Khazanah
Beranda » Berita » Siapa yang Boleh Berfatwa? Imam al-Juwaynī dan Etika Mufti dalam Al-Waraqāt

Siapa yang Boleh Berfatwa? Imam al-Juwaynī dan Etika Mufti dalam Al-Waraqāt

Ulama membaca Kitab Al-Waraqāt karya Imam al-Juwaynī di ruang perpustakaan tradisional.
Seorang ulama sedang menelaah kitab klasik di ruang sunyi; cahaya lembut menggambarkan kesungguhan, ilmu, dan tanggung jawab moral.

Surau.co. Fatwa, dalam pandangan masyarakat, sering terdengar seperti “pendapat ustadz.” Tapi menurut Kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, fatwa bukan sekadar ucapan, melainkan amanah besar yang ditopang oleh ilmu, adab, dan tanggung jawab. Di tengah era digital, ketika siapa pun bisa bicara soal hukum agama di media sosial, karya klasik ini kembali terasa relevan.

Ketika Fatwa Jadi Obrolan Sehari-hari

Kita sering menjumpai fenomena ini: di grup WhatsApp keluarga, seseorang mengutip potongan ayat dan menimpali, “Jadi ini haram.” Di warung kopi, obrolan santai berubah menjadi debat soal hukum. Dalam suasana seperti itu, batas antara nasihat dan fatwa kabur.

Imam al-Juwaynī mengingatkan kita dalam Al-Waraqāt bahwa ilmu hukum tidak lahir dari rasa atau perasaan, tetapi dari metode dan kedalaman pengetahuan. Beliau menulis:

« الأصل ما يُبنى عليه غيره، والفرع ما يُبنى على غيره »
“Akar (al-aṣl) adalah dasar bagi sesuatu yang lain, sedangkan cabang (al-far‘) adalah apa yang dibangun di atasnya.”

Dalam konteks fatwa, ucapan seseorang hanya dapat disebut sah jika berpijak pada akar ilmu—bukan sekadar kesan atau kebiasaan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Al-Waraqāt dan Jalan Menuju Ijtihad

Karya kecil ini sering disebut sebagai “pintu gerbang usul fikih.” Imam al-Juwaynī menulisnya untuk memudahkan pelajar memahami dasar hukum Islam. Di dalamnya terdapat kalimat yang menjadi fondasi setiap mufti sejati:

« وَالْفِقْهُ مَعْرِفَةُ الْحُكْمِ الشَّرْعِيِّ الَّذِي طَرِيقُهُ الاجْتِهَادُ »
“Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum syar‘i yang diperoleh melalui jalan ijtihad.”

Artinya, seseorang tidak bisa berfatwa hanya karena hafal dalil atau rajin mendengar ceramah. Ia harus memahami bagaimana hukum itu ditarik, diuji, dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Ijtihad bukan keberanian bersuara, melainkan keberanian berpikir dengan disiplin ilmu. Maka, Imam al-Juwaynī secara implisit membatasi siapa yang pantas menjadi mufti: mereka yang telah menempuh jalan panjang ilmu dan latihan logika hukum.

Etika Mufti: Antara Ilmu dan Adab

Dalam bagian lain Al-Waraqāt, Imam al-Juwaynī menulis dengan gaya yang tegas namun sarat makna:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

« مَنْ لَمْ يَخْتَصِّ لِلْحُكْمِ بِإِمْتِحَانِ النَّصِّ وَذَوَاتِه، فَكَلَامُهُ قَفْرٌ »
“Siapa yang tidak menguji teks dan objeknya sebelum menetapkan hukum, maka ucapannya hanyalah padang tandus.”

Ungkapan itu menampar siapa pun yang terlalu cepat “berfatwa” tanpa dasar. Imam al-Juwaynī menuntut para ulama menjaga dua hal: kecakapan ilmiah dan kerendahan hati.

« وَمَنْ لَمْ يُعْلِمْ حَدَّهُ فَإِنَّ تَصَرُّفَهُ فِي التَّنَبُّؤِ مَظْلِمَةٌ »
“Siapa yang tidak mengenal batas kemampuannya, maka tindakannya dalam menebak hukum adalah kezaliman.”

Kalimat ini seakan menjawab fenomena hari ini—ketika setiap orang ingin jadi “ustadz dadakan.” Imam al-Juwaynī menegaskan bahwa kesalahan dalam berfatwa bukan sekadar kesalahan logika, tapi juga kezaliman moral.

Dari Ruang Belajar ke Ruang Digital

Bayangkan Imam al-Juwaynī duduk di ruang belajar abad ke-11, dengan lampu minyak dan manuskrip di depannya. Ia menulis bukan hanya untuk para cendekia di zamannya, tapi juga untuk kita hari ini yang hidup di tengah lautan informasi.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Setiap kali seseorang mengutip ayat di media sosial untuk menjustifikasi pendapatnya, ia sebenarnya sedang “memainkan” peran mufti—meski tanpa disadari. Jika ia tidak memiliki alat ukur keilmuan, maka yang terjadi adalah kekacauan hukum di ruang digital.

Etika mufti dalam Al-Waraqāt menjadi tameng agar agama tidak dijadikan bahan debat atau alat ego. Fatwa bukan panggung. Ia adalah ibadah akal, hasil dari zikir ilmiah yang panjang dan jujur.

Belajar dari Al-Juwaynī: Diam pun Bisa Jadi Fatwa

Salah satu hikmah dari membaca Al-Waraqāt adalah memahami bahwa “tidak berfatwa” pun bisa menjadi bentuk kebijaksanaan. Dalam usul fikih, diam bisa berarti kehati-hatian, dan kehati-hatian adalah bagian dari iman.

Imam al-Juwaynī seakan berkata pada kita:

“Jangan berbicara atas nama Allah sebelum engkau yakin engkau memiliki alat untuk memahami apa yang Allah maksudkan.”

Maka, sebelum memberi “fatwa” kepada teman, keluarga, atau di media sosial, barangkali kita perlu berhenti sejenak, lalu bertanya pada hati: Apakah aku tahu batasku?

Kesimpulan: Ilmu, Adab, dan Tanggung Jawab

Kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt bukan hanya buku tentang teori hukum Islam, tetapi cermin bagi siapa pun yang ingin berbicara atas nama kebenaran. Dari Imam al-Juwaynī, kita belajar bahwa fatwa sejati lahir dari keseimbangan antara ilmu dan adab.

Di era serba cepat ini, mungkin kita tak semua bisa jadi mufti, tapi kita semua bisa belajar etika mufti: berbicara dengan ilmu, berhati dengan rendah diri, dan diam dengan hormat ketika belum tahu.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement