Khazanah
Beranda » Berita » Bahasa dan Makna: Peran Lafaz dalam Pembentukan Hukum Islam

Bahasa dan Makna: Peran Lafaz dalam Pembentukan Hukum Islam

Ulama klasik menulis kitab di bawah cahaya lampu minyak di ruang perpustakaan kuno.
Ilustrasi simbolis Imam al-Juwaynī tengah menulis dalam kesunyian malam, melambangkan kedalaman tafsir dan hikmah di balik bahasa hukum Islam.

Surau.co. Bahasa memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia bukan hanya alat komunikasi, tapi juga jendela makna yang membuka jalan menuju pemahaman hukum. Dalam Islam, bahasa adalah medium utama wahyu. Melalui rangkaian kata, Allah menurunkan hukum, petunjuk, dan nilai kehidupan. Karena itu, memahami lafaz (ungkapan) dalam teks suci menjadi fondasi penting dalam ilmu ushul fikih.

Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, dalam kitab klasiknya Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt, menegaskan bahwa setiap hukum Islam berakar pada pemahaman lafaz. Ia tidak hanya mempelajari bunyi kata, tetapi juga maknanya, konteksnya, dan dampak hukumnya. Dalam kitab tersebut, beliau menulis:

“الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع.”
“Ucapan (kalām) adalah lafaz yang tersusun dan memberi makna sesuai dengan kebiasaan bahasa.”

Definisi ini tampak sederhana, tetapi memiliki implikasi mendalam. Imam al-Juwaynī ingin menunjukkan bahwa setiap lafaz memiliki makna hukum tertentu yang lahir dari struktur dan konteks penggunaannya. Dari sinilah hukum Islam dibangun: melalui tafsir yang cermat terhadap bahasa wahyu.

Bahasa: Antara Bunyi dan Makna

Dalam kehidupan sehari-hari, kata sering kali disalahpahami karena konteksnya diabaikan. Misalnya, kalimat “tolong diam” bisa menjadi teguran lembut atau peringatan keras tergantung situasi. Begitu pula dalam hukum Islam, satu lafaz bisa mengandung makna berbeda tergantung penggunaannya dalam ayat atau hadis.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Imam al-Juwaynī menegaskan bahwa hukum Islam tidak bisa dipahami tanpa pemahaman mendalam terhadap bahasa Arab — bahasa wahyu itu sendiri. Beliau menulis:

“الأسماء تنقسم إلى عام وخاص ومشترك ومؤول.”
“Nama-nama (lafaz) terbagi menjadi umum, khusus, musytarak (ganda makna), dan mu’awwal (ta’wil).”

Klasifikasi ini adalah fondasi dalam ushul fikih. Lafaz umum dapat mencakup banyak hal (seperti “manusia”), sedangkan lafaz khusus hanya menunjuk satu entitas tertentu. Ada pula lafaz musytarak, yang memiliki lebih dari satu makna — contohnya kata ‘ain, yang bisa berarti mata, mata air, atau emas. Sementara lafaz mu’awwal menuntut penafsiran lebih dalam untuk menemukan makna hakikinya.

Melalui penguraian ini, Imam al-Juwaynī mengingatkan bahwa memahami hukum bukan sekadar membaca teks, tetapi juga menafsirkan makna di balik kata.

Fenomena Sehari-hari: Salah Paham karena Kata

Dalam kehidupan modern, sering terjadi kesalahpahaman akibat perbedaan penafsiran kata. Seseorang bisa tersinggung karena kata yang dianggap biasa oleh orang lain. Fenomena ini menunjukkan bahwa makna tidak hanya bergantung pada kata itu sendiri, tetapi juga pada niat dan konteksnya.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Demikian pula dalam teks hukum Islam. Misalnya, ketika Al-Qur’an menggunakan lafaz perintah seperti “dirikanlah shalat” atau “berpuasalah”, para ulama membahas apakah perintah itu bersifat wajib, anjuran, atau simbolik. Imam al-Juwaynī menjelaskan dalam Al-Waraqāt:

“الأمر استدعاء الفعل بالقول ممن هو دونه على سبيل الوجوب.”
“Perintah adalah permintaan untuk melakukan suatu perbuatan melalui ucapan dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah dengan cara yang menunjukkan kewajiban.”

Makna “perintah” di sini tidak hanya diambil dari bentuk kata, tapi juga dari posisi pembicara (Allah kepada hamba), nada ucapan, dan konteks hukum yang menyertainya.

Lafaz dan Logika Hukum

Bahasa dalam ushul fikih tidak sekadar simbol linguistik, melainkan alat logika hukum. Imam al-Juwaynī menunjukkan bahwa hukum dapat berubah tergantung pada jenis lafaz yang digunakan. Misalnya, lafaz larangan (an-nahy) mengandung makna hukum yang berbeda dari perintah (al-amr).

Beliau menulis:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“النهي استدعاء الترك بالقول ممن هو دونه على سبيل التحريم.”
“Larangan adalah permintaan untuk meninggalkan suatu perbuatan melalui ucapan dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah dengan maksud pengharaman.”

Dengan demikian, hukum lahir dari struktur bahasa: apakah kata itu memerintah, melarang, atau menjelaskan. Pemahaman semacam ini menuntut ketelitian tinggi — seperti seorang ahli tafsir yang membaca tidak hanya huruf, tapi juga makna di balik huruf.

Dari Kata Menuju Nilai

Di balik setiap lafaz, Imam al-Juwaynī menemukan nilai. Ia mengajarkan bahwa bahasa dalam Islam bukan sekadar instrumen hukum, tetapi juga cermin dari hikmah Ilahi. Setiap perintah dan larangan Allah membawa pesan moral yang mendalam.

Misalnya, ketika Al-Qur’an melarang mendekati zina:

﴿وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَىٰ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا﴾
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 32)

Lafaz “jangan mendekati” mengandung makna lebih luas daripada sekadar “jangan berzina.” Ia menegaskan pencegahan terhadap segala hal yang mengarah pada perbuatan itu. Imam al-Juwaynī menjelaskan bahwa makna semacam ini menunjukkan fleksibilitas bahasa Al-Qur’an — di mana satu lafaz mampu mencakup dimensi moral dan sosial sekaligus.

Bahasa, Iman, dan Kecerdasan Spiritual

Bagi Imam al-Juwaynī, mempelajari lafaz bukan hanya soal logika, tapi juga latihan iman. Setiap kata dalam Al-Qur’an mengandung hikmah yang menuntun manusia untuk berpikir dan merenung. Ia menulis:

“اللفظ إذا ورد مطلقا يحمل على إطلاقه، وإذا ورد مقيدا يقيد بما قيد به.”
“Jika suatu lafaz datang dalam bentuk mutlak, maka ia dibawa pada makna mutlaknya; jika datang dalam bentuk terbatas, maka dibatasi dengan apa yang membatasinya.”

Kalimat ini mengajarkan disiplin berpikir: jangan tergesa-gesa menafsirkan sesuatu tanpa melihat konteksnya. Prinsip ini relevan tidak hanya dalam studi hukum, tapi juga dalam percakapan sosial — di mana kehati-hatian dalam memilih dan memahami kata adalah kunci keharmonisan.

Pelajaran untuk Dunia Modern

Dalam era media sosial yang penuh kata-kata, pesan Imam al-Juwaynī terasa semakin penting. Ia mengingatkan bahwa kata bisa menjadi sumber kedamaian, tapi juga sumber kekacauan. Lafaz dalam hukum Islam bukan hanya bunyi, tetapi kebenaran yang mengatur hidup manusia.

Belajar dari Al-Waraqāt, kita memahami bahwa hukum Islam dibangun di atas bahasa yang hidup — bahasa yang menuntut kecerdasan, empati, dan ketulusan. Memahami lafaz bukan hanya urusan akademik, melainkan bagian dari ibadah intelektual untuk menghargai keindahan wahyu.

Kesimpulan

Kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imam al-Juwaynī mengajarkan bahwa lafaz adalah jantung hukum Islam. Di dalamnya, bahasa menjadi sarana memahami kehendak Tuhan dan dasar pembentukan hukum yang adil.

Melalui kajian lafaz, kita belajar bahwa hukum bukan sekadar aturan, melainkan hasil dari interaksi antara wahyu, akal, dan moralitas. Di tangan Imam al-Juwaynī, bahasa tidak berhenti pada kata, tetapi menjelma menjadi jalan menuju hikmah.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement