Khazanah
Beranda » Berita » Pemaaf: Karakter yang Membebaskan Diri dari Dendam ala Risalatul Mu‘awanah

Pemaaf: Karakter yang Membebaskan Diri dari Dendam ala Risalatul Mu‘awanah

ilustrasi pemaaf yang memancarkan cahaya dari hati
: Seorang manusia berdiri di tengah ruang gelap, cahaya lembut keluar dari dadanya, simbol keikhlasan memaafkan yang membebaskan hati.

Surau.co. Dalam kehidupan yang penuh gesekan ini, sulit menemukan orang yang benar-benar pemaaf. Banyak dari kita bisa tersenyum di depan orang yang menyakiti, tetapi menyimpan bara dendam di dalam hati. Padahal, menurut Risalatul Mu‘awanah karya Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, kemampuan memaafkan bukan hanya kebaikan akhlak, tetapi juga jalan pembebasan spiritual. Pemaaf sejati bukan orang yang lemah, melainkan mereka yang paling kuat mengendalikan diri.

Menghapus Dendam, Mengobati Hati

Setiap manusia pernah tersakiti. Ada yang dihina, dikhianati, atau diperlakukan tidak adil. Dendam muncul karena luka batin yang belum sembuh. Namun, al-Qur’an mengajarkan agar hati tidak tenggelam dalam kebencian. Allah berfirman dalam surah Asy-Syura ayat 43:

وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” (QS. Asy-Syura [42]: 43)

Ayat ini menegaskan bahwa memaafkan adalah tindakan yang membutuhkan keberanian besar. Ia bukan tanda kelemahan, melainkan kekuatan jiwa. Orang yang bisa menahan amarah dan memilih untuk memberi maaf telah memenangkan pertarungan batin yang sulit.

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam Risalatul Mu‘awanah berpesan:

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

وَعَلَيْكَ بِالْعَفْوِ عَمَّنْ ظَلَمَكَ وَالإِحْسَانِ إِلَى مَنْ أَسَاءَ إِلَيْكَ، فَإِنَّ ذٰلِكَ مِنْ أَعْظَمِ أَخْلَاقِ الأَبْرَارِ.
“Hendaklah engkau memaafkan orang yang menzalimimu dan berbuat baik kepada orang yang berbuat buruk kepadamu, karena itu termasuk akhlak mulia para hamba saleh.”

Kalimat ini sederhana tapi dalam. Habib Al-Haddad menegaskan bahwa pemaaf bukan hanya tidak membalas kejahatan, tapi justru berbuat baik kepada orang yang menyakitinya. Di sinilah letak kebesaran hati seorang mukmin.

Keikhlasan: Akar dari Sifat Pemaaf

Pemaaf sejati tidak hanya berhenti pada lisan. Ia memaafkan dari hati yang ikhlas, tanpa syarat, tanpa pamrih. Banyak orang berkata, “Aku sudah memaafkan, tapi aku tidak akan melupakan.” Namun sesungguhnya, selama hati masih menyimpan luka, ampunan itu belum sempurna.

Habib Al-Haddad dalam kitabnya menulis bahwa hati yang dipenuhi cahaya ikhlas akan mudah melepas dendam. Beliau berkata:

وَاعْلَمْ أَنَّ القَلْبَ إِذَا تَطَهَّرَ مِنَ الأَضْغَانِ وَالأَحْقَادِ أَصْبَحَ مَحَلًّا لِنُورِ اللهِ.
“Ketahuilah, bila hati telah bersih dari iri dan dendam, maka ia menjadi tempat bersemayamnya cahaya Allah.”

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Artinya, selama dendam masih menguasai, cahaya ketenangan tidak akan pernah singgah. Memaafkan berarti membuka pintu bagi rahmat Allah agar turun ke dalam jiwa.

Dalam psikologi modern pun dijelaskan, dendam menciptakan stres dan kelelahan emosional yang berkelanjutan. Sementara memaafkan terbukti menurunkan tekanan darah, meningkatkan empati, dan memperkuat kesejahteraan batin. Maka, antara ajaran klasik dan temuan ilmiah modern sesungguhnya berpadu: pemaaf adalah orang yang paling sehat secara spiritual dan psikologis.

Pemaaf Itu Membebaskan, Bukan Mengalah

Sering kali orang berpikir bahwa memberi maaf berarti kalah. Padahal, dalam pandangan Islam, memaafkan justru bentuk kemenangan sejati. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kekuatan sejati tidak diukur dari kemampuan membalas, melainkan dari kemampuan menahan diri. Orang yang marah lalu memaafkan berarti menaklukkan dirinya sendiri.

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Habib Al-Haddad mengajarkan bahwa ketika seseorang memaafkan, sebenarnya ia sedang membebaskan dirinya dari beban kebencian yang mengikat. Dendam adalah rantai yang menjerat jiwa, sedangkan maaf adalah kunci yang membebaskannya.

Bila seseorang membalas keburukan dengan keburukan, maka ia sekadar meniru perbuatan buruk. Tapi jika ia memilih untuk memaafkan, maka ia sedang meneladani sifat Allah yang Al-Ghafur, Maha Pengampun. Dalam hal ini, manusia tidak sedang menjadi lemah, tetapi sedang meniru salah satu sifat keagungan Tuhan.

Maaf yang Murni Melahirkan Kedamaian

Tidak semua maaf menciptakan kedamaian. Ada maaf yang diucapkan sekadar untuk menjaga citra, atau karena tekanan sosial. Padahal, maaf sejati lahir dari hati yang tenang, bukan dari keterpaksaan.

Maaf sejati juga tidak menuntut pengakuan atau penyesalan dari pihak lain. Orang pemaaf tahu bahwa ketenangan batin tidak bergantung pada sikap orang lain, melainkan pada kelapangan dirinya sendiri.

Habib Al-Haddad berkata:

إِذَا غَفَرْتَ فَلَا تَمُنَّ، وَإِذَا عَفَوْتَ فَلَا تُعَيِّرْ.
“Jika engkau memberi maaf, maka jangan mengungkitnya. Jika engkau mengampuni, maka jangan mencela.”

Ini pengingat penting. Sering kali, seseorang memberi maaf tetapi kemudian mengungkitnya kembali saat marah. Padahal, maaf yang sejati tidak menyisakan luka yang terus diulang. Ia seperti air jernih yang mengalir, membersihkan tanah yang kotor tanpa meninggalkan bekas.

Maaf yang murni melahirkan kedamaian — bukan hanya untuk yang memaafkan, tetapi juga bagi lingkungan di sekitarnya. Orang yang pemaaf menebarkan energi tenang. Ia tidak mudah tersulut, tidak mudah terseret drama, dan selalu menularkan kesejukan.

Belajar Memaafkan di Dunia yang Penuh Luka

Dunia modern hari ini penuh dengan kompetisi, salah paham, dan komentar tajam di media sosial. Banyak hati terluka karena kata-kata, bukan karena senjata. Dalam situasi seperti ini, kemampuan memaafkan menjadi benteng terakhir bagi kewarasan jiwa.

Sikap pemaaf bisa dimulai dari hal kecil. Misalnya, tidak membalas komentar negatif dengan kemarahan, tidak membalas keburukan teman dengan sindiran, atau tidak menyimpan sakit hati pada keluarga.

Memaafkan bukan berarti membiarkan orang lain terus berbuat buruk. Tapi, ia adalah keputusan untuk tidak membawa luka itu lebih jauh ke dalam hidup kita. Kita boleh menjaga jarak dari orang yang menyakiti, namun hati kita tetap lapang dan damai.

Dalam Risalatul Mu‘awanah, Habib Al-Haddad menulis pesan yang amat halus:

فَإِنَّ القَلْبَ الَّذِي يَسْكُنُهُ الغِلُّ لاَ يَسْتَقِرُّ فِيهِ الإِيمَانُ.
“Hati yang dipenuhi kebencian tidak akan tenang dengan iman.”

Maka, setiap kali kita merasa sulit memaafkan, ingatlah: bukan orang lain yang dirugikan, tetapi diri kita sendiri. Kebencian tidak pernah melukai musuh kita, ia hanya membakar hati yang menampungnya.

Meneladani Maaf Nabi

Tidak ada teladan terbaik dalam hal memaafkan selain Rasulullah ﷺ. Ketika beliau menaklukkan Makkah setelah bertahun-tahun disakiti, difitnah, dan diusir, beliau tidak membalas dendam. Justru beliau berkata kepada musuh-musuhnya:

اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ
“Pergilah, kalian bebas.” (HR. al-Baihaqi)

Inilah puncak kemuliaan seorang manusia. Rasulullah memaafkan mereka yang berusaha membunuhnya, bahkan memberikan kebebasan tanpa syarat. Sikap ini bukan kelemahan, tapi puncak kekuatan rohani.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin tidak akan menghadapi musuh besar seperti Rasulullah. Namun, kita bisa meneladani sikapnya dalam skala kecil: memaafkan teman, saudara, atau siapa pun yang pernah melukai perasaan.

Penutup: Maaf adalah Cahaya yang Menyembuhkan

Memaafkan bukan sekadar perbuatan baik, tetapi proses spiritual untuk membebaskan diri dari bayang-bayang masa lalu. Dalam setiap maaf yang tulus, ada ketenangan yang tumbuh. Dendam mungkin memberi rasa puas sesaat, tetapi maaf memberi kedamaian selamanya.

Habib Al-Haddad mengingatkan: “Jika engkau ingin hati yang bercahaya, jangan biarkan api kebencian membakarnya.” Maaf bukan untuk orang lain, tapi untuk diri sendiri agar bisa kembali damai dan dekat dengan Allah.

Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan dendam. Maka, maafkanlah — bukan karena mereka pantas, tapi karena kita berhak untuk tenang.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement