Surau.co. Di zaman ketika pencapaian sering diukur dari like dan pengikut di media sosial, kerendahan hati menjadi barang langka. Orang berlomba untuk terlihat paling hebat, paling benar, dan paling tahu. Padahal, semakin tinggi seseorang memamerkan dirinya, semakin rapuh hatinya di dalam.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, ulama besar dari Yaman abad ke-11 Hijriah, menulis dalam kitabnya yang terkenal, Risālatul Mu‘āwanah, bahwa inti dari perjalanan spiritual seorang Muslim adalah menundukkan hati, bukan merendahkan diri. Beliau mengajarkan tawadhu — sikap rendah hati yang tidak membuat seseorang kehilangan martabatnya, melainkan justru menumbuhkan keagungan batin.
“كُنْ مُتَوَاضِعًا لِلَّهِ تَعَالَى فِي كُلِّ أَحْوَالِكَ، تَرْتَفِعْ دَرَجَتُكَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ.”
“Jadilah engkau rendah hati karena Allah dalam setiap keadaanmu, niscaya derajatmu akan ditinggikan di dunia dan akhirat.”
Tawadhu bukan tentang menolak pujian atau menutupi potensi, melainkan tentang menyadari siapa yang benar-benar memiliki segala kelebihan itu — Allah, bukan diri kita sendiri.
Makna Tawadhu: Menundukkan Hati, Bukan Merendahkan Martabat
Dalam bahasa Arab, tawadhu‘ berarti “merendah” — tapi bukan dalam arti hina. Ia adalah kesadaran bahwa segala kelebihan yang kita miliki hanyalah titipan. Orang yang tawadhu tidak menafikan dirinya, tapi menempatkan diri dengan tepat.
Al-Qur’an menggambarkan sifat tawadhu ini dalam firman Allah:
وَعِبَادُ الرَّحْمَٰنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan apabila orang bodoh menyapa mereka (dengan kata-kata kasar), mereka mengucapkan ‘salam’.”
(QS. Al-Furqan [25]: 63)
Ayat ini tidak hanya bicara tentang cara berjalan secara fisik, tapi juga tentang cara hadir di dunia. Orang yang tawadhu tidak merasa lebih tinggi dari siapa pun, tapi juga tidak menurunkan harga dirinya untuk disukai orang lain. Ia tenang karena hatinya berpijak pada kesadaran Ilahi.
Tawadhu Menurut Habib Abdullah al-Haddad
Habib Abdullah al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menerangkan bahwa:
“اعْلَمْ أَنَّ التَّوَاضُعَ مِنْ أَعْظَمِ أَخْلَاقِ الْمُؤْمِنِينَ، وَأَنَّ الْكِبْرَ مِنْ أَخْبَثِ أَخْلَاقِ الْمُتَكَبِّرِينَ.”
“Ketahuilah bahwa tawadhu adalah salah satu akhlak terbesar orang beriman, sedangkan kesombongan adalah seburuk-buruk akhlak orang yang sombong.”
Beliau mengingatkan bahwa seseorang tidak bisa benar-benar dekat dengan Allah jika masih merasa tinggi di hadapan manusia. Tawadhu menjadi jembatan antara ilmu dan amal, antara pengetahuan dan kebijaksanaan. Orang yang berilmu tapi tidak tawadhu ibarat wadah yang bocor — penuh dari luar, tapi kosong di dalam.
Habib al-Haddad menegaskan bahwa orang yang tawadhu bukan berarti tidak mengenal nilai dirinya. Justru ia tahu nilainya, tapi ia tidak membandingkannya dengan orang lain. Ia tenang dengan posisinya, karena sadar setiap makhluk punya peran dan kehormatan masing-masing di sisi Allah.
Antara Tawadhu dan Rendah Diri: Garis Halus yang Sering Tertukar
Banyak orang salah paham tentang tawadhu. Mereka mengira bahwa tawadhu berarti tidak boleh menonjol, tidak boleh percaya diri, bahkan harus selalu mengalah. Padahal, ini bukan kerendahan hati — ini rendah diri.
Tawadhu itu muncul dari kekuatan, sedangkan rendah diri lahir dari kelemahan. Orang yang tawadhu tahu nilainya dan tidak perlu membuktikannya kepada siapa pun. Sedangkan orang yang rendah diri kehilangan keberanian karena takut salah atau takut dibandingkan.
Habib al-Haddad memberi keseimbangan yang indah dalam nasihatnya:
“كُنْ بَيْنَ الْكِبْرِ وَالذُّلِّ، تَرْزَقِ الْعِزَّ وَالْقَبُولَ.”
“Jadilah engkau di antara sombong dan hina, niscaya engkau akan diberi kemuliaan dan penerimaan.”
Inilah seni tawadhu: menundukkan kepala tanpa menjatuhkan harga diri.
Tawadhu dan Keilmuan: Ilmu Tak Akan Menempel di Dada yang Sombong
Dalam dunia keilmuan, tawadhu adalah kunci keberkahan. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Barang siapa yang merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan meninggikan derajatnya.”
(HR. Muslim)
Habib al-Haddad menegaskan bahwa ilmu tidak akan bermanfaat tanpa adab, dan adab tidak akan sempurna tanpa tawadhu. Ia menulis:
“مَا ثَبَتَ الْعِلْمُ فِي قَلْبِ الْعَبْدِ إِلَّا بِالتَّوَاضُعِ، فَإِذَا تَكَبَّرَ زَالَ عَنْهُ النُّورُ.”
“Ilmu tidak akan menetap di hati seorang hamba kecuali dengan tawadhu; jika ia sombong, hilanglah cahaya ilmu itu darinya.”
Orang yang tawadhu mudah menerima nasihat, karena hatinya terbuka. Ia tidak merasa selalu benar. Dalam dunia akademik, sikap ini penting: semakin tinggi pengetahuan seseorang, seharusnya semakin luas pula ruang kerendahannya. Sebab ilmu sejati bukan tentang banyaknya hafalan, tapi tentang seberapa jernih hati menerima kebenaran.
Tawadhu dalam Kehidupan Sosial: Tidak Memandang Rendah Siapa Pun
Tawadhu bukan hanya sikap batin dalam ibadah, tapi juga cara berinteraksi dengan sesama. Habib al-Haddad mengingatkan:
“لَا تَحْقِرْ أَحَدًا، فَرُبَّمَا كَانَ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرًا مِنْكَ.”
“Jangan sekali-kali meremehkan seseorang, bisa jadi ia lebih mulia di sisi Allah daripada dirimu.”
Kita sering terjebak dalam menilai orang dari penampilan, jabatan, atau latar belakang. Padahal, kemuliaan tidak diukur dari status sosial, melainkan dari ketulusan hati. Orang yang benar-benar tawadhu akan menghormati siapa pun, bahkan yang jauh di bawahnya.
Rasulullah ﷺ adalah contoh sempurna. Beliau duduk di tanah bersama sahabatnya, makan bersama hamba sahaya, dan tidak membedakan antara yang kaya dan miskin. Dalam pandangan beliau, yang tinggi hanyalah takwa.
Tawadhu dalam Dunia Modern: Menundukkan Ego di Tengah Kompetisi
Zaman modern mendorong kita untuk selalu tampil unggul — lebih cepat, lebih pintar, lebih menarik. Tapi di tengah kompetisi ini, tawadhu justru menjadi kekuatan batin yang menenangkan.
Orang yang tawadhu tidak sibuk membuktikan diri, karena ia sudah berdamai dengan dirinya sendiri. Ia fokus pada proses, bukan pengakuan. Ia tenang dalam perjalanan, karena tahu bahwa setiap langkah yang ikhlas bernilai ibadah.
Habib al-Haddad mengajarkan bahwa tawadhu bukan berarti pasif. Orang yang tawadhu tetap berusaha keras, tapi tanpa kesombongan. Ia bekerja bukan untuk dipuji, tapi karena sadar bahwa semua hasil adalah milik Allah.
“مَنْ رَضِيَ بِقَضَاءِ اللَّهِ كَانَ أَرْضَى النَّاسِ، وَمَنْ تَوَاضَعَ لَهُ كَانَ أَعْظَمَهُمْ.”
“Siapa yang ridha dengan ketentuan Allah, dialah yang paling tenang; dan siapa yang tawadhu kepada-Nya, dialah yang paling agung.”
Buah dari Tawadhu: Keberkahan dan Ketenangan Hati
Sikap tawadhu melahirkan banyak kebaikan. Orang yang tawadhu tidak mudah tersinggung, karena egonya telah jinak. Ia tidak sibuk mencari validasi, karena hatinya sudah cukup. Ia tenang karena hidupnya tidak dibebani oleh keinginan untuk diakui.
Habib al-Haddad menyebut bahwa orang yang tawadhu akan mendapatkan tiga hal:
- Diterima oleh manusia. Karena kerendahan hatinya membuat orang nyaman.
- Ditinggikan oleh Allah. Karena ia menempatkan diri dengan benar.
- Diberi keberkahan ilmu dan amal. Karena hatinya menjadi wadah yang bersih.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا، حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ
“Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian tawadhu, sehingga tidak seorang pun membanggakan diri di atas yang lain.”
(HR. Muslim)
Penutup: Ketika Hati Menunduk, Langit Membuka Jalan
Tawadhu bukan sekadar akhlak, tapi jalan menuju kemuliaan yang sejati. Ia membuat kita kuat tanpa harus keras, dan lembut tanpa menjadi lemah.
Habib al-Haddad menulis dengan penuh hikmah:
“إِذَا تَوَاضَعَ الْقَلْبُ، سَكَنَتِ النَّفْسُ، وَأَحَبَّكَ الْخَلْقُ.”
“Jika hati menjadi rendah (tawadhu), jiwa menjadi tenang, dan makhluk pun mencintaimu.”
Dalam dunia yang penuh sorotan, jadilah orang yang menundukkan hati. Karena di saat semua ingin terlihat tinggi, justru yang paling rendah di hadapan Allah-lah yang akan diangkat paling tinggi.
Tawadhu bukan sekadar sikap sosial — ia adalah cermin keikhlasan, kebijaksanaan, dan kedewasaan spiritual. Maka, mari belajar menunduk bukan karena kalah, tapi karena sadar bahwa semua yang kita miliki hanyalah titipan, dan semua ketinggian sejati hanya milik Allah semata.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
