Khazanah
Beranda » Berita » Mengenal Diri, Mengenal Tuhan: Jalan Ma‘rifah ala Risālatul Mu‘āwanah

Mengenal Diri, Mengenal Tuhan: Jalan Ma‘rifah ala Risālatul Mu‘āwanah

ilustrasi mengenal diri mengenal Tuhan ala Risalatul Muawanah
Seorang manusia duduk tenang di depan cermin besar yang memantulkan cahaya lembut; di balik cermin tampak lanskap spiritual yang damai — langit keemasan, lembah sunyi, dan sinar menembus hati

Surau.co. Di dunia yang serba cepat, manusia sibuk menaklukkan banyak hal—karier, teknologi, bahkan waktu. Namun, di tengah hiruk pikuk itu, banyak yang lupa menaklukkan satu hal yang paling penting: dirinya sendiri.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, seorang ulama dan sufi besar Yaman abad ke-11 Hijriah, dalam karyanya Risālatul Mu‘āwanah menegaskan bahwa jalan menuju Allah dimulai dari pengenalan diri. Ia menulis bukan dengan teori yang rumit, tetapi dengan bahasa yang menembus hati, mengajak setiap pembaca untuk menoleh ke dalam, menatap jati diri yang sejati.

Mengenal diri bukan sekadar memahami sifat atau karakter pribadi, melainkan menyadari posisi diri di hadapan Allah. Di situlah letak awal dari ma‘rifah—pengetahuan rohani tertinggi dalam Islam.

Mengenal Diri: Menyibak Cermin Keberadaan

Habib al-Haddad menerangkan bahwa:

“مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ.”
“Barang siapa mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”

Ungkapan ini, yang juga dikenal luas dalam tradisi tasawuf, bukan sekadar kata-kata puitis. Ia adalah kunci spiritual yang membuka pintu kesadaran. Mengenal diri berarti menyadari keterbatasan, kelemahan, dan kefanaan kita di hadapan keagungan Sang Pencipta.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Manusia sering tersesat karena terlalu sibuk menilai dunia di luar dirinya, padahal seluruh tanda-tanda kebesaran Allah juga tersimpan dalam jiwa. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa (Al-Qur’an) itu benar.”
(QS. Fussilat [41]: 53)

Ayat ini menegaskan bahwa mengenal diri bukan sekadar introspeksi psikologis, melainkan perjalanan teologis menuju kebenaran hakiki.

Risālatul Mu‘āwanah dan Jalan Ma‘rifah

Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib al-Haddad menulis bahwa inti dari bantuan Allah kepada seorang hamba adalah ketika ia dituntun untuk mengenal hakikat dirinya sendiri. Beliau berkata:

“اعْلَمْ أَنَّ مَنْ لَمْ يَعْرِفْ نَفْسَهُ لَمْ يَعْرِفْ رَبَّهُ، وَمَنْ غَفَلَ عَنْ نَفْسِهِ غَفَلَ عَنْ رَبِّهِ.”
“Ketahuilah, siapa yang tidak mengenal dirinya, maka ia tidak akan mengenal Tuhannya; dan siapa yang lalai dari dirinya, maka ia pun lalai dari Tuhannya.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Habib al-Haddad menempatkan ma‘rifah bukan sebagai konsep tinggi yang hanya bisa dicapai oleh ahli tarekat, melainkan sebagai panggilan universal bagi setiap mukmin. Jalan ma‘rifah bukan sekadar meditasi atau zikir panjang, melainkan kesadaran terus-menerus bahwa Allah hadir dalam setiap detik kehidupan.

Dalam pandangan beliau, mengenal diri adalah langkah pertama untuk menata hati, memperbaiki niat, dan menapaki tangga menuju Allah. Jika hati bersih, maka cermin diri akan memantulkan cahaya ketuhanan dengan jernih.

Kesadaran Diri: Menyadari Keterbatasan dan Ketergantungan

Mengenal diri bukan berarti membanggakan keunikan pribadi, melainkan menyadari bahwa diri ini lemah tanpa pertolongan Allah. Habib al-Haddad menulis:

“كُلُّ مَا بِكَ مِنْ نِعْمَةٍ فَهُوَ مِنَ اللَّهِ، وَكُلُّ مَا بِكَ مِنْ نَقْصٍ فَهُوَ مِنْ نَفْسِكَ.”
“Segala kebaikan yang ada padamu berasal dari Allah, dan segala kekurangan berasal dari dirimu sendiri.”

Kalimat ini mengajarkan keseimbangan antara kerendahan hati dan tanggung jawab. Mengenal diri berarti tidak menuhankan ego, tapi juga tidak menolak potensi yang diberikan Allah. Setiap kemampuan, kecerdasan, atau rezeki yang kita miliki adalah amanah, bukan alasan untuk sombong.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Al-Qur’an pun menegaskan hal yang sama:

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
“Dan segala nikmat yang ada padamu berasal dari Allah.” (QS. An-Nahl [16]: 53)

Dengan menyadari hal ini, manusia tidak akan mudah putus asa ketika diuji, dan tidak akan sombong ketika diberi kelebihan.

Ma‘rifah: Pengenalan yang Menghidupkan Hati

Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib al-Haddad menjelaskan bahwa ma‘rifah adalah buah dari ketulusan ibadah dan kebersihan hati. Ia menulis:

“إِذَا صَفَا قَلْبُ الْعَبْدِ مِنَ الْغَفْلَةِ، أَشْرَقَ فِيهِ نُورُ الْمَعْرِفَةِ.”
“Jika hati seorang hamba telah bersih dari kelalaian, maka cahaya ma‘rifah akan memancar di dalamnya.”

Ma‘rifah tidak bisa dicapai hanya dengan membaca banyak kitab atau menghafal banyak dalil. Ia hadir sebagai anugerah setelah seseorang berjuang menyucikan diri dari kesombongan, dengki, dan cinta dunia yang berlebihan.

Orang yang mencapai ma‘rifah akan melihat kehidupan dengan pandangan baru. Ia tidak lagi menilai segala sesuatu dari manfaat duniawi, melainkan dari sejauh mana hal itu mendekatkan dirinya kepada Allah.

Langkah-Langkah Praktis Mengenal Diri ala Risālatul Mu‘āwanah

Habib al-Haddad tidak hanya berbicara tentang konsep ma‘rifah secara teoritis. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menuntun umat Islam dengan langkah-langkah konkret untuk menapaki jalan pengenalan diri. Ada tiga langkah penting yang bisa dipetik:

  1. Muhasabah (Introspeksi Diri)

Beliau menulis:

“رَاجِعْ نَفْسَكَ دَائِمًا، وَاحْسِبْهَا عَلَى كُلِّ خَطَرَةٍ وَنَظْرَةٍ.”
“Hisablah dirimu selalu, dan perhatikan setiap lintasan hati dan pandanganmu.”

Dengan muhasabah, seseorang akan menyadari motif-motif kecil yang sering tersembunyi di balik amal saleh. Ia belajar untuk jujur kepada diri sendiri, dan dari kejujuran itulah tumbuh kedekatan dengan Allah.

  1. Tazkiyah (Penyucian Jiwa)

Habib al-Haddad menegaskan pentingnya membersihkan hati dari sifat-sifat tercela: iri, dengki, riya, dan cinta dunia. Penyucian ini tidak bisa dilakukan dalam sehari, tapi melalui latihan rohani yang konsisten.

قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا، وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”. (QS. Asy-Syams [91]: 9–10)

  1. Dzikir dan Tafakkur (Menghadirkan Allah dalam Hati)

Habib al-Haddad menulis:

“كُنْ دَائِمَ الذِّكْرِ لِلَّهِ، فَإِنَّ الذِّكْرَ يُنَقِّي الْقَلْبَ وَيُقَرِّبُكَ مِنَ الرَّبِّ.”
“Perbanyaklah berdzikir kepada Allah, karena dzikir membersihkan hati dan mendekatkanmu kepada-Nya.”

Dzikir bukan sekadar menyebut nama Allah dengan lisan, tapi menghadirkannya dalam kesadaran. Dari sinilah ma‘rifah tumbuh — bukan dari banyak bicara tentang Allah, tapi dari banyak mengingat-Nya.

Mengenal Tuhan Lewat Cermin Diri

Ketika seseorang benar-benar mengenal dirinya, ia akan melihat tanda-tanda Allah dalam setiap aspek kehidupan. Tubuhnya, pikirannya, bahkan kelemahannya menjadi cermin dari kekuasaan dan kasih sayang Tuhan.

Orang yang mengenal dirinya akan memahami bahwa ia bukan pusat dari semesta, melainkan bagian kecil dari kehendak Ilahi yang luas. Ia tidak lagi menuntut dunia berjalan sesuai keinginannya, tetapi berusaha selaras dengan kehendak Allah.

Habib al-Haddad menggambarkan keadaan ini dengan:

“الْمَعْرِفَةُ نُورٌ يَهْتَدِي بِهِ الْعَبْدُ فِي ظُلُمَاتِ النَّفْسِ.”
“Ma‘rifah adalah cahaya yang menuntun hamba di kegelapan jiwanya.”

Dengan cahaya itu, seseorang tidak lagi buta terhadap kebesaran Allah yang hadir di balik setiap kejadian.

Buah Ma‘rifah: Tenang, Tunduk, dan Cinta

Buah dari mengenal diri dan mengenal Tuhan adalah ketenangan batin. Orang yang mengenal Allah tidak mudah marah, tidak gelisah terhadap masa depan, dan tidak sombong atas masa lalu. Ia hidup dalam keseimbangan antara ikhtiar dan tawakal.

Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ اسْتَرَاحَ
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia akan memperoleh ketenangan.”
(HR. al-Bayhaqi)

Orang seperti ini juga hidup dengan cinta. Ia melihat sesama bukan sebagai saingan, tapi sebagai sesama ciptaan Allah. Ia memaafkan bukan karena lemah, tapi karena tahu bahwa semua adalah bagian dari ujian menuju kematangan ruhani.

Habib al-Haddad berkata:

“مَنْ عَرَفَ رَبَّهُ أَحَبَّهُ، وَمَنْ أَحَبَّهُ أَطَاعَهُ.”
“Siapa yang mengenal Tuhannya, maka ia akan mencintai-Nya; dan siapa yang mencintai-Nya, ia akan menaati-Nya.”

Penutup: Ketika Cahaya Ma‘rifah Menyinari Jiwa

Mengenal diri adalah langkah pertama dalam perjalanan panjang menuju Allah. Ia bukan sekadar introspeksi, tapi ziarah ke dalam hati—ke tempat di mana cahaya Ilahi bersemayam.

Habib al-Haddad mengingatkan kita bahwa jalan ma‘rifah tidak berujung pada kepintaran, melainkan pada ketundukan. Orang yang benar-benar mengenal Allah akan menjadi semakin lembut, semakin sabar, dan semakin rendah hati.

“إِذَا نَوَّرَ اللَّهُ الْقَلْبَ، أَذَلَّهُ لَهُ وَأَغْنَاهُ بِهِ.”
“Jika Allah menerangi hati seseorang, maka hati itu akan tunduk kepada-Nya dan merasa cukup dengan-Nya.”

Maka, barang siapa ingin mengenal Tuhannya, mulailah dengan mengenal dirinya sendiri. Karena sejauh apa pun kaki melangkah, hakikat perjalanan selalu kembali ke dalam: ke ruang sunyi di hati, tempat Allah selalu hadir tanpa pernah pergi.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement