Khazanah
Beranda » Berita » Ijma‘ sebagai Sumber Hukum: Kekuatan Konsensus Menurut Al-Waraqāt

Ijma‘ sebagai Sumber Hukum: Kekuatan Konsensus Menurut Al-Waraqāt

Ulama klasik berdiskusi dalam majelis ilmu dengan cahaya lampu minyak di ruang perpustakaan kuno.
Lukisan yang menggambarkan suasana ulama berdiskusi di ruang klasik, melambangkan semangat ijma‘ dan harmoni keilmuan dalam hukum Islam.

Surau.co. Dalam kehidupan modern, kita sering mendengar istilah musyawarah atau konsensus sebagai cara mencari keputusan terbaik. Dalam Islam, prinsip serupa dikenal dalam ilmu ushul fikih dengan istilah ijma‘, yaitu kesepakatan para ulama setelah wafatnya Nabi ﷺ atas suatu hukum syar‘i.

Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, dalam kitab klasiknya Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt, menempatkan ijma‘sebagai salah satu sumber hukum Islam yang paling otoritatif setelah Al-Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, ijma‘ bukan sekadar hasil perdebatan akademik, melainkan wujud kesatuan pandangan umat yang berakar pada ilmu dan takwa.

Dalam kitab Al-Waraqāt, beliau menulis dengan tegas:

“وَالإِجْمَاعُ هُوَ اتِّفَاقُ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ عَلَى أَمْرٍ مِنْ أُمُورِ الدِّينِ.”
Ijma‘ adalah kesepakatan umat Muhammad ﷺ atas suatu perkara dari urusan agama.”

Definisi singkat ini sarat makna. Ia menegaskan bahwa kebenaran dalam Islam tidak hanya bersandar pada teks wahyu, tetapi juga pada kebersamaan para ahli yang memahami dan mengamalkannya secara sadar dan bertanggung jawab.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Konsensus sebagai Cermin Kematangan Ilmu dan Iman

Fenomena konsensus dalam kehidupan sosial menunjukkan kematangan berpikir dan kebijaksanaan. Semakin banyak orang bijak yang bersepakat atas satu kebenaran, semakin kuat pula legitimasi keputusan itu. Dalam konteks hukum Islam, ijma‘ berfungsi menjaga stabilitas, agar hukum tidak berubah-ubah karena hawa nafsu atau tekanan politik.

Imam al-Juwaynī menjelaskan dalam Al-Waraqāt:

“وَهُوَ حُجَّةٌ لَا يُجُوزُ مُخَالَفَتُهَا.”
Ijma‘ merupakan hujjah (dalil) yang tidak boleh diselisihi.”

Dengan kata lain, ijma‘ memiliki otoritas mengikat yang memastikan keharmonisan hukum. Jika seluruh ulama di suatu masa sepakat atas satu hukum, maka tidak ada seorang pun yang berhak menentangnya tanpa dalil yang lebih kuat. Karena itu, prinsip ini menjaga agama dari perpecahan tafsir dan penyimpangan ajaran.

Selain itu, dalam konteks sosial modern, ijma‘ bisa dimaknai sebagai usaha mencari kesepakatan berbasis ilmu, bukan sekadar hasil mayoritas suara. Inilah keindahan Islam — keseimbangan antara kebebasan berpikir dan tanggung jawab terhadap kebenaran wahyu.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Kekuatan Spiritual di Balik Sebuah Kesepakatan

Ijma‘ tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga spiritual. Dalam Islam, kesepakatan para ulama bukan hasil voting mekanis, melainkan buah dari istikharah ilmu dan ketundukan hati kepada Allah. Setiap mufassir, mufti, dan faqih meneliti dalil, menimbang hikmah, lalu mencapai mufakat dalam bimbingan wahyu.

Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt.:

﴿وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا﴾
“Barang siapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalan orang-orang beriman, Kami biarkan ia dalam kesesatan yang dipilihnya dan Kami masukkan ia ke dalam neraka. Itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisā’ [4]: 115)

Imam al-Juwaynī menafsirkan ayat ini sebagai dalil kuat yang meneguhkan validitas ijma‘. Frasa “sabīl al-mu’minīn” (jalan orang-orang beriman) menunjukkan bahwa kesepakatan umat memiliki legitimasi teologis. Karena itu, menentang ijma‘ berarti menolak jalan kebenaran yang telah ditempuh oleh generasi terbaik umat ini.

Dari Perbedaan Menuju Kesepahaman

Lebih jauh lagi, Imam al-Juwaynī menjelaskan bahwa ijma‘ justru lahir dari perbedaan. Dalam Al-Waraqāt beliau menulis:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“وَيَتَأَتَّى الإِجْمَاعُ فِي الْمَسَائِلِ الِاجْتِهَادِيَّةِ بَعْدَ تَأَمُّلِ الْأَدِلَّةِ.”
Ijma‘ dapat terjadi dalam perkara-perkara ijtihādiyah setelah adanya penelitian dan pertimbangan terhadap dalil-dalil.”

Dengan demikian, ijma‘ bukan hasil keseragaman buta, melainkan buah dari proses panjang: diskusi, penelitian, dan introspeksi ilmiah. Setiap perbedaan menjadi batu pijakan menuju kesepahaman yang lebih kokoh.

Dalam kehidupan nyata, pola ini mencerminkan cara Islam memandang dinamika perbedaan: bukan ancaman, tetapi peluang untuk menyempurnakan pemikiran. Ketika banyak pikiran jernih bersatu, hasilnya tidak hanya benar secara logis, tetapi juga bijak secara moral.

Ijma‘ dalam Kehidupan Sosial dan Moral

Dalam masyarakat modern, nilai ijma‘ tampak dalam semangat gotong royong dan kolaborasi. Keputusan bersama yang diambil dengan niat tulus dan dasar ilmu menghasilkan ketenangan batin serta keadilan sosial.

Lebih dari itu, ijma‘ mengajarkan bahwa kebenaran bukan milik satu individu. Dalam bidang hukum, ia mencegah munculnya absolutisme. Dalam kehidupan sosial, ia menumbuhkan empati dan saling menghormati. Sedangkan dalam spiritualitas, ia mengingatkan bahwa keberkahan Allah turun kepada mereka yang bersatu di jalan kebaikan.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ، وَيَدُ اللَّهِ مَعَ الْجَمَاعَةِ.”
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku dalam kesesatan. Tangan Allah bersama jamaah (kebersamaan).” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menegaskan, bahwa di balik kesepakatan yang tulus selalu ada keberkahan Ilahi. Karena itu, umat Islam diajak memelihara kebersamaan dalam ilmu dan amal.

Relevansi Ijma‘ di Era Modern

Meskipun konsep ijma‘ lahir pada abad klasik, semangatnya tetap relevan hingga kini. Dunia modern dipenuhi beragam tafsir dan opini, namun Islam mengajarkan cara mengelola perbedaan dengan ilmu, bukan emosi. Ketika perbedaan diarahkan menuju ijma‘, maka umat akan tetap kokoh, damai, dan beradab.

Imam al-Juwaynī menegaskan:

“وَبِالإِجْمَاعِ يَسْتَقِرُّ الدِّينُ وَتَتَّحِدُ الْكَلِمَةُ.”
“Dengan ijma‘, agama menjadi teguh dan kalimat umat menjadi satu.”

Pernyataan ini menunjukkan bahwa ijma‘ bukan hanya teori hukum, tetapi fondasi persatuan umat. Dalam dunia yang mudah terpecah oleh opini, pesan ini terasa sangat penting. Ijma‘ mengingatkan bahwa kebenaran tidak perlu diperebutkan dengan ego, melainkan dicari bersama melalui dialog yang beradab.

Kesimpulan

Konsep ijma‘ menurut Imam al-Juwaynī bukan hanya teori hukum, tetapi cerminan filosofi kehidupan Islam yang menyatukan ilmu, iman, dan kebijaksanaan. Ia menegaskan bahwa kekuatan umat lahir dari kesatuan hati dan akal.

Karena itu, di tengah zaman yang riuh dengan perbedaan pendapat, semangat ijma‘ mengajarkan kita untuk tidak sekadar mencari kemenangan argumen, melainkan mencari kebenaran bersama. Melalui Al-Waraqāt, Imam al-Juwaynī mengingatkan bahwa kesepakatan bukan tanda kelemahan berpikir, melainkan bukti kedewasaan rohani.

Pada akhirnya, hukum tanpa kebersamaan hanyalah kerangka tanpa ruh. Namun, hukum yang ditegakkan dengan ijma‘akan hidup, mengikat hati, dan membawa umat menuju kedamaian yang sejati.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement