Khazanah
Beranda » Berita » Warisan Intelektual Nawawi al-Bantani: Dari Tanara ke Tanah Haram

Warisan Intelektual Nawawi al-Bantani: Dari Tanara ke Tanah Haram

Syaikh Nawawi menulis kitab di Makkah malam hari, cahaya ilmu dari Tanara ke dunia.
Syaikh Nawawi menulis di ruang sederhana di Makkah, simbol perjalanan ilmu dari kampung ke dunia.

Surau.co. Nama Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani adalah sinar yang tak pernah padam dalam sejarah keilmuan Islam di Nusantara. Dari kampung kecil di Tanara, Banten, beliau menorehkan warisan intelektual yang menghubungkan dunia Islam Timur dan Barat. Melalui karya monumentalnya, Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, Syaikh Nawawi menegaskan bahwa ilmu bukan sekadar pengetahuan, tetapi jalan menuju pencerahan hati dan peradaban.

Kitab ini menjadi simbol kesinambungan antara tradisi keilmuan pesantren dan jaringan ulama internasional. Dari Tanara hingga Makkah, dari serambi masjid hingga halaqah Masjidil Haram, nama Nawawi al-Bantani mengalir sebagai penghubung dua dunia: Islam lokal yang membumi dan Islam global yang mendalam.

Dari Tanara, Cahaya Itu Muncul

Syaikh Nawawi lahir di Tanara, Banten, pada awal abad ke-19. Dalam lingkungan pesisir yang sederhana namun religius, beliau tumbuh dengan kecintaan mendalam terhadap ilmu. Sejak muda, Nawawi telah menunjukkan ketajaman pikiran dan kelembutan hati.

Beliau menulis:

«العلمُ طريقُ الهدايةِ، ومن سلكهُ قادهُ إلى اللهِ»
“Ilmu adalah jalan menuju petunjuk, dan siapa yang menempuhnya, niscaya ia akan sampai kepada Allah.”

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Bagi Nawawi, menuntut ilmu bukanlah ambisi duniawi, melainkan ibadah ruhani. Maka, perjalanan hidupnya menjadi contoh konkret bagaimana ilmu bisa menembus batas geografis dan spiritual.

Dari pesantren kecil di Banten, beliau berangkat ke Makkah, belajar pada para ulama besar seperti Syaikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syaikh Ahmad Khatib Sambas, lalu menjadi pengajar di Masjidil Haram. Di sana, murid-muridnya datang dari berbagai penjuru dunia — termasuk Nusantara — menjadikannya poros keilmuan Islam abad ke-19.

Kasyifatus Saja: Jembatan Antara Fikih dan Ruhani

Kitab Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā adalah salah satu karya paling berpengaruh dari Syaikh Nawawi. Ia menulisnya sebagai penjelasan atas kitab Safīnatun Najā, karya Syaikh Salim bin Samir, yang berisi dasar-dasar akidah dan fikih.

Namun, dalam tangan Nawawi, syarah ini berubah menjadi lebih dari sekadar teks hukum. Beliau mengisi setiap halaman dengan hikmah, kelembutan, dan kepekaan ruhani.

Beliau menulis:

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

«من تعلَّمَ الفقهَ ولم يعملْ بهِ، فمثلهُ كمريضٍ يصفُ الدواءَ لغيرهِ»
“Barang siapa belajar fikih namun tidak mengamalkannya, maka ia seperti orang sakit yang memberi resep kepada orang lain.”

Kutipan ini mengandung kritik halus terhadap kecenderungan sebagian pelajar agama yang mengejar pengetahuan tanpa pengamalan. Dalam pandangan Nawawi, ilmu sejati adalah ilmu yang hidup — yang mengubah hati sebelum mengubah ucapan.

Kasyifatus Saja menjadi kitab yang tidak hanya mengajarkan hukum, tapi juga hikmah ibadah. Ia menyatukan dimensi akal dan qalbu, menjadikan syariat dan tasawuf tidak lagi terpisah, tetapi saling menyempurnakan.

Islam yang Lembut dan Membumi

Syaikh Nawawi tidak hanya ulama yang menguasai ilmu-ilmu klasik, tetapi juga pembaru yang memahami konteks sosial masyarakat Nusantara. Dalam setiap tulisannya, beliau menekankan nilai tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawadhu‘ (rendah hati).

Beliau menulis dalam Kasyīfatu al-Sajā:

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

«الدينُ يسرٌ، ومن شدَّدَ على نفسِه فقد خالفَ سُنَّةَ نبيِّه»
“Agama ini mudah, dan siapa yang mempersulit dirinya, maka ia telah menyelisihi sunnah Nabi-nya.”

Kalimat ini menjadi refleksi atas karakter Islam Nusantara yang penuh kasih dan kearifan lokal. Islam bagi Syaikh Nawawi bukanlah alat kekuasaan, melainkan rahmat yang menyejukkan semua kalangan.

Fenomena ini tampak jelas dalam kehidupan pesantren hingga kini — tradisi keilmuan yang beliau wariskan masih hidup di hati para santri: menghargai guru, menjaga adab, dan memahami bahwa ilmu harus dibarengi kasih sayang.

Tanara dan Tanah Haram: Dua Kutub, Satu Jiwa

Ada paradoks indah dalam perjalanan Nawawi al-Bantani: ia lahir di kampung sederhana, tapi wafat sebagai ulama internasional. Meski jauh dari tanah air, hatinya tetap bergetar untuk Nusantara. Dalam setiap karyanya, terselip semangat mendidik umat di kampung halamannya — agar berilmu, beradab, dan beriman.

Ia menulis:

«الوطنُ دارُ المحبَّةِ، ومَن أحبَّهُ للهِ لم يُفارِقْهُ قلبُهُ وإن سكنَ الغربةَ»
“Tanah air adalah rumah cinta; siapa yang mencintainya karena Allah, maka hatinya takkan pernah berpisah darinya, meski ia hidup di perantauan.”

Ungkapan ini bukan hanya ekspresi kerinduan, tetapi juga pandangan universal: mencintai tanah air adalah bagian dari iman.
Tak heran bila beliau menjadi simbol perpaduan antara ulama dunia dan patriot lokal, yang menjadikan ilmu sebagai alat untuk membangun peradaban, bukan sekadar menumpuk pengetahuan.

Warisan yang Tak Lekang Waktu

Hingga kini, karya Syaikh Nawawi masih menjadi bacaan wajib di pesantren-pesantren. Tidak hanya karena keilmuannya yang luas, tetapi juga karena kedalaman spiritual dan keseimbangan antara hukum dan akhlak.

Beliau menulis dalam nasihat terakhirnya:

«اعملْ لآخرتِكَ كأنَّكَ تموتُ غداً، واعملْ لدنياكَ كأنَّكَ تعيشُ أبداً»
“Beramallah untuk akhiratmu seakan engkau akan mati besok, dan beramallah untuk duniamu seakan engkau hidup selamanya.”

Nasihat ini mengandung makna universal: hidup seimbang antara dunia dan akhirat, antara kerja dan doa, antara ilmu dan amal.

Warisan Syaikh Nawawi bukan sekadar teks, tapi ruh keilmuan yang menuntun manusia untuk hidup dengan adab, kesederhanaan, dan cinta kepada Allah.

Penutup: Jejak Ilmu yang Tak Pernah Padam

Dari Tanara ke Tanah Haram, perjalanan Syaikh Nawawi al-Bantani adalah kisah tentang kecintaan pada ilmu dan kemanusiaan.
Beliau mengajarkan bahwa Islam sejati bukanlah tentang seberapa banyak hafalan, tetapi seberapa dalam cinta dan pengabdian.

Allah SWT berfirman:

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujādilah [58]: 11)

Syaikh Nawawi adalah teladan nyata ayat ini — ulama yang tidak hanya cerdas, tetapi juga rendah hati. Dari Tanara, ilmunya menyinari dunia; dan dari hatinya, lahir wajah Islam yang teduh dan penuh cinta.

 

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement