Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Akal dan Wahyu Berjumpa dalam Satu Ilmu

Ketika Akal dan Wahyu Berjumpa dalam Satu Ilmu

Ilustrasi ulama klasik menulis kitab di bawah cahaya lampu minyak di ruang perpustakaan kuno.
Ilustrasi simbolis Imam al-Juwaynī menulis di perpustakaan klasik, menggambarkan kedalaman dan ketenangan ilmu.

Surau.co. Setiap hukum yang lahir dari Islam bukan hasil tebakan, tetapi buah dari ketelitian berpikir dan ketundukan hati. Ilmu ushul fikih hadir sebagai jembatan antara teks wahyu dan realitas kehidupan. Salah satu karya klasik yang menjadi pondasinya adalah Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt, ditulis oleh Imām al-Ḥaramayn Abū al-Ma‘ālī al-Juwaynī — seorang ulama besar yang membuka jalan bagi generasi setelahnya, termasuk al-Ghazālī.

Kitab ini tidak panjang, tetapi kedalamannya luar biasa. Ia seperti peta kecil yang mampu menuntun pencari ilmu menuju samudra hukum Islam. Banyak lembaga pendidikan Islam menjadikannya kitab wajib bagi pelajar awal, karena di dalamnya terdapat kunci memahami logika syariah: bagaimana perintah dipahami, larangan diterapkan, dan makna teks dijabarkan secara hati-hati.

Imam al-Juwaynī menulis dengan gaya padat, tapi setiap kalimatnya terasa seperti batu bata yang menyusun bangunan pemikiran hukum Islam. Ia membuka dengan definisi yang menjadi fondasi utama:

قال الإمام الجويني: “الفقه معرفة الأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلتها التفصيلية.”
“Fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar‘i yang bersifat praktis, yang diperoleh dari dalil-dalilnya secara rinci.”

Definisi ini mengajarkan bahwa hukum Islam tidak lahir dari perasaan atau kebiasaan, tetapi dari dalil dan metode berpikir yang sistematis.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Kitab yang Menghidupkan Rasionalitas dalam Beragama

Dalam kehidupan modern, banyak orang memahami agama hanya dari sisi emosional. Padahal, Islam mengajarkan keseimbangan antara akal dan hati. Al-Waraqāt hadir untuk menata cara berpikir itu.

Imam al-Juwaynī menjelaskan bahwa dalam memahami hukum, seseorang harus mampu menafsirkan ucapan (kalām) dengan benar. Ia menulis:

“الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع.”
“Kalām (ucapan) adalah lafaz yang tersusun dan memberi makna sesuai kebiasaan bahasa.”

Satu kalimat ini menegaskan pentingnya bahasa Arab dalam hukum Islam. Kesalahan memahami kata bisa berakibat pada kesalahan memahami hukum. Oleh karena itu, memahami ushul fikih bukan hanya belajar tentang hukum, tetapi juga belajar bagaimana berpikir dengan cermat.

Kita hidup di era media sosial, di mana satu kalimat bisa ditafsirkan ribuan cara. Kitab ini mengingatkan agar tidak terburu-buru menarik kesimpulan. Hukum, seperti halnya kehidupan, membutuhkan konteks, niat, dan pemahaman menyeluruh.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Antara Perintah dan Larangan: Seni Memahami Teks Ilahi

Bab tentang perintah (al-amr) dan larangan (an-nahy) menjadi bagian paling sering dipelajari dari Al-Waraqāt. Dalam pandangan Imam al-Juwaynī, perintah bukan sekadar ajakan, tapi bentuk kasih sayang Tuhan agar manusia mencapai kebaikan.

“الأمر استدعاء الفعل بالقول ممن هو دونه على سبيل الوجوب.”
“Perintah adalah permintaan melakukan suatu perbuatan melalui ucapan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah dengan cara yang menunjukkan kewajiban.”

Sebaliknya, larangan bukan bentuk pengekangan, melainkan perlindungan. Ia menulis:

“النهي استدعاء الترك بالقول ممن هو دونه على سبيل التحريم.”
“Larangan adalah permintaan untuk meninggalkan suatu perbuatan, melalui ucapan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, dengan maksud pengharaman.”

Makna ini sederhana tapi revolusioner. Tuhan tidak memerintah untuk membebani, dan tidak melarang untuk menyulitkan. Setiap perintah dan larangan selalu menyimpan rahmat dan keadilan.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Fenomena ini terlihat dalam kehidupan modern: ketika aturan dibuat, orang sering melihatnya sebagai batasan, padahal ia diciptakan untuk melindungi. Seperti rambu lalu lintas yang mencegah kecelakaan, larangan Tuhan mencegah kerusakan yang lebih besar.

Bahasa dan Akal: Dua Sayap Menuju Pemahaman

Salah satu kekuatan Al-Waraqāt adalah kemampuannya menjelaskan bagaimana teks bekerja bersama akal. Imam al-Juwaynī mengajarkan bahwa hukum tidak bisa berdiri hanya dengan literalitas. Diperlukan pemahaman terhadap maksud di balik kata, bukan sekadar bunyi kata itu sendiri.

“العموم ما تناول شيئين فصاعدا من غير حصر.”
“Kata umum adalah yang mencakup dua hal atau lebih tanpa pembatasan.”

Dari definisi ini, lahirlah diskusi panjang di kalangan ulama tentang batas makna umum dan khusus. Pemahaman seperti ini membuat umat Islam belajar menghargai perbedaan pendapat. Sebab, setiap perbedaan sering kali lahir dari cara memahami teks dan konteks.

Dalam kehidupan nyata, perbedaan sering membuat jarak. Namun, kitab ini justru menegaskan bahwa perbedaan bisa menjadi ruang tumbuhnya hikmah — selama berlandaskan ilmu dan adab.

Relevansi Al-Waraqāt di Zaman Digital

Meski ditulis hampir seribu tahun lalu, ajaran dalam Al-Waraqāt masih terasa segar. Di tengah kebisingan opini dan derasnya arus informasi, ia mengingatkan kita untuk menimbang setiap kata dan makna.

Imam al-Juwaynī menulis dengan visi yang melampaui zamannya. Ia tahu bahwa tanpa ilmu, manusia akan mudah tergelincir dalam tafsir keliru. Karena itu, Al-Waraqāt bukan hanya kitab hukum, tapi juga pelajaran moral bagi siapa pun yang mencari kebenaran dengan pikiran terbuka.

Sebagaimana firman Allah Swt.:

﴿قَدْ جَاءَكُم بَصَائِرُ مِن رَّبِّكُمْ فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ﴾
“Telah datang kepadamu keterangan-keterangan yang nyata dari Tuhanmu; maka siapa yang melihatnya, itu untuk kebaikan dirinya.” (QS. Al-An‘ām [6]: 104)

Ayat ini mencerminkan semangat ilmu yang dibawa Al-Waraqāt — ilmu yang menuntun manusia untuk melihat dengan akal dan hati sekaligus.

Warisan Keilmuan yang Tak Lekang Waktu

Imam al-Juwaynī meninggalkan warisan yang tak terhitung nilainya. Ia dikenal sebagai “Imam al-Haramayn” bukan semata karena kedudukannya di dua tanah suci, tetapi karena keluasan pandangan dan kejernihan pikirannya.

Dari kitab ini lahir tradisi berpikir hukum yang rasional namun tetap tunduk pada wahyu. Ia mendidik murid-muridnya untuk berpikir sebelum berfatwa, memahami sebelum menilai, dan menimbang sebelum memutuskan.

Kini, ketika banyak orang lebih cepat berdebat daripada memahami, Al-Waraqāt hadir sebagai cermin: bahwa berpikir adalah bagian dari ibadah, dan mencari kebenaran adalah bentuk cinta kepada Tuhan.

Kesimpulan

Kitab Uṣūl al-Fiqh al-Waraqāt adalah jantung dari metode berpikir Islam. Ia mengajarkan bagaimana akal menafsirkan wahyu dengan rasa hormat, bagaimana bahasa mengungkap makna hukum, dan bagaimana manusia belajar taat tanpa kehilangan logika.

Warisan Imam al-Juwaynī mengingatkan kita bahwa beragama bukan hanya soal benar atau salah, tapi tentang memahami — dengan ilmu, adab, dan kesabaran.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement