam. Sebelum mengenal Islam, Abu Darda terkenal sebagai orang yang angkuh dan besar kepala, laiknya para pemuka Yatsrib lain. Ia enggan menyembah Allah yang telah menciptakannya dengan sempurna. Tak seorang pun dari mereka sadar bahwa batu atau kayu yang mereka sembah itu sama sekali tidak memberi manfaat atau pun mudarat.
Kisah keislaman Abu Darda cukup unik, karena sebelumnya ia adalah seorang musyrik yang bengal. Ia masuk Islam berkat ketekunan dan kesungguhan sahabatnya, Abdullah ibn Ruwahah, yang terus mengajaknya kepada Islam dan menunjukkan kesesatan keyakinannya.
Berhala yang Hancur dan Datangnya Kesadaran
Pada suatu hari, sepulangnya dari Perang Badar, Abdullah ibn Ruwahah mengunjungi rumah sahabatnya, Abu Darda, sambil menenteng kampak. Tiba di rumah kawannya itu, Abdullah ibn Ruwahah langsung menuju salah satu sudut rumah tempat Abu Darda menyimpan patung-patung sembahannya. Tanpa ragu-ragu, Abdullah menghancurkan semua berhala itu hingga hancur berkeping-keping.
Tentu saja Abu Darda kaget bukan main melihat tingkah sahabatnya itu. Ia sama sekali tidak mengerti maksud perbuatan Ibn Ruwahah. Bahkan, sesaat ia merasa marah. Namun, setelah mengamati berhala-berhala yang kini berserakan, kesadaran mulai meliputi jiwa dan pikirannya. Ia sadar, ternyata tuhan yang selama ini ia sembah bahkan tidak dapat membela dirinya sendiri dari kehancuran. Jadi, bagaimana mungkin tuhan-tuhan itu dapat memberi manfaat dan mudarat kepada manusia? Abu Darda sadar, selama ini ia menyembah tuhan-tuhan palsu. Jiwanya mulai tersinari cahaya kebenaran.
Maka, tidak lama kemudian, setelah berbincang-bincang dengan sahabatnya, Ibn Ruwahah, ia dan Yahtsan al-Khutha berangkat untuk menyatakan keislamannya pada Rasulullah Saw. Sejak saat itulah Abu Darda menjadi Muslim yang setia.
Perdagangan Sejati
Pada suatu hari Nabi Saw. bersabda kepada para sahabatnya—termasuk Abu Darda, “Aku ingin mengabarkan kepada kalian tentang perbuatan yang paling baik menurut Tuhan kalian, yang akan meninggikan derajat kalian… yaitu mengingat Allah yang Maha Tinggi.”
Ketika Abu Darda—yang terkenal sebagai saudagar kaya raya—merugi dalam perniagaannya, ia menemukan kearifannya. Ia mulai menyadari bahwa ada satu bentuk perdagangan yang tidak akan pernah membuatnya merasa rugi, yaitu berdagang dengan Allah. Abu Darda sampai pada keyakinan bahwa ibadah kepada Allah akan mengantarkan pelakunya menuju kebahagiaan abadi dan keuntungan yang besar.
Sejak saat itu Abu Darda muncul sebagai sosok Muslim yang taat beribadah. Ia juga selalu ikut serta dalam beberapa peperangan bersama Rasulullah Saw., mulai dari Perang Uhud hingga perang-perang berikutnya. Ketika kaum Muhajirin menetap di Madinah, Rasulullah Saw. mempersaudarakan Abu Darda dengan Salman al-Farisi.
Kebijakan Abu Darda
Ayyub menceritakan dari Abu Qilabah bahwa Abu Darda melewati sekumpulan orang yang sedang mengejek orang yang berbuat dosa. Ia lantas berkata,
“Maka, tak sepatutnya kalian mengejek saudara kalian. Memujilah kepada Allah yang telah memaafkan kalian.”
Mereka menimpali, “Apakah kau tidak marah kepadanya?”
Abu Darda menjawab,
“Aku hanya membenci perbuatannya. Jika ia telah menginsafinya dan bertobat darinya, berarti ia saudaraku.” Sungguh suatu kebijakan yang patut diteladani.
Abu Darda juga pernah berujar, “Satu hal yang paling kutakutkan adalah jika pada hari kiamat nanti aku ditanya di hadapan semua makhluk: ‘Hai Uwaimir, apakah kau termasuk orang yang mengerti?’ Aku akan menjawab, ‘Ya.’ Kemudian aku kembali ditanya, ‘Bagaimana kau mengamalkan sesuatu yang kauketahui?'”
Rasulullah Saw. pernah bersabda mengenai Abu Darda,
“Uwaimir adalah seorang hakim dari umatku.”
Selain terkenal karena kearifannya, Abu Darda juga dikenal sebagai penunggang kuda yang mahir. Ketika berperang, ia tampil gagah dan tangkas menunggangi kudanya. memedulikan keselamatan dirinya, tetapi ia juga berusaha melindungi dan menerangi jiwa orang-orang di sekitarnya.
Menangis menjelang akhir hayat
Setiap saat ia mengajak keluarga dan kerabatnya untuk menaati Allah. Ia tahu bahwa satu-satunya jalan menuju keselamatan akhirat adalah tunduk dan taat kepada Allah.
Menjelang ajal menjemputnya, Abu Darda menangis. Istrinya bertanya,
“Mengapa engkau menangis, wahai sahabat Rasulullah?”
Abu Darda menjawab,
“Sungguh tidak ada alasan bagiku untuk tidak menangis. Aku tidak tahu, adakah sesuatu yang lebih besar daripada dosa-dosaku?!”
Abu Darda wafat dua tahun sebelum kematian Khalifah Utsman ibn Affan. Sebelum meninggal, ia pernah menjabat sebagai qadi di Damaskus.(St.Diyar)
Referensi:Muhammad Raji Hasan Kinas, Ensiklopedia Biografi Sahabat Nabi, 2012
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
