Surau.co. Dalam kehidupan sehari-hari, kata “perintah” sering terdengar biasa. Orang tua memerintahkan anak, guru mengarahkan murid, pemimpin memberi instruksi kepada bawahan. Namun, jika dilihat dari kacamata syariat, makna perintah dalam ushul fikih ini memiliki makna yang jauh lebih dalam dan bernuansa spiritual.
Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī, seorang ulama besar abad ke-11 M, menjelaskan dengan sangat jernih makna tersebut dalam karya monumentalnya, Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt. Kitab kecil ini bukan sekadar panduan teori hukum Islam. Lebih dari itu, ia menuntun pembaca memahami bagaimana satu kata — seperti “perintah” — dapat melahirkan beragam konsekuensi hukum.
Dalam tradisi Islam, perintah bukan hanya bentuk komunikasi vertikal antara Tuhan dan hamba-Nya. Ia juga merupakan wujud kasih sayang dan bimbingan. Imam al-Juwaynī menulis:
“الأمر استدعاء الفعل بالقول ممن هو دونه على سبيل الوجوب.”
“Perintah adalah permintaan untuk melakukan suatu perbuatan melalui ucapan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah dengan cara yang menunjukkan kewajiban.”
Definisi ini menjadi dasar utama dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis yang memuat bentuk amr (perintah).
Bahasa yang Menentukan Hukum
Bahasa memainkan peran sentral dalam ushul fikih. Imam al-Juwaynī menegaskan bahwa hukum Islam tidak dapat dipisahkan dari struktur kalimat Arab yang membentuknya. Dalam Al-Waraqāt, beliau menulis bahwa memahami hukum berarti memahami jenis ucapan (al-kalām).
“الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع.”
“Ucapan (kalām) adalah lafaz yang tersusun dan memberi makna sesuai kebiasaan bahasa.”
Dengan demikian, perintah hanya dapat dimengerti jika strukturnya dipahami secara tepat. Sebagai contoh, ayat:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 78)
Secara linguistik, bentuk kata kerja imperatif (amr) “dirikanlah” menandakan kewajiban. Meskipun begitu, tidak semua bentuk perintah dalam Al-Qur’an bermakna wajib. Ada yang menunjukkan anjuran, izin, atau bahkan ujian.
Antara Wajib, Anjuran, dan Ujian
Imam al-Juwaynī dengan jernih menjelaskan bahwa makna perintah bisa berubah sesuai konteks. Ia menulis:
“والأمر يقتضي الوجوب على الفور ما لم يصرفه صارف.”
“Perintah pada asalnya menunjukkan kewajiban yang harus segera dilakukan, kecuali jika ada dalil yang memalingkannya.”
Artinya, hukum asal perintah memang wajib. Akan tetapi, makna itu bisa bergeser menjadi sunnah, mubah, atau bahkan sekadar ujian, tergantung dalil yang menyertainya.
Sebagai contoh, perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya (QS. As-Shaffāt [37]: 102) bukanlah perintah yang dimaksudkan untuk dilaksanakan secara literal. Sebaliknya, itu merupakan ujian ketundukan dan keikhlasan.
Dengan kata lain, bentuk perintah dapat berfungsi sebagai instrumen ujian iman, bukan sekadar kewajiban hukum.
Dalam kehidupan modern, hal ini memberikan pelajaran berharga. Tidak setiap perintah — bahkan di dunia sosial — perlu diikuti secara kaku. Pemahaman kontekstual, empati, serta kebijaksanaan menjadi kunci agar makna “harus” tidak berubah menjadi tekanan, tetapi menjadi tuntunan.
Kedalaman Logika dan Kasih dalam Perintah Ilahi
Ketika menulis tentang amr, Imam al-Juwaynī tidak hanya berbicara tentang hukum, tetapi juga tentang relasi spiritual antara Tuhan dan manusia. Ia mengungkap bahwa setiap perintah Ilahi sesungguhnya mengandung kasih, bukan sekadar beban.
Perintah shalat, zakat, dan puasa, misalnya, tidak dimaksudkan untuk membatasi manusia. Sebaliknya, semua itu bertujuan melatih kesadaran dan keutuhan jiwa. Karena itu, amr menjadi bentuk perhatian Tuhan agar manusia tidak tersesat dalam kenikmatan dunia yang fana.
Allah Swt. berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Ayat tersebut menegaskan bahwa di balik setiap perintah terdapat tujuan moral: ketakwaan. Jadi, perintah bukan semata bentuk ketaatan formal, tetapi jalan menuju kedewasaan spiritual.
Perintah dalam Perspektif Kehidupan
Dalam kehidupan sosial, makna amr juga tampak jelas. Seorang guru meminta murid belajar, dokter menasihati pasien beristirahat, atau orang tua menasihati anak untuk jujur — semua merupakan bentuk perintah yang lahir dari kasih dan tanggung jawab.
Imam al-Juwaynī menegaskan bahwa perintah yang benar selalu disertai hikmah dan niat yang baik. Ia bukan paksaan, melainkan jalan menuju keteraturan dan keseimbangan hidup. Demikian pula perintah Allah; di baliknya selalu tersimpan rahmat dan kemaslahatan.
Beliau menulis:
“الأمر لا يكون إلا ممن هو أعلى إلى من هو أدنى، لأن طلب الفعل من المساوي التماس ومن الأدنى سؤال.”
“Perintah hanya datang dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, karena permintaan dari yang sejajar disebut permohonan, dan dari yang lebih rendah disebut permintaan.”
Kalimat ini mengandung adab yang mendalam. Ia menegaskan bahwa hubungan antara manusia dan Tuhannya, serta antar sesama manusia, harus dibangun di atas rasa hormat dan cinta, bukan kesombongan atau paksaan.
Menemukan Spirit Kebijaksanaan dalam Amr
Pemikiran Imam al-Juwaynī mengajarkan keseimbangan antara ketundukan dan kebebasan berpikir. Ia menolak anggapan bahwa ketaatan meniadakan nalar. Sebaliknya, berpikir secara mendalam justru memperkokoh dasar ketaatan.
Dalam dunia yang semakin bebas dan serba instan, pesan Imam al-Juwaynī terasa sangat relevan. Ia mengajak manusia menafsirkan setiap perintah — baik dari Tuhan maupun dari sesama — bukan sebagai beban, melainkan sebagai peluang untuk tumbuh dalam disiplin, tanggung jawab, dan kasih.
Kesimpulan
Konsep amr dalam Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt bukan hanya sekadar teori hukum. Ia merupakan pelajaran moral dan spiritual yang menegaskan bahwa setiap perintah membawa hikmah, sedangkan setiap larangan menyimpan perlindungan.
Melalui pemikiran Imam al-Juwaynī, kita belajar bahwa ketaatan sejati tidak pernah mematikan akal sehat. Sebaliknya, ia menumbuhkan kepekaan jiwa. Maka, setiap “lakukanlah” dari Tuhan sejatinya adalah ajakan lembut untuk menjadi manusia yang lebih utuh — berpikir dengan cerdas, berbuat dengan tulus, dan hidup dengan penuh makna.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
