SURAU.CO-Tauhid sebagai napas kehidupan saya hayati bukan hanya dari bacaan, tetapi dari pengalaman batin yang menggerakkan jiwa. Ketika seseorang memahami tauhid sebagai napas kehidupan, maka ia tidak lagi memaknai syahadat sebagai ucapan, melainkan sebagai tali hidup antara hamba dan Pencipta. Ia bertindak karena Allah, bukan karena sorotan manusia. Ia berjalan dengan hati yang sadar bahwa setiap helaan napas adalah karunia, bukan hak.
Tauhid mengubah cara seseorang memandang dunia. Ia tidak bergantung pada angka saldo, pujian, atau predikat sosial. Sebaliknya, ia menghidupi hari-hari dengan kepercayaan kepada Allah yang Maha Mengatur. Setiap masalah menjadi jalan mendekat, bukan alasan menyerah. Bahkan ketika rencana runtuh, ia tetap tenang karena yakin Allah tidak pernah meninggalkan.
Banyak orang merasakan tauhid justru ketika semua pegangan runtuh. Saya juga pernah menjumpai momen itu—saat usaha gagal, relasi retak, dan tidak ada manusia yang mampu membantu. Pada titik itu, kalimat “La ilaha illallah” terasa hidup, menenangkan, dan menguatkan. Di sanalah iman bukan lagi teori, tetapi pengalaman langsung yang membangun keberanian.
Namun, tauhid tidak lahir seketika. Manusia harus belajar, mencoba, dan jatuh untuk merasakannya. Saya melihat orang-orang yang diuji dengan kehilangan, lalu bangkit lebih kuat karena iman mengisi kembali jiwanya. Mereka tidak menunggu mukjizat, tetapi bergerak sambil percaya. Tauhid membentuk mereka menjadi pribadi tangguh yang tetap lembut hatinya.
Menanam Tauhid sebagai Napas Kehidupan dan Keesaan Allah
Menanam tauhid sebagai napas kehidupan berarti mengarahkan seluruh niat hanya kepada Allah. Saya, dan banyak orang lain, belajar meninggalkan ketergantungan berlebih pada manusia. Kita tetap bekerja, tetapi hati tidak menggantungkan hasil pada siapa pun selain Allah. Kita tetap bermimpi, tetapi menyerahkan akhir cerita kepada Yang Maha Tahu.
Selain itu, tauhid melatih keberanian untuk hidup sederhana. Saya melihat orang bertauhid tidak mudah terombang-ambing oleh pujian atau cemoohan. Ia mengukur layak tidaknya tindakan berdasarkan ridha Allah, bukan komentar manusia. Dari sini, muncul ketenangan yang tidak bisa dibeli oleh jabatan, harta, atau popularitas.
Dalam pengalaman hidup modern, saya melihat banyak orang kehilangan arah karena menjadikan dunia sebagai pusat hidup. Media sosial, persaingan karier, dan tekanan hidup sering menggeser Allah dari pusat hati. Oleh karena itu, tauhid mengajak kita kembali pada posisi yang tepat: menjadi hamba, bukan penguasa absolut atas hidup sendiri.
Tauhid juga menyambungkan ilmu dan spiritualitas. Ketika seseorang belajar teknologi, ekonomi, atau sains dengan landasan tauhid, ia melihat semuanya sebagai ayat Allah. Ia tidak sombong karena ilmu, tetapi justru semakin tunduk. Ia sadar bahwa ilmu bukan miliknya, melainkan pinjaman dari Yang Maha Mengetahui.
Tauhid sebagai Napas Kehidupan di Era Digital dan Modern
Menghidupkan tauhid sebagai napas kehidupan di era digital membutuhkan kesadaran ekstra. Dunia menawarkan berhala baru: validasi, statistik likes, dan citra diri. Saya melihat, banyak orang tanpa sadar mengabdikan waktunya untuk layar, bukan untuk Allah. Oleh karena itu, saya mengingatkan diri sendiri untuk menjadikan Allah tetap sebagai pusat niat, meski jari menari di atas layar.
Seorang Muslim yang bertauhid digital tetap berbagi kebaikan, tetapi tidak mengejar sorakan. Ia tetap produktif, tetapi tidak memamerkan semua pencapaiannya. Ketika melihat kesuksesan orang lain di dunia maya, ia tidak iri karena ia yakin Allah telah membagi rezeki dengan adil. Tauhid membuat ruang digital menjadi ladang pahala, bukan panggung kesombongan.
Selain itu, tauhid memberikan jawaban atas krisis makna di zaman ini. Banyak orang terlihat bahagia di luar, namun kosong di dalam. Tauhid mengajak kita berhenti sejenak, menarik napas, lalu bertanya: untuk siapa aku hidup? Dengan kesadaran itu, seseorang mulai menikmati hidup tanpa terburu-buru mengejar pengakuan.
Akhirnya, tauhid tetap relevan di setiap zaman. Ia tidak lekang oleh teknologi, politik, atau perubahan sosial. Selama manusia masih bernapas, tauhid akan selalu menjadi kompas yang mengarahkan pulang: kepada Allah yang Maha Esa. (Hendri Hasyim)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
