Khazanah
Beranda » Berita » Qiyas dan Logika Fikih: Menggali Makna Analogi dalam Kitab Al-Waraqāt

Qiyas dan Logika Fikih: Menggali Makna Analogi dalam Kitab Al-Waraqāt

Ulama klasik menulis dan berdiskusi di ruang belajar dengan kitab dan cahaya lampu minyak.
Ilustrasi simbolis Imam al-Juwaynī mengajarkan qiyas, menggambarkan harmoni antara nalar dan wahyu dalam hukum Islam.

Surau.co. Dalam perjalanan sejarah hukum Islam, qiyas (analogi) menjadi jembatan penting antara wahyu dan realitas. Ia berperan ketika tidak ditemukan nash (dalil teks) yang secara langsung menjawab persoalan hukum baru. Melalui qiyas, para ulama menuntun akal untuk berjalan seirama dengan wahyu.

Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, dalam karya monumentalnya Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt, menempatkan qiyas sebagai salah satu pilar utama ijtihad. Beliau menjelaskan bahwa logika tidak diabaikan dalam Islam, tetapi justru dipandu oleh wahyu agar tetap berada di jalan kebenaran.

Dalam kitabnya, beliau menulis:

“القياس حمل معلوم على معلوم في إثبات حكم لهما أو نفيه عنهما، لعلة تجمع بينهما.”
“Qiyas adalah menghubungkan satu perkara dengan perkara lain dalam menetapkan hukum bagi keduanya — atau meniadakannya — karena adanya sebab yang sama antara keduanya.”

Kalimat ini menjelaskan bahwa qiyas bukan sekadar perbandingan, melainkan pencarian sebab hukum yang rasional dan syar‘i.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Logika yang Menyatu dengan Nilai Ilahi

Kita sering melihat analogi dalam kehidupan sehari-hari. Seorang dokter, misalnya, menyarankan obat tertentu untuk pasien baru karena memiliki gejala yang mirip dengan pasien sebelumnya. Begitu pula dalam fikih: ketika suatu kasus baru muncul tanpa teks langsung dari Al-Qur’an atau hadis, ulama menelusuri sebab hukumnya (‘illah) lalu menghubungkannya dengan kasus serupa yang sudah ada hukumnya.

Imam al-Juwaynī menjelaskan bahwa qiyas bukan hasil spekulasi bebas, melainkan produk berpikir sistematis dalam koridor syariat. Ia menulis:

“القياس لا يكون إلا على أصل ثبت حكمه بدليل.”
“Qiyas hanya dapat dilakukan terhadap dasar (hukum asal) yang telah ditetapkan dengan dalil.”

Artinya, analogi dalam Islam harus memiliki fondasi yang sah. Ia tidak boleh berdiri di atas dugaan, tapi berakar pada nash yang kuat.

Dalam hal ini, qiyas menjadi contoh nyata bagaimana Islam memadukan antara teks dan konteks, antara akal dan wahyu. Keduanya tidak bertentangan, melainkan saling menguatkan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Menemukan Keadilan dalam Analogi

Dalam praktiknya, qiyas membantu menegakkan keadilan dalam situasi baru yang tidak disebutkan dalam dalil. Misalnya, larangan minum khamar diterapkan juga pada narkotika dan zat memabukkan lainnya karena memiliki sebab hukum yang sama, yaitu merusak akal.

Imam al-Juwaynī menulis:

“العلة وصف ظاهر منضبط يُناط به الحكم.”
“‘Illah (sebab hukum) adalah sifat yang tampak, terukur, dan dijadikan dasar bagi penetapan hukum.”

Penjelasan ini sangat penting. Ia menegaskan bahwa hukum tidak boleh dibuat karena perasaan atau tradisi, tapi harus memiliki ukuran rasional dan syar‘i. Di sinilah keindahan hukum Islam: ia tetap relevan di setiap zaman karena memiliki prinsip logis yang bisa diterapkan dalam berbagai konteks.

Allah Swt. berfirman:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
“Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Ḥasyr [59]: 2)

Ayat ini sering dijadikan landasan prinsip qiyas, karena perintah untuk ‘itibar (mengambil pelajaran) berarti menggunakan akal untuk melihat kesamaan antara satu peristiwa dengan yang lain.

Qiyas dalam Fenomena Kehidupan Modern

Kehidupan manusia terus berkembang — muncul teknologi baru, sistem ekonomi baru, bahkan budaya baru. Namun, prinsip hukum Islam tetap kokoh karena memiliki mekanisme qiyas untuk menghadapi perubahan.

Contohnya, dalam persoalan keuangan digital, ulama menggunakan qiyas untuk menentukan keabsahan transaksi elektronik. Mereka menimbang kesamaan sebab hukum antara jual beli tradisional dan digital — keduanya sama-sama memiliki unsur ridha, akad, dan nilai tukar yang jelas.

Qiyas, dengan demikian, bukan sekadar teori hukum klasik, tapi alat berpikir yang sangat kontekstual. Imam al-Juwaynī menulis:

“الاجتهاد إنما يكون باستنباط العلة وربط الحكم بها.”
“Ijtihad dilakukan dengan menyingkap sebab hukum dan mengaitkan hukum itu dengannya.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa qiyas adalah jantung ijtihad. Tanpanya, hukum Islam akan berhenti pada masa lalu, tidak mampu menjawab tantangan zaman.

Ketika Akal Menjadi Alat Ibadah

Imam al-Juwaynī tidak hanya memandang qiyas sebagai instrumen hukum, tetapi juga sebagai bentuk ibadah intelektual. Bagi beliau, menggunakan akal untuk memahami syariat adalah bagian dari ketaatan kepada Allah.

Qiyas mengajarkan kita untuk berpikir jernih, adil, dan hati-hati sebelum menetapkan hukum. Ia mendidik manusia agar tidak tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan, tetapi menelusuri sebab, menimbang dalil, dan melihat akibatnya.

Dalam hal ini, qiyas sejalan dengan pesan Al-Qur’an:

﴿إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ﴾
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rūm [30]: 21)

Ayat ini menegaskan bahwa berpikir dalam Islam bukan hanya kegiatan intelektual, melainkan ibadah yang mendekatkan manusia kepada Tuhan.

Kebijaksanaan Imam al-Juwaynī dalam Menjaga Akal dan Syariat

Imam al-Juwaynī dikenal sebagai ulama yang menyeimbangkan nalar dan iman. Dalam Al-Waraqāt, ia mengingatkan agar qiyas tidak disalahgunakan untuk mengubah makna nash. Akal harus tunduk kepada wahyu, bukan sebaliknya.

Ia menulis:

“ولا يصح القياس في مقابلة النص.”
“Qiyas tidak sah bila bertentangan dengan nash.”

Kalimat ini menjadi batas emas dalam hukum Islam. Akal boleh bekerja, tapi tidak boleh melampaui wahyu. Dengan demikian, hukum Islam tetap rasional namun tidak kehilangan kesuciannya.

Dalam kehidupan modern yang serba rasional, pesan ini terasa relevan. Manusia boleh berpikir bebas, tapi kebebasan itu harus disertai kesadaran moral dan spiritual. Qiyas, dalam makna terdalamnya, adalah jalan tengah antara kebebasan berpikir dan kepatuhan kepada Tuhan.

Kesimpulan

Qiyas dalam pandangan Imam al-Juwaynī bukan sekadar metode hukum, melainkan simbol keseimbangan antara wahyu dan akal. Melalui qiyas, Islam menunjukkan bahwa ia bukan agama yang kaku, tetapi dinamis dan penuh hikmah.

Dalam Al-Waraqāt, Imam al-Juwaynī mengajarkan bahwa berpikir adalah ibadah, dan analogi adalah cara manusia memahami kebijaksanaan Tuhan di balik setiap hukum. Dari sini kita belajar, bahwa hukum Islam tidak pernah tertinggal oleh zaman — sebab ia dibangun di atas nalar yang tercerahkan oleh wahyu.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement