Surau.co. Kita hidup di zaman di mana segala sesuatu serba cepat dan serba pribadi. Orang sibuk mengejar target, membangun karier, dan mengukur kebahagiaan dari pencapaian pribadi. Namun, di tengah gegap gempita dunia modern, ada satu nilai yang pelan-pelan mulai pudar: semangat tolong-menolong. Padahal, Islam memandang tolong-menolong bukan sekadar tindakan sosial, tapi bagian dari ibadah dan wujud kasih sayang Allah di bumi.
Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, seorang ulama besar Yaman abad ke-17, dalam kitabnya Risālatul Mu‘āwanah menegaskan bahwa kehidupan beriman tidak bisa dijalani sendirian. Beliau berkata:
“تَعَاوَنُوا عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ، فَإِنَّ فِي التَّعَاوُنِ بَرَكَةً وَفَضْلًا عَظِيمًا.”
“Tolong-menolonglah kalian dalam ketaatan kepada Allah, karena dalam tolong-menolong terdapat keberkahan dan keutamaan yang besar.”
Prinsip ini menegaskan bahwa tolong-menolong masih keren, bukan hanya karena ia menunjukkan empati, tapi karena ia mencerminkan kedewasaan spiritual — sebuah kecerdasan hati yang tahu bahwa hidup ini tak pernah bisa dijalani sendiri.
Solidaritas: Cermin Keimanan
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa solidaritas adalah tanda keimanan yang hidup. Seseorang belum bisa disebut beriman secara sempurna bila hatinya tidak tergerak melihat penderitaan orang lain.
Habib al-Haddad menjelaskan bahwa seorang mukmin sejati selalu berusaha meringankan beban saudaranya. Ia menulis dalam Risālatul Mu‘āwanah:
“وَإِذَا قَدَرْتَ عَلَى قَضَاءِ حَاجَةِ أَخِيكَ فَافْعَلْ، فَإِنَّ فِي ذَلِكَ قُرْبَةً وَرِضَا اللَّهِ.”
“Jika engkau mampu menunaikan kebutuhan saudaramu, maka lakukanlah, karena di situ terdapat kedekatan dengan Allah dan keridaan-Nya.”
Tolong-menolong bukan tentang status sosial, tapi tentang kepedulian spiritual. Seseorang bisa jadi sederhana secara materi, tapi kaya dalam empati. Justru, dalam kebersahajaan itu sering lahir keikhlasan yang murni.
Tolong-Menolong: Spirit yang Menyambung Langit dan Bumi
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Māidah [5]: 2)
Ayat ini bukan sekadar perintah moral, tapi pedoman hidup sosial umat Islam. Menurut Habib al-Haddad, ayat ini menunjukkan bahwa tolong-menolong memiliki dua dimensi:
- Dimensi spiritual, yaitu menguatkan iman melalui amal baik.
- Dimensi sosial, yaitu memperkuat hubungan antarmanusia dalam kasih sayang.
Beliau menulis:
“إِنَّ الْمُؤْمِنَ الَّذِي يُعِينُ أَخَاهُ فِي الدِّينِ أَوِ الدُّنْيَا، يُعِينُهُ اللَّهُ فِي كُلِّ أَمْرِهِ.”
“Seorang mukmin yang menolong saudaranya dalam urusan agama atau dunia, akan ditolong oleh Allah dalam setiap urusannya.”
Maka, menolong bukanlah beban, melainkan investasi keberkahan. Setiap kebaikan yang kita tanam akan kembali dalam bentuk pertolongan dari Allah pada saat yang tak kita sangka.
Solidaritas di Zaman Modern: Antara Tren dan Nilai
Di era digital, kita sering melihat gerakan solidaritas online: penggalangan dana, berbagi informasi bencana, atau kampanye sosial. Namun, terkadang semangatnya cepat menguap — ramai sebentar, lalu hilang.
Habib al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah memberi peringatan halus:
“إِذَا أَعَنْتَ أَخَاكَ فَلْيَكُنْ ذَلِكَ لِلَّهِ لَا لِرِيَاءٍ وَلَا سُمْعَةٍ.”
“Jika engkau menolong saudaramu, maka lakukanlah karena Allah, bukan karena riya atau ingin dipuji.”
Menolong karena tren tidak akan bertahan lama. Tapi menolong karena cinta kepada Allah dan sesama manusia, akan menjadi amal yang mengalirkan rahmat. Nilai keikhlasan inilah yang membuat solidaritas sejati tetap hidup, bahkan setelah dunia melupakannya.
Menolong dengan Hati, Bukan Hanya Tangan
Tolong-menolong tidak selalu tentang memberi uang atau tenaga. Kadang, bentuk terbaik dari pertolongan adalah mendengarkan, menenangkan, atau tidak menghakimi.
Habib al-Haddad menulis:
“مَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُعِينَ بِمَالٍ فَلْيُعِينْ بِدُعَاءٍ، فَإِنَّ الدُّعَاءَ نَفْعُهُ عَظِيمٌ.”
“Barang siapa tidak mampu menolong dengan harta, maka tolonglah dengan doa, karena doa memiliki manfaat yang besar.”
Sering kali, satu kalimat doa lebih berarti daripada seribu komentar. Solidaritas tidak harus besar, yang penting tulus. Bahkan senyum pun termasuk bentuk kebaikan. Rasulullah ﷺ bersabda:
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekah.”
(HR. Tirmidzi)
Inilah yang dimaksud Habib al-Haddad dengan kecerdasan ruhani: memahami bahwa pertolongan kecil bisa menjadi besar di sisi Allah.
Bahaya Hilangnya Rasa Peduli
Ketika orang mulai acuh terhadap sesama, tanda-tanda kegelapan sosial mulai muncul. Masyarakat kehilangan empati, hubungan menjadi transaksional, dan kasih sayang melemah.
Habib al-Haddad memperingatkan dalam Risālatul Mu‘āwanah:
“إِذَا غَابَتِ الرَّحْمَةُ مِنَ الْقُلُوبِ، غَابَ مَعَهَا نُورُ الْإِيمَانِ.”
“Jika kasih sayang hilang dari hati, maka lenyap pula cahaya iman di dalamnya.”
Tanpa tolong-menolong, iman menjadi kering. Sebab, iman sejati tidak hanya diyakini di kepala, tapi diwujudkan dalam tindakan sosial yang nyata.
Solidaritas sebagai Kekuatan Umat
Umat Islam di masa Rasulullah ﷺ tumbuh kuat karena solidaritasnya. Kaum Anshar menolong kaum Muhajirin tanpa pamrih. Allah Swt. bahkan memuji mereka dalam Al-Qur’an:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan.”
(QS. Al-Hasyr [59]: 9)
Ayat ini menjadi fondasi etika sosial Islam: rela berbagi meskipun sedang kekurangan. Habib al-Haddad mengutip semangat ini dengan menulis:
“اَلْمُؤْمِنُ يَرَى فِي خَيْرِ أَخِيهِ خَيْرَ نَفْسِهِ، وَيُحِبُّ لَهُ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ.”
“Seorang mukmin melihat kebaikan saudaranya sebagai kebaikan dirinya sendiri, dan mencintai baginya apa yang ia cintai untuk dirinya.”
Solidaritas bukan hanya alat sosial, tetapi ibadah kolektif yang menguatkan tubuh umat. Setiap kali kita menolong, sebenarnya kita sedang menghidupkan ruh keimanan dalam masyarakat.
Tolong-Menolong dan Kedamaian Batin
Menolong orang lain bukan hanya membuat dunia lebih baik, tapi juga menenangkan diri. Ada kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan ketika melihat orang lain tersenyum karena bantuan kita.
Habib al-Haddad menyebutnya sebagai ketenangan hati orang yang berbuat baik:
“إِذَا أَحْسَنْتَ إِلَى النَّاسِ، سَكَنَ قَلْبُكَ وَأَنَارَ اللَّهُ صَدْرَكَ.”
“Apabila engkau berbuat baik kepada manusia, hatimu akan tenang dan Allah akan menerangi dadamu.”
Dengan kata lain, tolong-menolong bukan sekadar amal sosial, tapi terapi rohani. Ia meredam ego, melembutkan hati, dan memperkuat hubungan antara makhluk dan Sang Pencipta.
Menolong di Dunia Maya
Di dunia digital, bentuk pertolongan juga berubah. Membagikan informasi bermanfaat, menenangkan hati lewat tulisan positif, atau menghindari ujaran kebencian juga termasuk ‘mu‘āwanah’ — tolong-menolong dalam kebaikan.
Habib al-Haddad memberi prinsip universal:
“اِسْعَ فِي خَيْرِ النَّاسِ حَيْثُمَا كُنْتَ، فَكُلُّ مَكَانٍ مَجَالٌ لِلطَّاعَةِ.”
“Berusahalah menjadi sumber kebaikan di mana pun engkau berada, karena setiap tempat adalah ladang ketaatan.”
Termasuk di dunia maya. Kita bisa menjadi sumber keberkahan melalui kalimat yang menenangkan, komentar yang menyemangati, atau konten yang menebar nilai positif. Tolong-menolong tetap relevan, bahkan di dunia digital.
Penutup: Menjadi Cahaya Kecil di Tengah Dunia yang Gelap
Habib al-Haddad mengajarkan bahwa hidup yang bermakna bukan diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, tapi dari seberapa banyak yang kita bagi. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, beliau menulis:
“كُنْ عَوْنًا لِلنَّاسِ عَلَى الْخَيْرِ، وَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ عَوْنًا عَلَى الشَّرِّ.”
“Jadilah penolong bagi manusia dalam kebaikan, dan jangan pernah menjadi penolong dalam keburukan.”
Tolong-menolong adalah bukti bahwa iman masih hidup di dada manusia. Ia sederhana tapi mulia, lembut tapi kuat. Maka di tengah dunia yang makin sibuk dan dingin, mari kita hidupkan kembali semangat tolong-menolong — bukan untuk tampil di linimasa, tapi untuk mengetuk pintu langit.
Karena setiap tangan yang menolong sesungguhnya sedang menggenggam rahmat Allah. Dan mungkin, di antara senyum-senyum yang kita tolong, tersembunyi doa yang kelak menyelamatkan kita di hari ketika semua tangan meminta pertolongan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
