Khazanah
Beranda » Berita » Dari Kalimat ke Hukum: Memahami Jenis Ucapan dalam Perspektif Al-Waraqāt

Dari Kalimat ke Hukum: Memahami Jenis Ucapan dalam Perspektif Al-Waraqāt

Ulama klasik menulis kitab di bawah cahaya lampu minyak dengan latar perpustakaan kuno.
Ilustrasi ulama menulis dengan tenang, melambangkan kehati-hatian dalam kata dan kedalaman berpikir hukum.

Surau.co. Jenis ucapan dalam hukum islam – Dalam Islam, hukum tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari ayat dan hadis yang tersusun melalui bahasa. Karena itu, memahami hukum berarti menelusuri bahasa yang melahirkannya. Dalam khazanah keilmuan Islam, Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt karya Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī menjadi pedoman penting bagi siapa pun yang ingin memahami hubungan antara kalimat dan hukum.

Kitab klasik ini menegaskan bahwa setiap kata memiliki bobot, dan di balik setiap struktur kalimat tersembunyi isyarat hukum. Al-Juwaynī, ulama abad ke-11 M yang dikenal karena kejernihan logikanya, menulis Al-Waraqāt sebagai peta agar pelajar hukum Islam tidak tersesat di lautan makna teks.

Sejak awal, beliau menekankan pentingnya memahami jenis-jenis ucapan (al-kalām), karena dari sanalah hukum Islam berpijak. Dalam kitabnya, ia menulis:

“الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع.”
“Kalām (ucapan) adalah lafaz yang tersusun dan memberikan makna sesuai dengan kebiasaan bahasa.”

Kutipan ini tampak sederhana, namun di baliknya tersimpan pesan mendalam: tidak semua ucapan bernilai hukum. Hanya kalimat yang lengkap makna dan tersusun dengan benar yang dapat menjadi dasar penetapan hukum syariat.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Ketika Kata Menjadi Kunci Makna

Fenomena sehari-hari menunjukkan betapa besar kekuatan bahasa. Satu kata bisa menenangkan hati, tetapi juga bisa menimbulkan perpecahan. Dalam konteks hukum Islam, kata menjadi alat utama yang menentukan halal dan haram, wajib dan sunnah.

Imam al-Juwaynī menegaskan bahwa hukum syariat tidak mungkin dipahami tanpa penguasaan bahasa yang tepat. Dalam Al-Waraqāt, beliau membagi kalimat menjadi dua bentuk utama: khabar (berita) dan inshā’ (pembentukan atau perintah).

“الكلام ينقسم إلى خبر وإنشاء.”
“Ucapan terbagi menjadi dua: berita dan pembentukan.”

Ucapan berita adalah kalimat yang bisa dinilai benar atau salah, seperti “Allah Maha Mengetahui.” Sebaliknya, ucapan pembentukan adalah kalimat yang menciptakan tindakan hukum, seperti perintah, larangan, atau syarat.

Dengan demikian, pemahaman linguistik memegang peranan sentral. Sebuah ayat bisa bermakna wajib atau sunnah tergantung pada struktur kalimat dan bentuk katanya. Misalnya, perintah “dirikanlah shalat” menunjukkan kewajiban, sedangkan “makanlah dari rezeki yang halal” menunjukkan anjuran.

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Perintah dan Larangan dalam Kacamata Bahasa

Lebih jauh, Imam al-Juwaynī menjelaskan makna kalimat dengan membedah bentuk perintah (al-amr) dan larangan (an-nahy) — dua poros utama yang membentuk struktur hukum Islam. Ia menulis:

“الأمر استدعاء الفعل بالقول ممن هو دونه على سبيل الوجوب.”
“Perintah adalah permintaan untuk melakukan suatu perbuatan melalui ucapan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah dengan cara yang menunjukkan kewajiban.”

Penjelasan ini menegaskan bahwa perintah dalam syariat tidak sekadar ajakan, melainkan tuntunan hukum yang wajib dijalankan.

Sebaliknya, beliau juga menulis:

“النهي استدعاء الترك بالقول ممن هو دونه على سبيل التحريم.”
“Larangan adalah permintaan untuk meninggalkan suatu perbuatan melalui ucapan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah dengan maksud pengharaman.”

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kedua bentuk kalimat ini menjadi fondasi utama hukum Islam. Melalui keduanya, manusia dapat memahami kehendak Ilahi — apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari.

Bahasa: Jembatan antara Wahyu dan Akal

Menurut Imam al-Juwaynī, bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi jembatan antara wahyu dan akal manusia. Al-Qur’an dan hadis disusun dengan struktur bahasa Arab yang sangat presisi. Oleh karena itu, memahami hukum berarti memahami cara kerja bahasa tersebut.

Namun, di zaman modern, banyak orang menafsirkan ayat atau hadis tanpa memahami konteks bahasanya. Akibatnya, tafsir sering melenceng dan menimbulkan perdebatan. Imam al-Juwaynī sudah mengingatkan hal ini berabad-abad lalu. Ia menasihati setiap pencari ilmu agar meneliti keindahan dan ketelitian bahasa Arab sebelum menafsirkan hukum.

Sebagaimana firman Allah Swt.:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf [12]: 2)

Ayat ini menegaskan bahwa bahasa Arab bukan hanya medium, tetapi bagian dari pesan wahyu itu sendiri.

Relevansi Pemikiran Al-Waraqāt di Masa Kini

Di tengah derasnya arus komunikasi digital, kata-kata sering kehilangan makna. Ajaran Imam al-Juwaynī kini terasa semakin relevan. Beliau menekankan agar setiap orang berhati-hati saat berbicara maupun menulis. Sebab, setiap kata membawa tanggung jawab.

Dalam hukum Islam, satu kata dapat menentukan halal atau haram. Dalam kehidupan sosial, satu kalimat mampu mengubah arah hubungan, reputasi, bahkan masa depan seseorang. Karena itu, Al-Waraqāt mengajarkan pentingnya menimbang makna sebelum berbicara — sebuah etika intelektual yang tidak lekang oleh waktu.

Bagi Imam al-Juwaynī, penuntut ilmu harus berbicara dengan makna, bukan sekadar dengan suara. Ia menulis untuk menanamkan kesadaran bahwa setiap kalimat yang keluar dari lisan mencerminkan isi hati dan kejernihan akal.

Kata yang Menjadi Amal

Akhirnya, pelajaran dari Al-Waraqāt tidak hanya berlaku bagi ahli hukum, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin hidup dengan kesadaran penuh atas makna ucapan. Jika digunakan dengan benar, bahasa menjadi amal. Namun jika disalahgunakan, ia berubah menjadi beban moral.

Imam al-Juwaynī mengajarkan untuk membaca dengan teliti, berpikir dengan hati, lalu berbicara dengan ilmu. Sebab, dalam Islam, kalimat bukan sekadar bunyi — melainkan jembatan antara manusia dan Tuhannya.

Kesimpulan

Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt menegaskan bahwa memahami hukum berarti memahami bahasa. Dari kalimat yang benar lahir pemahaman hukum yang lurus. Imam al-Juwaynī mengingatkan bahwa setiap kata adalah amanah, dan setiap jenis ucapan dalam hukum islam memiliki konsekuensi.

Di tengah dunia yang bising oleh opini dan retorika, pesan Al-Waraqāt terasa menyejukkan: berbicaralah dengan ilmu, pahami sebelum menilai, dan muliakan kata sebagaimana kita memuliakan kebenaran.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement