SURAU.CO – “Ketika ayah meninggal, hartanya tidak langsung dibagikan karena ibu masih hidup.”
Begitulah kalimat yang sering terdengar di masyarakat kita. Seolah-olah selama sang ibu masih hidup, semua harta peninggalan ayah otomatis menjadi milik ibu. Padahal, pandangan ini keliru menurut syariat Islam.
Kesalahpahaman ini telah menjadi salah satu bentuk pengabaian terhadap hukum waris (farāidh) yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Padahal, hukum waris bukan perkara ringan; ia adalah bagian dari hukum Allah yang memiliki konsekuensi besar di dunia dan akhirat.
Hukum Waris: Syariat Langsung dari Allah
Hukum waris dalam Islam bukan hasil kesepakatan manusia, tetapi ketentuan langsung dari Allah ﷻ dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:
> “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan…”
(QS. An-Nisā’: 11)
Kemudian di akhir ayat Allah menegaskan:
> “Itulah ketentuan dari Allah, dan barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga…”
(QS. An-Nisā’: 13–14)
Artinya, urusan waris bukanlah perkara duniawi semata, tetapi ujian ketaatan terhadap hukum Allah.
Kesalahan Umum: Menganggap Semua Harta Milik Ibu
Dalam kasus yang sering terjadi, ketika seorang ayah wafat, harta peninggalannya tidak langsung dibagikan karena alasan “ibu masih hidup.”
Anggapan ini muncul dari persepsi keliru bahwa semua harta adalah hasil jerih payah bersama, sehingga otomatis milik istri.
Padahal dalam Islam, setiap individu memiliki hak kepemilikan sendiri.
Jika ayah wafat, maka harta yang ada adalah harta peninggalan (tirkah) beliau. Harta tersebut harus segera dihitung dan dibagikan kepada ahli waris sesuai ketentuan syariat, setelah dikurangi:
- Biaya pengurusan jenazah,
-
Pembayaran hutang,
-
Pelaksanaan wasiat (maksimal 1/3 dari harta),
-
Barulah sisanya dibagikan kepada ahli waris.
Sang istri (ibu) hanya mendapat bagian tertentu, bukan seluruhnya.
Bagian Istri dan Anak-Anak
Dalam QS. An-Nisā’: 12 disebutkan bahwa istri mendapatkan 1/8 bagian dari harta suami jika suaminya meninggalkan anak.
Sedangkan sisanya dibagikan kepada anak-anak:
Anak laki-laki mendapat dua kali bagian anak perempuan.
Contohnya:
Seorang ayah wafat meninggalkan harta Rp800 juta, seorang istri, satu anak laki-laki, dan satu anak perempuan.
Maka pembagiannya:
Istri: 1/8 dari 800 juta = Rp100 juta
Sisa Rp700 juta dibagi 3 bagian (2 untuk laki-laki, 1 untuk perempuan):
Anak laki-laki: Rp466,7 juta
Anak perempuan: Rp233,3 juta
Inilah pembagian syar’i. Tidak boleh ditunda dengan alasan “ibu masih hidup,” sebab hak setiap ahli waris telah ditentukan Allah.
Menunda Pembagian Warisan: Menunda Keadilan
Banyak keluarga menunda pembagian waris bertahun-tahun, bahkan sampai generasi berikutnya. Padahal, penundaan ini membuka pintu fitnah:
Muncul perebutan harta,
Saling curiga antar saudara,
Hilangnya keberkahan harta.
Padahal Rasulullah ﷺ telah memperingatkan:
> “Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain, karena ilmu ini adalah setengah dari ilmu, dan ia akan dilupakan. Maka orang pertama yang dilupakan dari umatku adalah ilmu faraidh.”
(HR. Ibnu Majah no. 2719)
Menunda pembagian warisan berarti menunda terlaksananya hukum Allah, dan membuka peluang dosa bagi ahli waris yang mengabaikannya.
Jika Ibu Masih Hidup, Bagaimana Sikap yang Benar?
Jika ibu masih hidup, tidak berarti pembagian warisan dihentikan. Justru ibu menjadi salah satu ahli waris yang harus segera diberikan bagiannya.
Setelah harta peninggalan ayah dibagi sesuai syariat:
Ibu menerima bagian warisnya,
Sisanya menjadi milik anak-anak,
Dan jika ibu nanti wafat, barulah warisan dari ibu dibagikan kembali kepada ahli waris yang masih hidup saat itu.
Inilah yang disebut taqsimu al-maurutsain — pembagian warisan bertahap sesuai waktu wafatnya masing-masing pewaris.
Hukum Menyembunyikan atau Menguasai Warisan
Dalam Islam, menyembunyikan harta warisan atau menguasainya tanpa hak adalah dosa besar. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Barang siapa mengambil hak orang lain dengan sumpahnya yang dusta, maka Allah wajibkan baginya neraka dan haramkan surga baginya.”
(HR. Muslim no. 137)
Begitu pula seseorang yang menahan hak waris saudaranya, termasuk istri, anak, atau kerabat lain, ia telah menzalimi mereka di hadapan Allah.
Hikmah dari Syariat Waris
Allah tidak menetapkan pembagian waris tanpa hikmah. Hukum waris mengajarkan:
Keadilan proporsional antara laki-laki dan perempuan sesuai tanggung jawabnya.
Keteraturan sosial, agar harta tidak terkumpul pada satu tangan.
Keberkahan harta, karena dibagi sesuai ketentuan Allah.
Penyucian hati, agar keluarga tidak terjebak dalam cinta dunia dan pertikaian.
Penutup
Saudaraku, hukum waris bukan hanya persoalan administrasi keluarga, tetapi bagian dari ketaatan kepada Allah.
Mengabaikan hukum waris sama saja mengabaikan batas-batas yang Allah tetapkan.
> “(Pembagian itu) adalah ketentuan dari Allah. Barang siapa melanggar batas-batas Allah, niscaya ia akan dimasukkan ke dalam neraka…”
(QS. An-Nisā’: 14)
Maka marilah kita belajar ilmu faraidh dengan sungguh-sungguh, agar tidak tergelincir dalam dosa warisan yang diabaikan.
Sebab harta yang dibagi dengan cara yang benar bukan hanya mendatangkan keadilan, tapi juga keberkahan dunia dan akhirat. #HukumWarisIslam #Faraidh #SyariatAllah #KeadilanWaris #TengkuIskandar #PenaDaiNusantara. (Tengku Iskandar, M.Pd
Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
