Khazanah
Beranda » Berita » Antara Nash dan Akal: Keseimbangan Dalil dalam Ushul Fikih

Antara Nash dan Akal: Keseimbangan Dalil dalam Ushul Fikih

Ulama membaca kitab klasik tentang keseimbangan antara nash dan akal dalam ushul fikih.
Ulama tengah menelaah kitab klasik di ruang sunyi; cahaya lembut menggambarkan harmoni antara ilmu wahyu dan daya pikir manusia.

Surau,co. Dalam kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, kita menemukan pelajaran mendalam tentang hubungan antara nash (teks wahyu) dan akal (rasio manusia). Dua unsur ini bukan musuh, melainkan mitra dalam memahami hukum Allah. Di tengah derasnya opini keagamaan masa kini—terutama di media sosial—konsep keseimbangan antara teks dan akal menjadi semakin penting.

Banyak orang merasa cukup dengan kutipan ayat tanpa memahami konteks, sementara yang lain berpegang pada logika tanpa landasan wahyu. Imam al-Juwaynī melalui Al-Waraqāt mengingatkan bahwa kebenaran dalam Islam lahir dari perjumpaan keduanya, bukan pertentangan di antaranya.

Saat Dalil Menjadi Alat Perdebatan

Kita hidup di zaman di mana dalil sering menjadi “senjata” untuk membenarkan pandangan pribadi. Di ruang publik, perdebatan agama kadang lebih mirip kontes logika daripada pencarian kebenaran. Padahal, dalam pandangan Imam al-Juwaynī, dalil seharusnya menuntun manusia kepada pemahaman yang beradab dan seimbang.

Beliau menulis dalam Al-Waraqāt:

« الدليل ما يمكن التوصل بصحيح النظر فيه إلى مطلوب خبري »
“Dalil adalah sesuatu yang dengan penalaran benar terhadapnya, dapat mengantarkan kepada pengetahuan tentang sesuatu yang diberitakan.”

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Ungkapan ini menegaskan bahwa dalil bukan sekadar teks mati, melainkan jembatan antara wahyu dan akal. Dengan akal yang jernih dan metode yang benar, nash dapat dipahami secara proporsional, bukan ekstrem.

Imam al-Juwaynī dan Logika Syariat

Imam al-Juwaynī hidup di abad ke-11, masa ketika perdebatan antara kaum tekstualis dan rasionalis sedang memuncak. Melalui kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt, ia menawarkan jalan tengah yang elegan: menggabungkan ta‘abbud (kepatuhan kepada wahyu) dengan ta‘aqqul (penggunaan akal).

Dalam kitabnya beliau menulis:

« النظر هو الفكر الذي يطلب به علم أو غلبة ظن »
“Nazar (penalaran) adalah aktivitas berpikir yang dengannya seseorang mencari ilmu atau dugaan yang kuat.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Islam tidak menolak rasionalitas. Akal diberi ruang untuk berpikir, tetapi dalam batas koridor wahyu. Artinya, akal adalah pelita, sementara wahyu adalah jalan. Tanpa pelita, jalan tak terlihat; tanpa jalan, pelita tak berguna.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Ketika Akal Dibiarkan Tanpa Tuntunan

Fenomena modern menunjukkan kecenderungan sebagian orang mengandalkan rasio tanpa dasar teks. Mereka memaknai agama sesuai logika pribadi, bahkan menolak hadis karena “tidak masuk akal”. Imam al-Juwaynī menegaskan bahaya sikap ini dalam kalimatnya yang padat makna:

« من عدل عن الأدلة الشرعية فقد ضل »
“Barang siapa berpaling dari dalil-dalil syar‘i, maka ia telah tersesat.”

Peringatan tersebut bukan bentuk anti-intelektualitas, melainkan ajakan agar akal tunduk kepada sumber wahyu. Dalam pandangan Imam al-Juwaynī, akal tanpa nash bagaikan kompas tanpa arah, mudah tersesat oleh hawa nafsu dan asumsi pribadi.

Namun sebaliknya, nash tanpa akal juga tidak hidup. Karena akal yang sehat adalah alat untuk memahami pesan Ilahi. Maka keduanya harus berjalan seimbang.

Dalil, Ijtihad, dan Kehidupan Kita

Dalam Al-Waraqāt, Imam al-Juwaynī juga membahas peran akal dalam ijtihad:

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

« والاجتهاد بذل المجهود في درك الحكم الشرعي »
“Ijtihad adalah mencurahkan segenap kemampuan untuk menemukan hukum syar‘i.”

Ijtihad bukan sekadar aktivitas akademis, tapi juga spiritual. Ia membutuhkan ketekunan berpikir dan keikhlasan hati. Di era kini, ijtihad bisa kita maknai sebagai semangat terus belajar, tidak puas hanya dengan salinan pendapat.

Setiap muslim, dalam kapasitasnya, diajak menggunakan akal untuk memahami dan menghidupkan nilai-nilai wahyu. Misalnya, ketika menghadapi dilema moral di pekerjaan, atau saat menimbang pilihan hidup, kita bisa mengambil inspirasi dari prinsip ijtihad: berpikir, menimbang, lalu memutuskan dengan hati yang tunduk kepada Allah.

Keseimbangan Itu Indah

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

﴿ أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ ﴾
“Tidakkah mereka mau mentadabburi Al-Qur’an?” (QS. Muhammad [47]: 24)

Ayat ini adalah ajakan langsung untuk menggunakan akal dalam memahami wahyu. Namun pada saat yang sama, Allah juga memperingatkan agar manusia tidak melampaui batas dalam menakwilkan firman-Nya.

Keseimbangan antara nash dan akal sejatinya adalah cermin harmoni antara ilmu dan iman. Imam al-Juwaynī tidak hanya memberi rumus keilmuan, tetapi juga pedoman spiritual: berpikir adalah ibadah jika niatnya mencari ridha Allah.

Refleksi Kehidupan: Antara Nalar dan Nurani

Bayangkan seseorang di tengah persimpangan: satu jalan disebut “logika”, satu lagi “iman”. Padahal, keduanya menuju arah yang sama jika disinari dengan ilmu. Kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt mengajarkan bahwa memahami hukum Allah bukan tentang memilih antara akal atau teks, melainkan menggabungkan keduanya agar kebenaran lebih terang.

Dalam kehidupan sehari-hari, keseimbangan ini bisa kita terapkan. Saat kita menasihati anak, memutuskan kebijakan kerja, atau menilai berita agama di internet — gunakan akal yang jernih, tapi pastikan hati tetap tunduk kepada nash.

Penutup: Pelajaran dari Al-Juwaynī untuk Zaman Kita

Imam al-Juwaynī melalui Al-Waraqāt mengajarkan bahwa agama dan akal bukan dua kutub yang bertentangan, tetapi dua cahaya yang saling melengkapi. Di era banjir informasi, ajaran ini semakin berharga.

Mari belajar dari kebijaksanaan beliau: jangan jadikan dalil sebagai alat debat, tapi sebagai pelita menuju kedamaian batin. Jangan biarkan akal berjalan tanpa arah, tapi juga jangan membiarkan teks kehilangan makna karena kita berhenti berpikir.

Kebenaran adalah pertemuan indah antara nash yang suci dan akal yang jernih.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement