Surau.co. Zaman digital membuat setiap orang punya panggung. Dari ruang tamu, kafe, hingga kasur, kita bisa menulis komentar yang menjalar ke seluruh dunia. Tapi bersamaan dengan kebebasan itu, muncul bahaya yang halus: kita mulai terbiasa ngomong asal, berkomentar tanpa berpikir, menilai tanpa memahami.
Padahal dalam Islam, lisan — atau dalam konteks hari ini, jari yang menulis di kolom komentar — adalah amanah besar. Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitab Risālatul Mu‘āwanah mengingatkan,
“إِحْفَظْ لِسَانَكَ عَنْ كُلِّ كَلَامٍ لَا يَنْفَعُكَ فِي دِينِكَ.”
“Jagalah lisanmu dari setiap ucapan yang tidak bermanfaat bagi agamamu.”
Kalimat sederhana ini terasa makin relevan di era media sosial. Satu komentar bisa menenangkan, tapi juga bisa melukai. Satu kalimat bisa menjadi doa, tapi juga bisa menjadi dosa.
Lisan: Cermin Hati dan Akal
Dalam pandangan Islam, lisan bukan hanya alat bicara, tetapi juga cermin isi hati. Apa yang keluar dari mulut — atau jari — adalah gambaran dari pikiran dan kondisi batin seseorang.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan dua pilihan yang sangat sederhana: berkata baik atau diam. Namun di era komentar cepat, prinsip ini justru sering ditinggalkan. Kita tergoda untuk segera menanggapi, ingin didengar, ingin dianggap paling tahu.
Habib al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah juga memperingatkan:
“فَكَمْ مِنْ كَلِمَةٍ أَهْلَكَتْ قَائِلَهَا، وَكَمْ مِنْ صَمْتٍ أَنْقَذَ صَاحِبَهُ.”
“Betapa banyak ucapan yang membinasakan pengucapnya, dan betapa banyak diam yang menyelamatkan pemiliknya.”
Artinya, menjaga lisan bukan kelemahan, melainkan bentuk kecerdasan spiritual. Orang yang bisa menahan diri dari ucapan sia-sia sebenarnya sedang menjaga hatinya agar tetap bersih.
Ngomong Asal, Luka Sosial
Komentar yang keluar tanpa pertimbangan bisa menjadi luka sosial. Di media sosial, banyak orang terluka bukan karena senjata, tapi karena kata. Satu cemoohan, satu kalimat kasar, bisa menurunkan harga diri seseorang.
Kita sering lupa, di balik layar ada manusia dengan hati yang rapuh. Maka saat lidah digital kita menebar kata tanpa adab, sejatinya kita sedang menebar luka.
Allah Swt. berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada satu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”
(QS. Qaf [50]: 18)
Ayat ini mengingatkan bahwa setiap kata, termasuk yang diketik di ponsel, tidak akan hilang begitu saja. Ia tercatat, dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Habib al-Haddad menulis dengan lembut namun tegas:
“فَكُلُّ مَا يَصْدُرُ مِنْ لِسَانِكَ مَكْتُوبٌ عَلَيْكَ، فَاحْذَرْ أَنْ يَكُونَ شَرًّا.”
“Setiap yang keluar dari lisanmu tercatat atas dirimu, maka berhati-hatilah jangan sampai ia menjadi keburukan.”
Maka, di tengah derasnya arus komentar daring, menahan diri justru tanda kebijaksanaan. Bukan karena takut dianggap pasif, tapi karena sadar akan tanggung jawab ilahi.
Diam yang Menyelamatkan
Dalam dunia yang bising, diam menjadi bentuk zikir. Tidak setiap topik butuh komentar, dan tidak setiap isu butuh opini. Kadang, diam justru menunjukkan kedalaman berpikir.
Habib al-Haddad berkata dalam Risālatul Mu‘āwanah:
“اَلصَّمْتُ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ السَّلَامَةِ، وَالْكَلَامُ بَابٌ مِنْ أَبْوَابِ النَّدَامَةِ.”
“Diam adalah salah satu pintu keselamatan, sedangkan bicara adalah salah satu pintu penyesalan.”
Ungkapan ini terasa nyata hari ini. Banyak orang menyesal setelah ucapannya viral, menimbulkan salah paham, atau melukai orang lain. Dalam diam, seseorang punya waktu untuk berpikir; dalam ucapan tergesa, seseorang sering kehilangan arah.
Rasulullah ﷺ pun pernah bersabda:
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لَا يَرَى بِهَا بَأْسًا يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Sesungguhnya seseorang bisa mengucapkan satu kata yang ia anggap ringan, namun dengan itu ia terjerumus ke dalam neraka selama tujuh puluh tahun.”
(HR. Tirmidzi)
Diam, dalam konteks ini, bukan kekalahan. Ia adalah bentuk kesadaran: bahwa tidak semua hal harus direspons, tidak semua komentar harus dibalas.
Menjaga Lisan di Era Digital
Bagaimana menjaga lisan ketika komunikasi sudah berpindah dari mulut ke jari? Prinsipnya sama: setiap tulisan adalah ucapan, setiap komentar adalah lisan.
Habib al-Haddad tidak hidup di masa internet, tetapi nilai-nilai yang ia ajarkan tetap hidup. Beliau berkata:
“لَا تَكُنْ كَثِيرَ الْكَلَامِ، فَإِنَّ كَثْرَتَهُ تُقَسِّي الْقَلْبَ.”
“Janganlah terlalu banyak bicara, karena banyak bicara dapat mengeraskan hati.”
Hari ini, kalimat itu bisa dimaknai sebagai: jangan terlalu banyak mengetik hal yang tidak perlu. Komentar-komentar yang tajam, sindiran, atau gosip daring dapat mengeraskan hati. Lama-lama, empati hilang, dan kita merasa biasa saja menyakiti orang lain.
Menjaga lisan digital berarti menahan diri untuk tidak ikut arus kebencian, tidak menebar prasangka, dan tidak memperkeruh suasana. Kadang, satu komentar netral justru bisa menjadi oase di tengah debat panas.
Adab Bicara: Warisan Para Salaf
Para ulama terdahulu sangat menjaga lisannya. Imam Nawawi, misalnya, dikenal jarang berbicara kecuali hal yang bermanfaat. Imam Malik enggan menjawab pertanyaan yang ia belum yakin kebenarannya.
Habib al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah meneladani tradisi itu. Ia berkata:
“كُنْ قَلِيلَ الْكَلَامِ إِلَّا فِيمَا يَعْنِيكَ، وَتَكَلَّمْ بِالرِّفْقِ وَالْحِلْمِ.”
“Jadilah sedikit berbicara kecuali dalam hal yang penting bagimu, dan berbicaralah dengan lemah lembut serta kesabaran.”
Adab bicara bukan hanya soal kata, tapi juga niat. Orang beradab tidak asal berbicara hanya untuk membuktikan dirinya benar, tapi untuk menghadirkan manfaat dan kedamaian.
Di era komentar online, menjaga adab bicara berarti menggunakan bahasa yang santun, menghindari caci maki, dan memilih kalimat yang menenangkan, bukan memprovokasi.
Menimbang Sebelum Berbicara
Salah satu cara agar terhindar dari ucapan sia-sia adalah dengan menimbang. Habib al-Haddad memberi panduan sederhana tapi mendalam:
“إِذَا أَرَدْتَ أَنْ تَتَكَلَّمَ، فَانْظُرْ: هَلْ فِيهِ رِضَا اللَّهِ أَمْ لَا؟”
“Jika engkau hendak berbicara, maka lihatlah terlebih dahulu: apakah dalam ucapanmu ada keridaan Allah atau tidak?”
Bayangkan jika setiap kali kita hendak menulis komentar, kita bertanya pada diri sendiri: Apakah Allah ridha dengan kalimat ini? Barangkali banyak perdebatan bisa dicegah, banyak hati bisa diselamatkan.
Lisan yang terlatih menimbang akan membawa ketenangan, karena ia tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam.
Ketika Diam Menjadi Dzikir
Habib al-Haddad mengajarkan bahwa diam bukan berarti pasif, melainkan kondisi hati yang sibuk dengan mengingat Allah. Ia menulis:
“مَنْ سَكَتَ وَلَمْ يَنْسَ رَبَّهُ، فَصَمْتُهُ ذِكْرٌ.”
“Barang siapa diam tetapi tidak lupa kepada Tuhannya, maka diamnya adalah dzikir.”
Di era media sosial yang gaduh, menjaga lisan berarti menjaga dzikir hati. Saat orang lain sibuk berdebat, orang yang sadar memilih diam dan berdoa. Saat dunia menuntut pendapat, ia menunduk, mengingat, dan memohon agar kata-katanya kelak menjadi sebab kebaikan, bukan penyesalan.
Penutup: Menyaring Sebelum Mengucap
Bahaya ngomong asal di era komentar online bukan hanya soal reputasi, tapi soal keselamatan ruhani. Kata-kata adalah energi. Ia bisa membangun, tapi juga bisa menghancurkan.
Habib al-Haddad menutup nasihatnya dengan kalimat yang seakan menjadi doa:
“اللِّسَانُ جِرْحُهُ أَعْظَمُ مِنْ جِرْحِ السَّيْفِ.”
“Luka yang ditimbulkan oleh lisan lebih dalam daripada luka pedang.”
Maka, mari kita belajar menimbang sebelum bicara, berpikir sebelum mengetik, dan menata niat sebelum berkomentar. Karena kadang, keheningan yang lahir dari kesadaran jauh lebih bernilai daripada seribu kata yang keluar tanpa arah.
Dan mungkin, dalam diam yang terjaga itu, kita sedang berbicara dengan cara yang paling bijak — kepada diri sendiri dan kepada Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
