Surau.co. Setiap hukum dalam Islam lahir dari ilmu ushul fiqih dan cara berpikir yang teratur. Di balik setiap fatwa dan keputusan, ada kerangka ilmu yang menuntun bagaimana teks suci dipahami secara benar. Kitab Al-Waraqāt karya Imam al-Juwaynī menempati posisi istimewa dalam sejarah keilmuan Islam. Karya ringkas ini telah menjadi jembatan bagi ribuan pelajar yang ingin memahami bagaimana hukum bersumber dari wahyu.
Imam al-Juwaynī menulis bukan untuk pamer intelektualitas, tetapi untuk membimbing murid-muridnya agar mampu berpikir sistematis. Dalam salah satu bagian awal kitabnya, beliau mendefinisikan hukum dengan ketepatan yang indah:
قال الإمام الجويني: “الفقه معرفة الأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلتها التفصيلية.”
“Fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar‘i yang bersifat praktis, yang diperoleh dari dalil-dalilnya secara rinci.”
Kutipan ini menjadi dasar bagi siapa pun yang ingin memahami hukum Islam secara metodologis. Ia bukan sekadar hafalan, melainkan pemahaman yang hidup.
Sebuah Kitab Kecil dengan Jejak Panjang
Walau hanya setebal beberapa halaman, Al-Waraqāt telah menorehkan jejak panjang dalam sejarah keilmuan. Ia dipelajari di pesantren, universitas, dan majelis ilmu di seluruh dunia Islam.
Imam al-Juwaynī, yang bergelar Imam al-Haramayn karena keilmuannya di Mekkah dan Madinah, menulisnya sebagai pengantar yang mudah diingat namun sulit dilupakan. Kitab ini mencakup tema-tema besar: bahasa, logika hukum, perintah dan larangan, ijma’, qiyas, hingga etika seorang mujtahid.
Kitab ini seolah mengajarkan bahwa memahami agama tidak bisa hanya dengan keyakinan, tetapi juga dengan ketepatan berpikir. Sebagaimana firman Allah Swt.:
﴿فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ﴾
“Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 2)
Ayat ini menjadi cermin bagi semangat ilmu yang dihidupkan oleh Al-Waraqāt — belajar bukan hanya untuk mengetahui, tetapi untuk memahami makna di balik pengetahuan itu sendiri.
Ketika Bahasa Menjadi Jembatan Ilmu Ushul Fiqih
Salah satu pokok pembahasan penting dalam kitab ini adalah peran bahasa dalam ilmu ushul fiqih. Imam al-Juwaynī menulis:
“الكلام هو اللفظ المركب المفيد بالوضع.”
“Kalām (ucapan) adalah lafaz yang tersusun dan memberi makna sesuai kebiasaan bahasa.”
Definisi sederhana ini menunjukkan betapa kuatnya kedudukan bahasa Arab dalam penetapan hukum. Setiap huruf, urutan, dan susunan kata memiliki konsekuensi hukum. Bagi para pelajar, memahami struktur bahasa berarti memahami jiwa hukum Islam itu sendiri.
Jika dalam kehidupan sehari-hari satu kata bisa disalahpahami, maka dalam hukum agama, kesalahan membaca satu kata bisa berakibat pada kesalahan memahami perintah Ilahi. Karena itu, kitab ini menuntun pembacanya untuk berhati-hati, tidak tergesa menafsirkan teks tanpa dasar.
Perintah dan Larangan: Hikmah di Balik Tuntunan
Dalam Al-Waraqāt, Imam al-Juwaynī menjelaskan bahwa perintah dan larangan bukan sekadar kata, melainkan bentuk kasih sayang Tuhan kepada hamba-Nya.
“الأمر استدعاء الفعل بالقول ممن هو دونه على سبيل الوجوب.”
“Perintah adalah permintaan untuk melakukan suatu perbuatan, melalui ucapan dari pihak yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, dengan cara yang menunjukkan kewajiban.”
Begitu pula larangan, yang dijelaskan dengan kalimat singkat tapi mendalam:
“النهي استدعاء الترك بالقول ممن هو دونه على سبيل التحريم.”
“Larangan adalah permintaan untuk meninggalkan suatu perbuatan, melalui ucapan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah, dengan maksud pengharaman.”
Dua definisi ini menjadi pondasi besar dalam memahami ayat-ayat hukum. Misalnya, ketika Allah memerintahkan shalat, itu bukan sekadar ritual, tetapi ajakan menuju kedisiplinan spiritual. Dan ketika Allah melarang riba, itu bukan semata larangan ekonomi, melainkan perlindungan terhadap keadilan sosial.
Dari Masa ke Masa: Relevansi yang Tak Pudar
Kitab Al-Waraqāt menunjukkan bahwa ilmu adalah jalan menuju kebijaksanaan. Di tengah era digital, di mana orang mudah mengambil potongan ayat tanpa memahami konteksnya, karya Imam al-Juwaynī hadir sebagai pengingat: memahami wahyu harus melalui metode yang benar.
Kitab ini juga menekankan pentingnya akal dalam agama. Imam al-Juwaynī bukan sekadar ahli hukum; ia adalah pendidik yang mengajarkan keseimbangan antara nalar dan iman. Muridnya, Imam al-Ghazālī, bahkan menyebut bahwa tanpa bimbingan metodologis dari gurunya, ilmu bisa berubah menjadi kebingungan.
Menyalakan Kembali Cahaya Keilmuan
Mempelajari Al-Waraqāt bukan hanya soal memahami hukum, tetapi tentang menyalakan kembali cara berpikir yang jernih. Di tengah arus opini dan tafsir bebas, warisan Imam al-Juwaynī menuntun kita untuk kembali pada prinsip: berpikir dengan ilmu, bertindak dengan keyakinan, dan beragama dengan kebijaksanaan.
Karya kecil ini mengingatkan kita bahwa kebenaran tidak lahir dari ketergesa-gesaan, melainkan dari ketelitian dan kesabaran. Ia bukan sekadar kitab hukum — ia adalah cermin bagi akal yang ingin memahami wahyu dengan rendah hati.
Kesimpulan
Al-Waraqāt adalah permata kecil dalam samudra keilmuan Islam. Ia membuka jalan bagi setiap pencari kebenaran untuk memahami bagaimana hukum diturunkan dari teks suci menjadi panduan hidup. Dalam dunia yang sering kehilangan kedalaman berpikir, kitab ini hadir sebagai penawar: sederhana dalam bentuk, agung dalam makna.
* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Sermbi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
