Khazanah
Beranda » Berita » Kasyifatus Saja sebagai Cermin Islam Nusantara

Kasyifatus Saja sebagai Cermin Islam Nusantara

ulama menulis kitab di serambi pesantren sore hari, simbol Islam Nusantara yang lembut dan berakar.
Seorang ulama menulis di serambi pesantren di bawah sinar sore, melambangkan keilmuan yang membumi dan menerangi.

Surau.co

Nama Syaikh Muhammad Nawawi al-Bantani menempati posisi penting dalam sejarah intelektual Islam di Nusantara. Melalui karya monumentalnya, Kasyīfatu al-Sajā fī Syarḥ Ṣafīnatin-Najā, beliau tidak sekadar menulis kitab fikih. Lebih dari itu, beliau menanamkan nilai-nilai akhlak, kearifan sosial, dan spiritualitas yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia.

Kitab tersebut menjadi cermin Islam Nusantara — Islam yang tidak menolak tradisi, melainkan menyucikannya; Islam yang lembut, membumi, serta memuliakan manusia.
Bagi Syaikh Nawawi, syariat bukan pagar pembatas, melainkan jalan menuju harmoni antara langit dan bumi, antara teks dan budaya, antara hukum dan kasih sayang.


Syaikh Nawawi dan Jejak Ilmu dari Tanah Banten ke Tanah Haram

Syaikh Nawawi lahir di Tanara, Banten, sekitar tahun 1813. Dari kampung pesisir yang tenang itu, beliau memulai perjalanan panjang menuntut ilmu hingga sampai di Makkah. Di tanah suci inilah beliau mengajar dan dikenal luas sebagai “Sayyidul Ulama al-Hijaz”, pemuka para ulama Hijaz.

Namun, yang menarik adalah bahwa semangat keilmuan dan kebudayaan Nusantara tidak pernah lepas dari dirinya. Dalam Kasyīfatu al-Sajā, Syaikh Nawawi menafsirkan hukum fikih dengan gaya lembut, penuh empati, seolah berbicara langsung kepada masyarakat pedesaan di tanah airnya.

Beliau menulis:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

«الشريعةُ مبناها على اليسرِ ورفعِ الحرجِ عن الناسِ»
“Syariat dibangun atas dasar kemudahan dan untuk menghilangkan kesulitan bagi manusia.”

Kalimat ini menjadi ruh Islam Nusantara: agama yang memberi kemudahan, bukan memberatkan; yang memeluk, bukan menghakimi.


Islam yang Membumi, Bukan Menegasi Tradisi

Salah satu keistimewaan pemikiran Nawawi al-Bantani ialah keyakinannya bahwa Islam hadir bukan untuk menghancurkan budaya, tetapi untuk menyucikan nilai-nilai luhur di dalamnya.

Beliau menulis dalam Kasyīfatu al-Sajā:

«العاداتُ إذا لم تُخالِفِ الشرعَ فهي معتبرةٌ في الأحكامِ»
“Kebiasaan yang tidak bertentangan dengan syariat tetap diakui dalam hukum Islam.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Prinsip ini menjelaskan mengapa Islam di Nusantara dapat hidup berdampingan dengan tradisi lokal. Karena itu, tahlilan, selametan, dan beragam ritual keagamaan tetap lestari. Nilai dasarnya bukan pada bentuk lahiriah, tetapi pada doa, kebersamaan, dan penghormatan terhadap sesama.

Bagi Syaikh Nawawi, Islam sejati tidak boleh kehilangan wajah kemanusiaannya. Ia menulis dengan keseimbangan yang menenangkan: menjaga kemurnian agama, namun tetap menghargai kearifan lokal.
Maka tidak heran jika Islam di tanah air tumbuh sebagai Islam yang berakar kuat tetapi berdaun rindang.


Kasyīfatu al-Sajā: Menyatukan Fikih dan Tasawuf

Meskipun kitab Kasyīfatu al-Sajā merupakan syarah atas kitab fikih ringkas Safīnatun Najā, Syaikh Nawawi tidak membatasi pembahasannya pada hukum-hukum lahiriah. Di balik setiap penjelasan, terselip pesan ruhani yang halus dan mendalam.

Beliau menulis:

«العبادةُ بلا إخلاصٍ لا تُقبلُ، والإخلاصُ بلا علمٍ لا يصحُّ»
“Ibadah tanpa keikhlasan tidak diterima, dan keikhlasan tanpa ilmu tidak sah.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ungkapan ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara ilmu dan spiritualitas. Islam tidak cukup dipahami melalui teks, tetapi harus dihayati melalui hati yang bersih.
Tanpa tasawuf, fikih mudah menjadi kaku; tanpa fikih, tasawuf bisa kehilangan arah.
Karena itu, Syaikh Nawawi menyatukan keduanya agar umat dapat menjalankan syariat dengan cinta dan kesadaran.

Tradisi pesantren kemudian mewarisi semangat ini: mengaji kitab sambil menata hati, menyeimbangkan akal dengan rasa.


Fenomena Sehari-hari: Islam yang Lembut di Tengah Dunia yang Kasar

Kini, di tengah zaman yang sarat polarisasi dan retorika kebencian, pandangan Syaikh Nawawi terasa semakin relevan. Beliau mengingatkan bahwa agama semestinya menjadi penyejuk, bukan sumber konflik.

Beliau menulis:

«من لا رحمةَ له لا يُرحَمُ»
“Barang siapa tidak memiliki kasih sayang, maka ia tidak akan dikasihi.”

Kutipan itu tampak sederhana, namun maknanya dalam. Inti dari semua ibadah, menurut beliau, adalah kasih sayang — kepada sesama, kepada alam, dan kepada diri sendiri. Karena itu, Islam Nusantara menolak ekstremisme. Ia lebih memilih dialog daripada konfrontasi, kasih daripada kekerasan.

Kita melihat kebenaran ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari. Ketika perbedaan pendapat sering menimbulkan permusuhan, pesan Syaikh Nawawi mengingatkan: “Kembalilah pada kasih, sebab di sanalah letak kemuliaan Islam.”


Kasyīfatu al-Sajā dan Citra Islam Nusantara

Kitab Kasyīfatu al-Sajā bukan sekadar karya ilmiah, melainkan refleksi pertemuan antara Islam dan budaya Nusantara.
Bahasanya lembut, penjelasannya kontekstual, dan jiwanya penuh kasih.
Karena itu, kitab ini menjadi bukti nyata bahwa Islam bisa tumbuh dalam harmoni dengan tradisi lokal tanpa kehilangan kemurniannya.

Menurut Syaikh Nawawi, Islam sejati bukan yang meniadakan perbedaan, melainkan yang mampu mengelola perbedaan dengan adab dan ilmu.
Beliau memandang agama seperti taman yang luas: setiap bunga tumbuh dengan warna berbeda, tetapi semuanya menebar keharuman yang sama.

Dengan demikian, Kasyīfatu al-Sajā menjadi lebih dari sekadar syarah fikih. Ia merupakan manifestasi cinta seorang ulama Nusantara — kepada tanah airnya, kepada manusia, dan kepada Tuhannya.


Penutup: Cahaya dari Tanara

Dari kampung kecil di Tanara, cahaya ilmu Syaikh Nawawi memancar hingga ke Makkah, Kairo, dan pesantren-pesantren di pelosok Nusantara.
Beliau membuktikan bahwa Islam dapat berwajah lembut tanpa kehilangan wibawa, dan dapat berpijak di bumi tanpa kehilangan arah ke langit.

Sebagaimana beliau tulis dalam Kasyīfatu al-Sajā:

«الدينُ يُسرٌ، ومَن شدَّدَ على نفسِه لم يُرِدِ اللهُ به ذلك»
“Agama ini mudah, dan siapa yang memberatkan dirinya dalam agama, maka Allah tidak menghendaki hal itu darinya.”

Kalimat tersebut menutup pelajaran agung: Islam adalah rahmat, dan rahmat itu harus dirasakan — bukan sekadar diucapkan.
Melalui keteduhan ilmunya, Syaikh Nawawi al-Bantani memperlihatkan kepada kita wajah sejati Islam Nusantara: teduh, berilmu, dan penuh kasih.

* Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement