Khazanah
Beranda » Berita » Adab Berteman ala Risālatul Mu‘āwanah: Nggak Semua Orang Layak Jadi Circle Intim

Adab Berteman ala Risālatul Mu‘āwanah: Nggak Semua Orang Layak Jadi Circle Intim

adab berteman dalam risalatul muawanah
Empat orang duduk melingkar di bawah cahaya lembut sore hari, dengan suasana tenang dan hangat. Di belakang mereka, tampak pemandangan lembah dan langit keemasan. Gaya realistik, nyeni, dan filosofis.

Surau.co. Kita hidup di zaman yang penuh pertemanan digital, tapi sering kali kosong secara emosional. Notifikasi media sosial selalu ramai, tapi hati kita tetap sunyi. Di era ini, punya banyak teman bukan jaminan punya hubungan yang bermakna. Justru, banyak orang merasa paling sendiri di tengah keramaian. maka dari itu penting untuk memilih teman yang baik.

Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad — seorang ulama besar dari Yaman, penulis kitab Risālatul Mu‘āwanah — menawarkan pandangan jernih tentang adab berteman. Bagi beliau, berteman itu bukan sekadar “nyambung obrolan”, tapi perjalanan ruhani yang menentukan keselamatan hati dan iman.

Dalam kitabnya, Habib al-Haddad menulis:

“وَصَاحِبِ الأَخْيَارَ، وَاجْتَنِبِ الأَشْرَارَ، فَإِنَّ الصَّاحِبَ سَاحِبٌ.”
“Bertemanlah dengan orang-orang baik, dan jauhilah orang-orang jahat, karena teman itu menarik (pengaruhnya sangat kuat).”

Kalimat ini sederhana, tapi mendalam. Ia mengingatkan bahwa tidak semua orang pantas menjadi bagian dari “lingkaran intim” kita. Persahabatan adalah cermin diri; salah memilih teman, bisa membuat hati pelan-pelan menjauh dari Allah.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Adab Berteman: Cermin dari Keimanan

Dalam Islam, pertemanan bukan sekadar relasi sosial, tapi bagian dari ibadah dan cerminan iman. Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seseorang tergantung pada agama temannya. Maka hendaklah kalian memperhatikan dengan siapa kalian berteman.”
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan bahwa teman memiliki pengaruh langsung terhadap cara kita berpikir, merasa, dan berperilaku. Teman bisa menjadi pintu menuju cahaya, tapi juga bisa menjadi jalan menuju kegelapan.

Habib al-Haddad menegaskan:

“إِنَّ الصَّاحِبَ يَجُرُّ صَاحِبَهُ إِلَى طَرِيقِهِ، خَيْرًا كَانَ أَوْ شَرًّا.”
“Sesungguhnya teman akan menarik temannya ke jalan yang ia tempuh, baik atau buruk.”

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Karena itu, memilih teman adalah bagian dari menjaga iman. Seseorang yang ingin memperbaiki dirinya harus memperhatikan siapa yang paling sering ada di sekitarnya. Sebab lingkungan bukan hanya tempat fisik, tapi juga ekosistem spiritual.

Tidak Semua Layak Jadi Circle Intim

Dalam budaya hari ini, banyak orang mengukur pertemanan dari intensitas nongkrong, kesamaan hobi, atau frekuensi chat. Namun, Risālatul Mu‘āwanah mengajarkan bahwa kualitas pertemanan justru terletak pada nilai ruhani yang dibawa oleh teman itu sendiri.

Habib al-Haddad menulis:

“لَا تُخَالِلْ إِلَّا مَنْ يُعِينُكَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ، وَيُبْعِدُكَ عَنْ مَعْصِيَتِهِ.”
“Jangan bersahabat kecuali dengan orang yang dapat membantumu taat kepada Allah dan menjauhkanmu dari maksiat.”

Dengan kata lain, tidak semua orang pantas masuk dalam circle intim hidup kita. Ada teman yang baik diajak tertawa, tapi tidak bisa dipercaya dalam kesulitan. Ada pula teman yang cerdas, tapi mengajak kita pada kelalaian. Habib al-Haddad mengingatkan agar hati-hati: teman dekat itu seperti pakaian — terlalu dekat dengan kulit, ia bisa melindungi, tapi juga bisa melukai.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Teman yang Baik: Penyejuk Iman dan Penuntun Jiwa

Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. menyinggung tentang sahabat yang saling mencintai di jalan iman:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu (kiamat) saling bermusuhan, kecuali orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Az-Zukhruf [43]: 67)

Ayat ini menjadi peringatan lembut: hanya persahabatan yang dilandasi takwa yang akan bertahan sampai akhirat. Teman sejati bukan yang selalu sefrekuensi, tapi yang menegur dengan kasih saat kita salah arah.

Habib al-Haddad menjelaskan bahwa teman yang baik memiliki tiga ciri:

  1. Ia membuatmu ingat Allah saat bersamanya.
  2. Ia menutup aibmu, bukan menyiarkannya.
  3. Ia menasihatimu dengan lembut saat engkau keliru.

Beliau menulis:

“خَيْرُ الأَصْدِقَاءِ مَنْ ذَكَّرَكَ بِاللَّهِ رُؤْيَتُهُ، وَزَادَ فِي عِلْمِكَ كَلَامُهُ.”
“Teman terbaik adalah yang mengingatkanmu kepada Allah ketika engkau melihatnya, dan menambah ilmumu dengan ucapannya.”

Teman yang Salah: Racun yang Tersamar

Tak semua hubungan yang terasa hangat membawa kebaikan. Kadang, hubungan yang tampak akrab justru menjerumuskan perlahan. Habib al-Haddad menulis:

“إِيَّاكَ وَمُصَاحَبَةَ أَهْلِ الدُّنْيَا، فَإِنَّهُمْ يَجْعَلُونَ قَلْبَكَ يَمِيلُ إِلَى مَا لَا يَنْفَعُ.”
“Jauhilah berteman dengan para pencinta dunia, karena mereka membuat hatimu condong kepada hal-hal yang tidak bermanfaat.”

Kita sering terjebak dalam lingkaran teman yang tampak sukses, lucu, atau populer, tapi secara tidak sadar membuat hati semakin jauh dari ketenangan. Ia bisa menjadi sumber perbandingan, iri hati, atau bahkan keletihan batin.

Dalam pandangan Habib al-Haddad, teman semacam itu harus disikapi dengan adab dan jarak sehat — bukan dengan benci, tapi dengan menjaga diri. Sebab, menjaga jarak bukan berarti sombong; itu tanda kedewasaan spiritual.

Persahabatan yang Bernilai: Dari Dunia Sampai Akhirat

Rasulullah ﷺ bersabda:

حُسْنُ الصُّحْبَةِ مِنَ الْإِيمَانِ
“Baiknya pertemanan adalah bagian dari iman.”
(HR. Ahmad)

Persahabatan yang baik menumbuhkan iman, memperluas kasih, dan mengajarkan kesabaran. Habib al-Haddad bahkan menulis bahwa persahabatan yang dilandasi cinta karena Allah akan berlanjut hingga akhirat:

“الأَصْدِقَاءُ الَّذِينَ تَحَابُّوا فِي اللَّهِ، يُظِلُّهُمُ اللَّهُ تَحْتَ عَرْشِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.”
“Sahabat-sahabat yang saling mencintai karena Allah akan dinaungi di bawah Arasy-Nya pada hari kiamat.”

Maka, bertemanlah dengan orang-orang yang menumbuhkan semangat baik dalam dirimu. Teman yang tidak hanya menemani di dunia, tapi juga menolong doa di akhirat.

Lingkaran Kecil, Tapi Bernilai Besar

Tidak perlu banyak teman untuk bahagia. Kadang, cukup satu atau dua yang benar-benar tulus. Habib al-Haddad menulis:

“قَلِيلٌ مِنَ الأَصْدِقَاءِ الصَّالِحِينَ خَيْرٌ مِنْ كَثِيرٍ مِنَ الأَصْدِقَاءِ السُّوءَ.”
“Sedikit teman yang saleh lebih baik daripada banyak teman yang buruk.”

Dalam masyarakat yang mengagungkan popularitas, prinsip ini terasa seperti oase. Habib al-Haddad mengajarkan bahwa kualitas lebih penting dari kuantitas. Teman yang ikhlas akan menjadi cermin kejujuran, bukan topeng kenyamanan.

Menjaga lingkaran pertemanan yang sehat bukan berarti menutup diri. Tapi artinya, kita sadar bahwa jiwa punya kapasitas terbatas — dan harus dijaga agar tetap suci.

Menjaga Adab dalam Pertemanan

Habib al-Haddad menekankan bahwa menjaga adab lebih penting daripada sekadar menjaga hubungan. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menulis:

“احْفَظْ حُدُودَ الصُّحْبَةِ، وَلَا تَتَعَدَّهَا، وَكُنْ وَفِيًّا فِي الْمَحَبَّةِ.”
“Jagalah batas-batas dalam pertemanan, jangan melampauinya, dan jadilah setia dalam cinta.”

Adab berteman mencakup hal-hal kecil tapi penting: tidak mengkhianati kepercayaan, tidak membicarakan aib, dan tidak menuntut lebih dari yang mampu diberi.

Dalam konteks modern, adab ini bisa diterjemahkan sebagai menjaga privasi, menghargai ruang pribadi, dan tidak membawa drama ke ruang publik. Pertemanan sejati tumbuh dalam rasa saling menghormati, bukan saling menuntut.

Teman yang Menasihati: Hadiah Tersembunyi

Kita hidup di zaman di mana kritik sering disalahartikan sebagai kebencian. Padahal, dalam pandangan Habib al-Haddad, teman sejati justru adalah yang berani menasihati dengan lembut.

Beliau menulis:

“إِذَا رَأَيْتَ أَخَاكَ عَلَى خَطَإٍ، فَانْصَحْهُ سِرًّا، فَإِنَّ النَّصِيحَةَ فِي الْخَفَاءِ دَلِيلُ الْمَحَبَّةِ.”
“Jika engkau melihat saudaramu melakukan kesalahan, nasihatilah secara diam-diam, karena nasihat yang tersembunyi adalah tanda cinta.”

Teman yang hanya memuji bukanlah teman, melainkan penonton. Tapi teman yang berani menegur dengan kasih adalah penuntun. Dalam dunia yang penuh basa-basi, kejujuran adalah bentuk cinta yang paling tulus.

Menjaga Diri dari Pertemanan yang Beracun

Dalam kitabnya, Habib al-Haddad juga memperingatkan agar tidak terlalu mudah membuka hati kepada siapa pun.

“لَا تُسَارِعْ فِي الْمُصَاحَبَةِ، فَإِنَّ فِي النَّاسِ مَنْ يُظْهِرُ الْوُدَّ وَيُخْفِي الْحِقْدَ.”
“Jangan tergesa-gesa menjalin pertemanan, karena ada orang yang menampakkan kasih, namun menyembunyikan kebencian.”

Sikap hati-hati bukan berarti curiga, tapi bentuk kewaspadaan ruhani. Kadang, seseorang terlihat baik di awal, namun membawa pengaruh buruk setelah dekat. Maka, pilihlah teman dengan doa dan pertimbangan, bukan hanya dengan perasaan.

Penutup: Persahabatan yang Menguatkan Langit dan Hati

Habib al-Haddad mengajarkan bahwa pertemanan sejati adalah yang menyambungkan hati kepada Allah, bukan hanya hati ke hati. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menulis:

“صُحْبَةُ مَنْ يُذَكِّرُكَ بِاللَّهِ نِعْمَةٌ عَظِيمَةٌ، فَاحْفَظْهَا وَاشْكُرِ اللَّهَ عَلَيْهَا.”
“Bersahabat dengan orang yang mengingatkanmu kepada Allah adalah nikmat besar, maka jagalah dan syukurilah.”

Tidak semua orang layak menjadi circle intim, karena tidak semua hubungan menuntun ke arah yang sama. Pilihlah teman yang menenangkan jiwa, menumbuhkan iman, dan menjaga adab.

Di tengah dunia yang bising, persahabatan semacam itu adalah oase — tempat hati beristirahat, akal bercermin, dan ruh mendapat tenaga baru.
Dan mungkin, di antara sedikit teman yang kita punya, ada satu yang diam-diam menjadi sebab Allah memandang kita dengan kasih.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement