Surau.co. Di zaman yang serba cepat ini, banyak orang haus ilmu, tapi sedikit yang menaruh hormat pada guru. Kita ingin cerdas, tapi lupa bahwa kecerdasan sejati tumbuh dari hati yang rendah dan penuh penghormatan. Dalam Risālatul Mu‘āwanah, Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menulis dengan lembut namun tegas bahwa ilmu tidak akan berbuah tanpa adab terhadap guru. Beliau berkata:
“وَاعْلَمْ أَنَّ الْعِلْمَ لَا يُعْطِيكَ بَعْضَ نَفْعِهِ حَتَّى تُعْطِيَهُ كُلَّكَ.”
“Ketahuilah, ilmu tidak akan memberimu sebagian manfaatnya, sebelum engkau memberikan dirimu sepenuhnya kepadanya.”
Artinya, sebelum seseorang mendapat cahaya ilmu, ia harus lebih dulu belajar untuk tunduk, sopan, dan menghormati sumber ilmu itu sendiri — yaitu para guru.
Ilmu bukan sekadar kumpulan teori; ia adalah cahaya yang turun dari hati yang bersih menuju hati yang ikhlas. Dan adab kepada guru adalah jembatan agar cahaya itu sampai dengan sempurna.
Guru Adalah Perantara Cahaya Ilahi
Dalam pandangan Habib al-Haddad, guru bukan hanya pengajar, tapi juga perantara cahaya. Beliau berkata:
“الْمُعَلِّمُ سَبَبٌ فِي وُصُولِكَ إِلَى الْعِلْمِ، فَاحْفَظْ لَهُ حَقَّهُ كَمَا تَحْفَظُ الْوُسُولَةَ إِلَى رَبِّكَ.”
“Guru adalah sebab sampainya engkau kepada ilmu. Maka jagalah haknya sebagaimana engkau menjaga perantara yang mengantarkanmu kepada Tuhanmu.”
Kutipan ini mengingatkan kita bahwa guru bukan hanya orang yang mentransfer pengetahuan, melainkan jalan spiritual menuju pemahaman yang lebih tinggi. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman tentang pentingnya menghormati orang berilmu:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujādilah [58]: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu membawa kemuliaan — tapi hanya bagi mereka yang menghargai ilmu dan orang yang mengajarkannya.
Bagi Habib al-Haddad, sikap terhadap guru bukan sekadar sopan santun lahiriah. Ia adalah bentuk kesadaran ruhani bahwa setiap pengajar adalah pintu menuju hikmah Allah. Maka menghormati guru sejatinya adalah menghormati Sang Pemberi Ilmu itu sendiri.
Adab kepada Guru Menumbuhkan Keberkahan Ilmu
Banyak orang hari ini merasa sudah cukup dengan membaca buku atau menonton video pengajian daring. Tapi Habib al-Haddad mengingatkan, ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kebanggaan diri. Beliau menulis:
“مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِغَيْرِ الْعَمَلِ، لَمْ يَزِدْهُ عِلْمُهُ إِلَّا بُعْدًا.”
“Barang siapa menuntut ilmu bukan untuk diamalkan, maka ilmunya hanya akan menambahnya semakin jauh (dari Allah).”
Hormat kepada guru adalah bagian dari amal itu. Karena dengan menghormati guru, kita menundukkan ego dan mengosongkan diri untuk menerima ilmu dengan ikhlas. Seperti gelas yang bersih, ilmu akan mudah mengisi hati yang rendah dan terbuka.
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيَعْرِفْ لِعَالِمِنَا حَقَّهُ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengetahui hak ulama (orang berilmu).” (HR. Ahmad)
Hadis ini menegaskan bahwa menghormati guru bukan sekadar etika sosial, tapi juga bagian dari iman. Orang yang tidak menghargai ulama dan guru sejatinya belum memahami nilai ilmu yang ia pelajari.
Meneladani Adab Para Salaf terhadap Guru
Para ulama besar terdahulu dikenal bukan hanya karena kedalaman ilmunya, tapi juga karena adabnya kepada guru. Imam Malik, misalnya, tak pernah berfatwa di Madinah sebelum mendapat izin dari gurunya. Imam Syafi’i mencium tangan gurunya, Imam Malik, setiap kali bertemu. Semua itu menunjukkan bahwa ilmu yang besar lahir dari kerendahan hati yang besar pula.
Habib al-Haddad dalam Risālatul Mu‘āwanah menjelaskan,
“مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُفْتَحَ لَهُ بَابُ الْعِلْمِ، فَلْيَلْزَمِ الْأَدَبَ مَعَ الْمُعَلِّمِينَ.”
“Barang siapa ingin dibukakan baginya pintu ilmu, hendaklah ia menjaga adab terhadap para pengajar.”
Beliau mengajarkan bahwa keberkahan ilmu tidak diukur dari banyaknya hafalan, tapi dari sejauh mana ilmu itu menenangkan hati dan memperbaiki akhlak.
Adab terhadap guru mencakup banyak hal: berbicara dengan sopan, tidak memotong pembicaraan, tidak menatap dengan tajam, serta menerima nasihat tanpa membantah. Semua ini melatih kesabaran dan keikhlasan — dua sifat utama penuntut ilmu sejati.
Ilmu Tanpa Adab, Laksana Api Tanpa Kendali
Habib al-Haddad sering mengingatkan bahaya ilmu yang tidak disertai adab. Orang yang berilmu tapi kehilangan sopan santun akan mudah terjebak pada kesombongan intelektual. Beliau berkata:
“إِيَّاكَ وَالْعُجْبَ بِالْعِلْمِ، فَإِنَّهُ سَتَارٌ بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْحَقِّ.”
“Jauhilah rasa bangga terhadap ilmu, karena ia bisa menjadi tirai antara dirimu dan kebenaran.”
Ketika seseorang belajar tanpa menghormati guru, ilmunya mungkin bertambah, tapi hatinya justru semakin keras. Ia merasa lebih tahu dari semua orang, bahkan dari orang yang dulu mengajarinya. Padahal ilmu yang tidak menumbuhkan rendah hati adalah ilmu yang tidak berkah.
Inilah mengapa adab kepada guru menjadi kunci ilmu yang hidup. Ia menjaga agar ilmu tidak berubah menjadi kesombongan, tetapi menjadi jalan menuju kedekatan kepada Allah.
Hormat Guru di Era Digital
Zaman sekarang menghadirkan tantangan baru dalam menjaga adab terhadap guru. Banyak pelajar yang belajar dari jarak jauh, lewat layar gawai dan video daring. Namun, perubahan medium tidak boleh mengubah sikap hati.
Habib al-Haddad mungkin tidak hidup di era digital, tetapi pesan beliau sangat relevan: adab adalah keadaan hati, bukan sekadar ritual. Menghormati guru bisa berarti mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak menyebar potongan ucapan tanpa izin, atau tidak berdebat dengan niat menjatuhkan.
Dalam konteks modern, adab juga berarti menjaga nama baik guru di dunia maya. Karena sebagaimana kita menjaga wajah kita di dunia nyata, kita juga harus menjaga kehormatan orang yang memberi kita ilmu di ruang digital.
Adab Adalah Jalan Keberkahan Hidup
Hormat kepada guru bukan hanya akan membuat ilmu kita berkah, tapi juga hidup kita lapang. Habib al-Haddad menulis dengan penuh makna:
“إِذَا أَدَّيْتَ حَقَّ مَنْ عَلَّمَكَ، بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِي عِلْمِكَ وَعَمَلِكَ.”
“Jika engkau menunaikan hak orang yang mengajarimu, Allah akan memberkahimu dalam ilmu dan amalmu.”
Berkah berarti ilmu itu menumbuhkan ketenangan, bukan kesombongan. Ia membuat hati semakin lembut dan dekat kepada Allah. Dan keberkahan itu tidak hanya dirasakan di ruang belajar, tetapi meluas ke seluruh aspek kehidupan: pekerjaan, hubungan, bahkan rezeki.
Penutup: Ketika Ilmu Menyapa dengan Lembut
Hormat kepada guru bukanlah formalitas kuno, tapi fondasi dari keberkahan ilmu. Setiap kali kita belajar dengan hati yang tunduk, kita sedang menyiapkan wadah bagi cahaya Allah untuk menetap. Habib al-Haddad mengingatkan,
“الْعِلْمُ نُورٌ، وَلَا يَسْكُنُ النُّورُ فِي قَلْبٍ فِيهِ كِبْرٌ.”
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya tidak akan tinggal di hati yang dipenuhi kesombongan.”
Maka, jika hari ini kita ingin ilmu yang benar-benar hidup, bukan sekadar informasi, mari mulai dengan satu hal sederhana: hormat kepada guru. Karena dari sana, pintu berkah akan terbuka — tidak hanya untuk memahami, tetapi juga untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi semesta.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
