SURAU.CO-Sejarah lahirnya mazhab dan kodifikasi hukum Islam terus menarik perhatian umat yang ingin memahami akar perbedaan fikih. Sejarah lahirnya mazhab dan kodifikasi hukum Islam memperlihatkan bagaimana umat bergerak aktif dalam mencari jawaban atas persoalan hidup tanpa meninggalkan wahyu dan sunnah. Mereka mengumpulkan ilmu, berdialog, lalu menyusun metode hukum yang terstruktur.
Setelah Rasulullah wafat, umat Islam tidak tinggal diam. Para sahabat segera menggunakan ijtihad ketika Al-Qur’an dan hadis tidak menyebut solusi secara langsung. Mereka merujuk pada pemahaman mendalam terhadap wahyu, pengalaman hidup bersama Rasulullah, serta prinsip kemaslahatan. Karena wilayah Islam berkembang, budaya dan kebutuhan masyarakat juga berubah, sehingga perbedaan pendapat menjadi tak terhindarkan.
Pusat ilmu seperti Madinah, Kufah, dan Basrah muncul sebagai tempat para ulama membangun tradisi diskusi. Mereka mengajarkan hukum langsung kepada murid, menjawab pertanyaan masyarakat, lalu mencatat hasil pemikiran agar tidak hilang. Madinah mengutamakan hadis dan tradisi Rasul, sedangkan Irak lebih kritis dan rasional karena minim riwayat sahabat dan penuh kasus sosial baru.
Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal hadir dalam situasi itu. Mereka tidak mendirikan mazhab untuk membentuk kelompok, melainkan menyusun metodologi agar umat dapat memahami hukum secara konsisten. Murid-murid mereka kemudian menyalin, menyebarkan, dan memperkuat pemikiran itu menjadi mazhab fikih yang terus bertahan hingga sekarang.
Mazhab dan Dinamika Ijtihad: Sejarah Lahirnya Mazhab & Kodifikasi Hukum Islam
Kodifikasi hukum Islam terjadi ketika umat mulai menuliskan fikih dan hadis secara sistematis. Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan ulama untuk mengumpulkan hadis agar tidak hilang. Imam Malik menulis Al-Muwaththa’, sementara Imam Syafi’i menyusun Al-Risalah dan Al-Umm untuk menjelaskan kaidah usul fikih. Penulisan ini membantu umat memahami hukum secara terstruktur, bukan sekadar hafalan lisan.
Selain itu, setiap mazhab menyusun dasar logika hukum yang jelas. Mazhab Syafi’i menekankan kehati-hatian dalam ibadah, sedangkan mazhab Hanafi mengedepankan rasionalitas dan kemanfaatan sosial. Karena itu, meski berbeda, keduanya tetap berangkat dari sumber yang sama. Perbedaan menjadi bentuk kekayaan intelektual, bukan sumber perpecahan.
Para ulama lintas mazhab saling belajar dan menghormati. Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik dan berdiskusi dengan murid Imam Abu Hanifah di Irak. Mereka menunjukkan bahwa perbedaan tidak menghalangi adab dan persaudaraan. Pengalaman ini menjadi contoh penting bagi umat modern yang sering terjebak fanatisme.
Kini, tantangan umat semakin kompleks—mulai dari transaksi digital, kesehatan modern, hingga hukum internasional. Maka, umat perlu menghidupkan kembali semangat ijtihad para imam mazhab. Mereka tidak terpaku pada teks secara kaku, tetapi menghidupkan nilai syariah agar tetap relevan di setiap zaman.
Jejak Tak Lekang Waktu: Relevansi Mazhab & Kodifikasi Hukum Islam
Mazhab mengajarkan bahwa perbedaan dapat hidup berdampingan dengan persatuan. Selama kita memahami metodologi dan sumber rujukannya, kita bisa menghargai perbedaan tanpa menciptakan pertentangan. Mazhab tidak membatasi kreativitas, justru membuka jalan bagi lahirnya ilmuwan, ahli hadis, dan penulis kitab lintas generasi.
Selain itu, hukum Islam tidak berhenti pada kitab klasik. Ulama kontemporer terus mengkaji fikih dengan pendekatan sains, ekonomi, dan teknologi. Mereka memadukan metode lama dengan kondisi baru, sehingga ruh syariah tetap hadir di ruang publik, ekonomi, keluarga, dan pemerintahan.
Masyarakat perlu mendekati mazhab bukan sebagai identitas kelompok, tetapi sebagai jalan memahami Allah melalui ilmu. Dengan begitu, dialog antarmazhab, kerja sama akademik, dan riset fikih modern dapat berkembang tanpa sekat. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
