SURAU.CO. Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah hadir sebagai lentera di tengah panasnya perdebatan keagamaan yang kerap melahirkan kebingungan dan saling tuding. Karya monumental Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani ini bukan sekadar buku, tetapi sebuah bentuk jihad intelektual—perlawanan dengan ilmu dan keteduhan hati. Melalui pena dan pemikiran yang jernih, Abuya berusaha menegakkan kembali ruh Islam yang rahmatan lil ‘alamin; Islam yang membawa kasih, bukan caci; yang menebar hikmah, bukan amarah.
Dengan gaya bahasa ilmiah yang lembut namun tegas, Abuya meluruskan berbagai kesalahpahaman yang selama ini mengaburkan wajah Islam moderat. Ia ingin menyelamatkan agama dari penodaan tafsir sempit dan sikap merasa paling benar. Bagi Abuya, Islam moderat adalah agama kasih sayang, bukan kebencian; agama argumentasi, bukan agresi. Melalui Mafahim, Ia mengajak umat untuk kembali berpikir jernih—menempatkan ilmu di atas emosi, dan menjadikan adab sebagai jalan menuju kebenaran.
Latar Belakang dan Tujuan Kitab Mafahim
Judul Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah berarti “Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan.” Abuya ingin menjaga kemurnian ajaran Islam. Ia ingin menjaga dari penyimpangan tafsir dan pandangan yang sempit. Abuya menulis kitab ini di tengah dominasi wacana Salafi-Wahabi di Makkah. Mereka sering melabeli praktik keagamaan.
Contohnya adalah tawasul, ziarah kubur, dan maulid. Mereka menganggapnya sebagai bid‘ah atau syirik. Abuya melihat takfirisme ini sebagai ancaman. Ia berjuang meluruskan pandangan yang keliru. Abuya berjuang bukan dengan kemarahan tetapi dengan hujjah yang terang dan adab yang luhur.
Metodologi Ilmiah dalam Mafahim
Keunggulan Kitab Mafahim terletak pada ketelitian ilmiahnya. Abuya menulis dengan kepala dingin dan hati lembut. Ia merujuk pada sumber-sumber otoritatif seperti Ibn Taimiyyah, Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, untuk menunjukkan bahwa vonis sesat lahir dari pembacaan yang sempit. Abuya melawan dari dalam sistem lawan, membantah dengan hujjah yang sama—tenang, tajam, dan penuh kasih.
Namun, perjuangan besar selalu datang bersama ujian. Gelar profesornya dicabut, kitab-kitabnya hilang di peredaran, dan ia dijauhkan dari Masjidil Haram. Bahkan paspornya sempat ditahan. Meski begitu, Abuya tetap teguh menulis dan mengajar. Ia menjadikan ilmunya sebagai jalan kasih, dan keyakinannya sederhana: siapa yang menolong agama Allah Swt, akan ditolong oleh-Nya.
Struktur dan Isi Kitab Mafahim Secara Mendalam
Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah tersusun dalam tiga bab utama yang menggambarkan keluasan ilmu dan kelembutan pandangan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki. Bab pertama membahas persoalan akidah—isu-isu yang kerap menimbulkan perdebatan, seperti bid‘ah, hakikat tasawuf, tawasul, madzhab Asy‘ariyyah, hingga syafa‘at. Semua dijelaskan dengan landasan Al-Qur’an, hadis, dan pandangan ulama klasik, menunjukkan bahwa agama tak bisa dipahami secara hitam putih.
Bab kedua berfokus pada tema kenabian. Abuya menyingkap keistimewaan Rasulullah Saw, menjelaskan hakikat nubuwwah dan hukum tabarruk dengan peninggalan Nabi. Baginya, menghormati Nabi bukan bentuk berlebih-lebihan, melainkan manifestasi cinta yang lurus dan beradab.
Bab ketiga mengulas persoalan khilafiyah yang sering terjadi perselisihan faham. Abuya menjelaskan kehidupan Nabi di alam barzakh dan keutamaan jasad Rasulullah Saw, menegaskan bahwa keyakinan seperti ini lahir dari cinta dan penghormatan, bukan penyimpangan. Melalui ketiga bab ini, Mafahim menjadi cermin Islam yang teduh—berilmu, beradab, dan berpijak pada kasih.
Relevansi Sosial dan Warisan Kitab Mafahim
Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah adalah simbol keteguhan Ahlussunnah wal Jama‘ah. Penulisnya adalah Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, ulama keturunan Rasulullah Saw yang hidup di jantung dunia Islam, kitab ini menjadi lentera moderasi di tengah perdebatan keagamaan. Mafahim menegaskan bahwa Islam sejati adalah agama kasih dan hikmah, bukan kebencian dan permusuhan.
Karya ini telah menembus batas dunia Arab dan berakar kuat di Indonesia. Murid-murid Abuya mendirikan Hai’ah As-Shofwah al-Malikiyyah untuk menjaga warisan beliau dan menjadikannya pegangan bagi ulama muda. Mafahim bukan hanya teks ilmiah, tetapi juga seruan moral untuk mengembalikan ilmu pada fitrahnya: menuntun, bukan menghakimi.
Abuya pernah berkata, “Kitab karanganku yang paling dekat denganku adalah Mafahim.” Ia menulis bukan demi ketenaran, melainkan demi kebenaran. Melalui karya ini, Abuya mengajarkan bahwa jihad sejati adalah perjuangan dengan ilmu dan kasih. Mafahim Yajibu An Tushahhah menjadi cermin bahwa membela Islam berarti menyalakan pelita ilmu di tengah kegelapan zaman. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
